Home PLURALISME Dua pastor memberi pelajaran tentang air dalam kegiatan lintas agama “Banyuning Srawung”

Dua pastor memberi pelajaran tentang air dalam kegiatan lintas agama “Banyuning Srawung”

0

IMG_20180827_204211812

Seorang tokoh agama memberikan kendi kepada tiga orang muda dan terdengarlah doa-doa dari berbagai tokoh agama. Beberapa saat kemudian, peserta acara Banyuning Srawung (air persaudaraan) berjalan beramai-ramai menuju Sendang Wonosari yang tak jauh dari Balai Budaya Rejosari di Kudus yang merupakan pusat kegiatan hari itu untuk mengambil air (ngangsu banyu).

Selain tiga orang muda itu, nampak juga para postulan Misionaris Keluarga Kudus (MSF) membawa kendi berukuran lebih kecil dan berjalan dengan berapa komunitas lintas agama yang menampilkan atraksi kesenian masing-masing komunitas. Sementara itu, beberapa orang menyanyikan mantraman lagu-lagu Jawa sepanjang perjalanan hingga Sendang Wonosari.

Di Sendang Wonosari itu, 18 Agustus 2018, berlangsung upacara pengambilan air. Para postulan menari dengan gerakan mirip gelombang air, lalu mengambil air dari sumber air dan memasukkannya  ke dalam tiga kendi dan satu gentong besar yang telah disiapkan.

“Air memiliki banyak lambang yang menjelaskan relasi kita untuk bersaudara. Air merupakan lambang belas kasih. Air tidak pernah menolak ketika diminta oleh pohon, diminta oleh hewan, diminta oleh manusia,” kata Ketua Tim Pengelola Rumah Khalwat dan Balai Budaya Rejosari Pastor Lucas Heri Purnawan MSF dalam orasinya di Balai Budaya Rejosari setelah semua kembali dari Sendang Wonosari membawa air yang diambil di sana.

Air juga merupakan lambang kekuatan yang tak pernah bisa dipotong-potong. “Teman-teman tidak akan bisa memotong air dengan alat apa pun juga. Tetapi batu justru bisa pecah dengan palu,” kata imam itu. Melihat kekuatan air itulah, maka Pastor Heri menekankan bahwa air merupakan “lambang kedekatan, keuletan, dan kerekatan” yang membuat banyak orang mau berkumpul di tempat itu.

Selain menyampaikan filosofi Jawa “dadiya banyu, aja dadi watu!” (jadilah air, jangan jadi batu), yang mengajak manusia untuk bisa menyesuaikan diri di tempat mereka berada, Pastor Heri juga mengingatkan supaya air tidak dibuat keruh, “Aja ngubak-ubak banyu bening!” atau tetap menjaga kehidupan sosial.

Selain lambang bersaudara dan kegembiraan, Pastor Heri menekankan bahwa air adalah lambang kerendahan hati. “Srawung ini perlu ndlosor (merendah), seperti air yang selalu merendah, tidak mengagungkan siapa aku,” kata Pastor Heri seraya menambahkan bahwa air juga membuat kesejukan dan suasana hati yang adem. Maka, imam itu mengajak teman-teman muda dari berbagai agama dan kepercayaan yang hadir untuk bersama-sama dengan air itu mengambil makna srawung.

Sementara itu, dalam orasinya Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang Pastor Aloys Budi Purnomo Pr mengajak para peserta bertindak seperti air, laku ambeging tirta. “Ketika kita bisa bertindak laksana air, maka hidup kita akan diwarnai, dimaknai dengan kemerdekaan, akan ditandai dengan kemerdekaan, akan ditandai dengan kerukunan dan persaudaraan,” kata imam itu.

Dalam berbagai agama, lanjut imam itu, air sangat disucikan. “Sahabat-sahabat, saudari-saudara kita beragama Islam akan menyucikan diri dengan wudhu sebelum berdoa. Umat Katolik masuk gereja ambil air bikin tanda salib,” tegas Pastor Budi yang juga melihat air menyembuhkan dan menyegarkan dan membersihkan. “Air membersihkan tubuh dan badan kita di saat kotor,” katanya.

Menurut Pastor Budi, laku ambeging tirta mengajak ratusan anak-anak, remaja, kaum muda dan orangtua yang hadir untuk berperilaku dengan perasaan air yang lembut dan penuh dengan belas kasih.

Di Balai Budaya Rejosari, air yang dibawa dari Sendang Wonosari dimasukkan dalam gentong air yang besar. Meskipun air melimpah di sekitar kita, pesan Pastor Budi, air mesti dilestarikan tanpa harus menunggu langka atau tak mampu dijangkau. “Air haruslah dihargai setiap tetesnya. Air mesti dijaga demi menjaga kehidupan itu sendiri,” kata imam itu.

Para tokoh lintas agama kemudian menyiramkan sebagian air pada tangan-tangan kaum muda, “karena tangan yang menjadi simbol dan sarana utama manusia untuk srawung, bebrayan dengan yang lainnya, harus senantiasa dicuci dan bersih.”

Tawur banyuning srawung yang ditandai dengan saling melemparkan air mengakhiri acara yang dimulai dengan upacara bendera itu. Dan  terdengarlah tawa gembira satu dengan yang lainnya meski pakaian mereka menjadi basah. “Ini lambang bahwa hidup senantiasa melempar dan membagikan kebajikan kepada yang lain dengan sukacita,” jelas Pastor Budi.

Ketika malam tiba, kaum muda dari berbagai agama datang kembali menggelar acara srawung lintas agama penuh keakraban dengan drama, nyanyian, tarian dan teater.

Monika Yunia dan Vani Octaviana pun terkesan dengan acara yang membuat mereka bisa bertemu banyak teman dari berbagai agama. “Walaupun berbeda-beda agama kita, suku kita, tradisi kita, tapi di sini kita dipertemukan untuk menjalin persaudaraan sejati,” kata Monika seraya berharap perbedaan bisa membuat kaum muda bersatu dan rukun. “Kegiatannya sangat seru,” kata Vani seraya berharap rasa hormat menghormati antarkaum muda dari berbagai latar belakang semakin kuat.(PEN@ Katolik/Lukas Awi Tristanto)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version