28.4 C
Jakarta
Wednesday, May 22, 2024

Kisah Iman Pembaptisan Slamet Riyadi

BERITA LAIN

More
    Slamet Riyadi saat menjadi pemimpindalam sebuah upacara militer. IST

    Senandung “Malam Kudus” membahana dari dalam Gereja St Petrus Purwosari, Solo, hingga ke muka jalan umum. Di gereja yang dibangun pada 1938 tengah berlangsung Misa Malam Natal. Saat itu, Komandan Brigade V, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, yang sedang berpatroli memerintahkan sejumlah anak buahnya untuk berhenti di depan rumah ibadah itu.

    Tak ada bahaya atau musuh yang mengancam saat itu. Perintah itu terlontar lantaran Pak Met, panggilan Slamet Riyadi, mendengar lagu “Malam Kudus”. Pak Met terkesan dengan lagu yang begitu syahdu itu. Dia berdiri menghadap gereja dan mendengar lagu itu sampai selesa.

    Lagu itu terus terngiang di telinga Slamet. Dari lagu itu, ia lalu mengutarakan kehendaknya untuk menjadi Katolik.

    Bagi Slamet, Katolik adalah akhir dari pencariannya. Rasa dalam yang ia peroleh dari sebuah lagu itu seakan menjadi pepesten yang menuntunya untuk memilih Katolik sebagai agamanya.

    Kisah Lain

    Dalam buku Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, diterbitkan oleh Keluarga Besar SA/CSA (Strum Abtaelung/Corps Sukarela) dijelaskan satu tahap penting dalam kehidupan Slamet. Buku ini membahas cukup dalam tentang pilihan religious Slamet Riyadi.

    Suatu sore Slamet duduk bersama ajudan sekaligus kawan dekatnya, Djoko Moelyono. Sore itu sembari menikmati pemandangan, mereka sharing satu dengan yang lain.

    “Mas Djok, bila kita menang nanti, laat ons danken aan onze Lieve Heer, door ons te laten dopen…(Mas Djok, bila kita menang nanti, marilah kita bersyukur kepada Tuhan, dengan minta dipermandikan secara Katolik),” kata Slamet.

    Keduanya lalu ke Gereja Purwosari dan meminta untuk dibaptis. Pak Met memilih nama baptis Ignatius. Saat itu, imam yang bertugas di sana bertanya kepada Djoko nama baptis yang dikehendakinya. Dia menjawab singkat, “Ignatius”. Keduanya sama, memilih nama baptis Ignatous.

    Santo Ignatius Loyola berasal dari keluarga bangsawan di Basque, Spanyol Utara. Sejak kevil Ia ingin menjadi tentara. Benar, ketika besar ia menjadi ksatria di kerajaannya, Loyola. Namun, dalam sebuah pertempuran, Ignatius terluka parah. Ia harus terbaring di atas tempat tidur selama berbulan-bulan.

    Slamet Diyadi dan pasukannya saat memasuki Ambon. IST

    Baptis dan Krisma Bersama

    Selama masa perawatan, dia memanfaatkan waktunya dengan membaca kisah tentang kepahlawanan, namun kala itu yang tersedia di sana hanya kisah Yesus dan para orang kudus. Dia membaca buku-buku tersebut. Perlahan-lahan, pustaka itu menarik hatinya. Hidup prajurit ini pun berubah. Dia adalah pendiri Serikat Yesus.

    Bisa jadi karena kebetulan atau memang Slamet dan Djoko pernah membaca tentang Ignatius. Sehingga kedua prajurit itu memilih pelindung seorang kudus yang di masa mudanya juga seorang tentara.

    Slamet dan Djoko menerima Sakramen Baptis di Gereja St Antonius Purbayan, Solo pada Sabtu, 24 Desember 1949. Jarak Gereja Purbayan dengan Gereja Purwosari sekitar empat kilometer.

    Catatan pembaptisan Slamet dan Djoko ini masih ada di ParokiAntonius Purbayan, Surakarta. Dalam buku baptis (Liber Baptizatorum/LB) berkode IV, 1945- 1952, halaman 114, nomor 3525, memuat informasi bahwa Ignatius Slamet Riyadi dibaptis oleh Pastor Theodorus Poespasoeparta SJ. Saksi pembaptisan Pak Met adalah Letnan Ignatius Sastrosudiro.

    Di buku serupa, di halaman 115, nomor 3526, juga tercantum nama Ignatius Djoko Moelyono. Slamet dan Djoko ternyata tak hanya baptis bareng, dua kawan karib itu juga menerima Sakramen Krisma bersama-sama pada 20 Juni 1950 di Boyolali.

    Kesaksian Kolonel (Purn) Aloysius Sugiyanto mengatakan, pilihan Slamet untuk dibaptis mungkin ingin membuktikan kepada banyak orang bahwa ia tak terlibat dalam gerakan Komunisme dan Sosialisme. Saat itu di Surakarta situasinya agak mengkhawatirkan. Slamet pun tak luput dari tudingan bahwa dirinya terpengaruh kelompok sosialis dan komunis itu.

