Home BERITA TERKINI Maria Sumarsih dan Perjalanan 18 Tahun “Aksi Kemisan”: Masih Ada Piring Kosong...

Maria Sumarsih dan Perjalanan 18 Tahun “Aksi Kemisan”: Masih Ada Piring Kosong yang Disiapkan untuk Wawan di Rumahnya

0

JAKARTA, Pena Katolik – Sudah delapan belas tahun, Maria Katarina Sumarsih, berdiri di depan Istana Negara, Jakart setiap hari kamis. “Laku” yang dilakukan Sumarsih ini, kemudian disebut dengan “Aksi Kemisan”. Aksi ini bergema menembus zaman, menembus semua batas. Sumarsih tidak berhenti, ia berjuang untuk keadilan buah hatinya, Wawan, dan korban-korban ketidakadilan lain yang dilakukan negara kepada rakyatnya.

Aksi Kamisan digelar pertama kali pada 18 Januari 2007. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes dari para keluarga korban Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dan pembunuhan aktivis Munir Said Thalib. Tidak sendiri, Sumarsih berjuang bersama Suciwati (istri Munir), dan Bedjo Untung (mantan tapol). Ketiganya tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK).

Saat itu, mereka mencari alternatif kegiatan, sebagai wadah perjuangan. Akhirnya, mereka berinisiatif untuk menggelar aksi setiap kamis di depan Istana Negara. Akhirnya ini dikenal sebagai Aksi Kamisan.

Maria Catarina Sumarsih pada saat melakukan Aksi Kemisan. IST

Kasih Ibu Tanpa Batas

Sumarsih adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Wawan tewas ditembak pada saat terjadi demonstrasi yang dikenal sebagai Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Demonstrasi itu terjadi di tengah gelombang gerakan mahasiswa setelah Presiden Soeharto mundur.

Sejak dimulainya aksi ini, Sumarsih seakan tak kehabisan energi. Ia mengaku stamina luar biasa. Cintanya begitu besar untuk “buah hatinya” yang menjadi korban kekejaman aparat. Dukacitanya bertransformasi menjadi cinta.

“Saya mencintai Wawan. Setelah Wawan ditembak, saya mencintai sesama korban dan keluarga korban yang menderita dengan memperjuangkan semua kasus pelanggaran HAM berat,” kata Sumarsih, umat Paroki Maria Kusuma Karmel Meruya, Keuskupan Agung Jakarta, seperti diberitakan Tempo.

Sumarsih masih ingat ketika Misa Requem untuk melepas kepergian Wawan. Saat itu, Misa dipimpin Kardinal Julius Darmaatmaja SJ. Kardinal Darmaatmaja mengatakan, bahwa Wawan ditembak oleh aparat. Dari saat itu, Sumarsih bertekat mempertanyakan kepada penguasa, mengapa anaknya ditembak.

“Saya sebagai ibu yang mencintai wawan, saya ingin tahu mengapa Wawan ditembak,” ujarnya.

Bagi Sumarsih, kebenaran itu bersinar. Perjuangan sesulit apapun, demi kebenaran, ia tidak akan pernah padam seperti nyala lilin. Sumarsih meyakini, dalam kesulitan, seseorang akan tahan uji untuk mampu menghadapi masalah sebesar apapun. Maka Yesus menciptakan banyak “bahu” untuk menopang “salib” yang dibebankan kepadanya.

“Ada ketekunan di sana, ada harapan di sana. Itu yang membuat saya memmelihara harapan di dalam memperjuangkan tegaknya Hak Asasi Manusia,” ujar Sumarsih.

Sumarsih menyatukan perjuangannya ini dengan Misteri Paskah. Setiap Paskah, setiap orang yang dibaptis akan mengulangi janji baptis di hadapan Allah. Di sana ada kesanggupan umat Katolik untuk membela Hak Asasi Manusia (HAM).

Maria Catarina Sumarsih pada saat melakukan Aksi Kemisan. Kompas

Perhentian Terakhir Wawan

Wawan ditembak oleh aparat ketika menolong seorang korban yang ditembak aparat TNI. Padahal, saat itu Wawan mengenakan tanda pengenalan sebagai “relawan kemanusiaan”. Namun, ia tetap ditembak hingga meregang nyawa di depan kampusnya sendiri. Saat itu, Wawan tergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), selain juga aktif sebagai aktivis mahasiswa di Universitas Atmajaya.

Namun, firasat bahwa Wawan sudah “diincar” nyatanya sudah ia ketahui sebelum peristiwa berdarah itu. Kepada ibunya, Wawan sempat memberi kabar, bahwa dirinya menjadi incaran penembakan. Kabar itu didapat Wawan dari bocoran laporan intelijen dari temannya. Wawan menjadi “incaran” bersama empat mahasiswa lain.

Meski nyawanya terancam, Wawan menolak saran ibunya, untuk mengurangi kegiatan aktivitas kemahasiswaannya dan fokus kuliah. Alih-alih tetap di rumah, Wawan malah meminta uang kepada ibunya untuk membeli rompi anti peluru. Sayangnya, ia tak dapat membeli rompi itu, malah membeli jaket kulit.

Tiga hari setelah operasi polip di Rumah Sakit Umum Sumber Waras, pada tanggal 9 November 1998 Wawan minta diantarkan kembali ke kampus untuk memimpin diskusi. Setelah itu ia tidak pernah pulang ke rumah. Baru pada tanggal 12 November 1998, Wawan mengabari ibunya.

Pada tanggal 13 November 1998, tersebar kabar bahwa demonstrasi akan diatasi dengan penembakan bebas menggunakan peluru tajam. Menhakam/Pangab Jenderal Wiranto meminta semua aktivitas ditutup. Hari itu, Sumarsih sebenarnya ingin menjemput Wawan di kampus Universitas Atmajaya. Ia terhalangi karena Gedung DPR/MPR dijaga ketat oleh aparat keamanan. Di tengah situasi yang memanas, Wawan sempat mengabari ayahnya lewat telepon. Namun, nyatanya kabar itu menjadi kabar terakhir. Sore itu, Wawan tertembak bersama korban Tragedi Semanggi lainnya.

“Wawan ditembak saat menolong temannya yang tertembak,” cerita Sumarsih. Kabar meninggalnya Wawan diterima keluarga dari Ignatius Sandyawan Sumardi, Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK).

Maria Catarina Sumarsih memegang foto Wawan, anaknya, korban Tragedi Semanggi. IST

Piring Kosong

Setelah 26 tahun kepergian Wawan, di rumahnya, Sumarsih masih menyediakan piring untuk buah hatinya itu setiap hari. Sumarsih pun mengenang, setiap minggu, ia selalu memasak makanan kesukaan Wawan dan sudaranya yang lain, siomay dan sate ayam/kambing.

Sumarsih bercerita, ia bangga kepada anaknya yang menjadi relawan untuk membela sesama. Ia mengingat, pernah mengusulkan kepada putanya itu agar membuat forum diskusi dengan aparat dan penguasa, agar tidak terjadi tindakan kekerasan. Nasihat ini nampaknya diikuti. Wawan sempat menjadi pembicara di Gereja membahas isu yang terjadi kala itu. Ia juga menjadi ketua panitia seminar di kampusnya.

Meskipun sebagai aktivis, Wawan juga dikenal sebagai pribadi yang ramah. Ia dikenal sebagai seseorang yang mampu membuat suasana menjadi ceria. Cerita tentang ini pernah didapat Sumarsih dari guru bahasa Inggris yang pernah mengajar Wawan.

“Wawan membuat suasana menjadi ceria di manapun ia berada. Ketika ia marah, ia mudah dicairkan saat masakan kesukaannya dihidangkan,” kenang Sumarsih yang juga pensiunan staf Sekretariat Jenderal DPR-RI.

Duka Menjadi Cinta

Seiring berjalannya waktu, dengan banyaknya korban pelanggaran HAM berat, semakin banyak masyarakat yang bergabung dan memberi dukungan terhadap berjalannya Aksi Kamisan. Dengan mengenakan pakaian hitam sembari membawa payung hitam, semangat untuk menyuarakan keadilan tidak pernah padam. Kini, Aksi Kamisan dilaksanakan di berbagai daerah. Aksi ini memperbesar ruang masyarakat menyuarakan harapan penuntasan penuh pelanggaran HAM.

Aksi Kemisan ini dilakukan di depan Istana Negara, karena Istana adalah lambang kekuasaan. Sedangkan Payung hitam yang dibawa peserta aksi adalah “mascot”. Hitam itu lambang keteguhan dalam cinta.

Waktu 18 tahun tentu tidak sebentar, begitu juga untuk Sumarsih. Karena cintanya kepada Wawan, terus menggerakkan hati Sumarsih untuk terus berjuang. Perjuangan ini tidak saja untuk Wawan, namun untuk setiap korban ketidakadilan. Dengan aksi ini, Sumarsih menjadi saksi kebenaran, seperti yang diyakininya sebagai orang beriman Katolik.

“Saya mencintai Wawan. Dukacita saya sudah bertransformasi untuk mencintai sesama manusia dan para korban pelanggaran HAM dari berbagai kasus,” ujar penerima penghargaan Yap Thiam Hien Award tahun 2004 ini. (AES)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version