    Namun, Slamet mengenal kekatolikan sejak belia. Hal ini karena ia sempat mengenyam pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setaraf SMP) Katolik. Letak rumah Slamet juga hanya berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Gereja Purbayan.

    “Jadi, Pak Met sudah lama mengenal Katolik,” ujar Sugiyanto, yang mengenal Slamet selama masa perjuangan.

    Slamet Riyadi dan ALex Kawilarang saat berdiskusi strategi di Ambon. IST

    Pribadi Pemberani

    Slamet memiliki badan yang kekar dan pandangan matanya tajam. Kulitnya hitam manis. Suaranya kecil dan termasuk orang yang irit bicara. Ia lahir di Tipes, Solo, 26 Mei 1926. Ketika muda, ia adalah orang yang gemar membaca dan bermain musik. Dia juga mampu berbahasa Belanda.

    Berdasar pengalamannya berperang, Slamet menulis pedoman perang gerilya. Ide dan gagasan Slamet ini kemudian hari dikembangkan oleh Letnan Kolonel Alex Kawilarang dan menjadi pegangan satu unit khusus yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

    Dalam aktivitasnya menjadi tentara, Slamet berjumpa dengan Soerachni. Gadis ini adalah lulusan MULO dan anak guru di Sekolah Tinggi Kedokteran Ikka Dai Gakkoo bernama Soemedi. Saat itu, usia Soerachni dua tahun di atasnya Slamet. Setelah berkenalan dan dekat, sekat usia itu semakin memudar, diganti dengan saling cinta dan memahami. Namun, Soemedi kurang senang bila memiliki menantu dari kalangan militer. Namun, Slamet mampu meluluhkan hati Soerachni.

    Pada 10 Juli 1950, Slamet bertunangan dengan Soerachni di Surabaya. Djoko datang ke acara pertunangan itu. Menurut Djoko, meski wajah kawannya itu mesem melihat kehadiran perempuan itu, Slamet tetap tenang.

    “Dia mendekati saya, memberi salam dan bilang, ‘terima kasih Mas atas kadonya,” ujar Djoko, mengutip perkataan komandan, teman, sekaligus adiknya itu.

    Dua hari setelah pertunangan, Pak Met bertolak ke Maluku untuk menumpas gerakan separatis Republik Maluku Selatan.

    “Lieq (sapaan Pak Met untuk Soerachni), wij gaan binnenkort trouwen en ik kom terug met de RMS vlag (Lieq, kita kawin dalam waktu dekat dan aku akan membawa bendera RMS),” ujar Slamet kepada kekasihnya itu sebelum pergi. Sebulan kemudian, Slamet kembali ke Jakarta karena dipanggil mendadak dari Markas Besar Angkatan Darat.

    Usai tugas ini, Slamet menyelesaikan misi lain tapi penting terkait janji dengan kekasihnya. Mereka menikah dan Slamet memberikan mas kawin untuk sang istri berupa bendera RMS rampasan. Sehari setelah pernikahan, Slamet kembali ke medan tempur. Mereka tak sempat berbulan madu.

    Akhir di Maluku

    Beberapa bulan, Slamet masuk keluar hutan di daerah Maluku untuk perang. Saat itu, RMS semakin gencar saat sesudah mereka mendeklarasikan kemerdekaannya dari Indonesia yang baru lahir. Slamet dikirim ke garis depan pada tanggal 10 Juli 1950. Saat itu ia bertugas dalam Operasi Senopati. Tugas Slamet adalah merebut kembali Pulau Ambon. Slamet membawa setengah pasukannya dan menyerbu pantai timur. Pasukan Slamet mampu mengambil alih pantai tanpa perlawanan.

    Pada tanggal 3 Oktober, pasukan Slamet bersama dengan Kolonel Alexander Evert Kawilarang, ditugaskan untuk mengambil alih ibu kota pemberontak di New Victoria. Ia dan Kawilarang memimpin tiga serangan. Pasukan Rijadi merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau. Dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Slamet.

    Suatu hari, setibanya di New Victoria, pasukan Slamet diserang oleh pasukan RMS. Ketika Slamet sedang menaiki sebuah tank pada tanggal 4 November, sebuah senjata mesin menembakinya. Salah satu peluru menembus baju besi dan perut Slamet. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit kapal dan dirawat, namun Slamet bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran.

    Saat itu, dokter memberinya banyak morfin untuk menahan sakit pada lukanya. Namun, darah yang keluar akhirnya mengakhiri perjuangan Slamet. Ia gugur dan dimakamkan di Ambon.

    Soerachni mendapat kabar suaminya gugur. Awalnya dia tak percaya. Namun ia harus menerima kenyataan itu. Saat itu belum genap 24 tahun.

    Di Ambon, Ignatius Slamet Riyadi mengakhiri perjalanan hidupnya yang ia persembahkan untuk Ibu Pertiwi. Ia gugur di tanah yang pernah dikunjungi St. Fransiskus Xaverius, seorang kudus, Imam Serikat Yesus dan sahabat St. Ignatius, nama pelindung yang dipilih Slamet sebagai nama baptisnya. (AES, YN, HM)

    Artikel sebelum
    Artikel berikut

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI