Romo Johnny Luntungan OP teringat hari terakhir berada di rumahnya di Manado, Sulawesi Utara, sebelum ia akan memasuki kehidupan membiara. Kedatangannya ke kampung halaman itu ingin berpamitan, sekaligus meminta restu kepada kedua orangtuanya, karena ia ingin masuk biara. Pilihannya sudah pasti, ia ingin menjadi calon imam Ordo Dominikan (Ordo Praedicatorum/OP).
Tinggal semalam lagi sebelum keesokan harinya Ia harus ke Surabaya untuk memulai kehidupan di biara. Dia cemas karena tujuan kepulangannya belum tuntas. Sebuah surat sudah ia siapkan, surat yang menyatakan pemberian restu dan izin, yang perlu mendapat tanda tangan dari ayahnya. Namun sampai malam terakhir di Manado, teken itu belum ia dapatkan. Sang ayah masih kukuh untuk tidak menandatangani surat itu.
Malam itu Johnny mengucapkan doa sebelum berbaring. Ia sudah bertekad untuk kembali ke Surabaya besoknya, meski surat izin untuk masuk biara yang disiapkan belum ditandatangani. Dengan usianya yang sudah terhitung dewasa saat itu, Biara Dominikan tempat ia akan bergabung, tidak menuntut harus ada surat itu. Namun, ia ingin memastikan, bahwa kedua orangtuanya mendukung pilihannya untuk mengikuti panggilan Tuhan.
Pagi pun datang, hanya beberapa saat lagi, Johnny akan berangkat ke Surabaya. Seperti pagi-pagi sebelumnya, ia menikmati sarapan di rumahnya. Di saat itulah, sang ayah menanyakan surat izin yang harus ditandatangani. “Mana surat itu, biar Papa tanda-tangani,” kata ayahnya memberi restu kepada anaknya yang ingin masuk biara meskipun berat. Dengan heran ia memberikan surat itu kepada ayahnya saat itu. Hanya setelah beberapa saat kemudian ayahnya mengaku bahwa pada malam sebelumnya dia menonton film The Passion of Christ di TV, dan film itu mengubah keputusannya. Namun, Romo Johnny lebih yakin, bahwa Tuhan sendirilah yang akhirnya menuntun sang ayang untuk memberi izin itu.
Selain kepada ayahnya, Ia juga meminta restu dari Ibunya. Ia ingat, ibunya memberikan izin, meski dengan air mata merelakan anaknya masuk biara. “Tenang saja, Ma, kalau saya tidak betah pasti saya akan pulang kok,” kenang Romo Johnny mencoba menghibur Ibunya. Johnny merasakan kelegaan saat Ia berangkat ke Surabaya dengan restu kedua orang tuanya. Ia akan memulai hidup baru, menapaki panggilan Tuhan dalam Ordo Pewarta.
Dari Proyek Bangunan ke Biara
Kembali lagi ke masa lalu sebelum memutuskan untuk masuk biara, Romo Johnny adalah seorang manajer proyek bangunan yang sudah bekerja sekian tahun di Manado. Dia adalah lulusan Teknik Sipil dari Universitas Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara. Pada tahun 2009, ia diminta kakaknya untuk ke Surabaya. Kebetulan, saat itu sang kakak ingin membangun rumah, maka ia meminta Johnny untuk membangunnya.
“Aku mau bangun rumah, sini bantuin saya,” kenang Romo Johnny saat diminta kakaknya membantu membangun rumah di Surabaya.
Mendapat permintaan itu, Dia pun bertolak ke Surabaya. Awalnya, ia hanya fokus membantu sang kakak. Tak ada sedikitpun keinginan untuk masuk biara. Sebagai seorang teknik sipil yang punya pengalaman, pekerjaan dari kakaknya ia jalani dengan sebaik mungkin.
Di sela-sela aktivitasnya itu, kakaknya mengajak Johnny untuk bergabung dengan Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK) Heman Salvation Ministry (HSM) di Surabaya. Ia mulai rajin ikut persekutuan doa, dan acara-acara rohani yang diadakan. Di sinilah, lewat kegiatan-kegiatan di PDKK, panggilan untuk menjadi imam akhirnya secara perlahan muncul dan semakin kuat. Ada satu pertanyaan yang kemudian muncul dalam hidupnya, apakah ia terpanggil untuk menjadi imam?
Romo Johnny mengenang, ia sempat mengikuti retret di rumah Retret milik Suster Putri Karmel di Ngadireso Malang dan bertanya-tanya tentang tarekat pria yang terafiliasi dengan Putri Karmel yaitu CSE. Namun, ia mundur karena lebih menginginkan untuk bergabung dengan tarekat aktif di tengah umat. Setelah beberapa saat mencari, ia kemudian mengikuti sebuah seminar rohani yang menghadirkan seorang imam Dominikan sebagai pembicara. Di sinilah ia pertama kali mengenal Ordo Pewarta. Dalam seminar itu, sang imam menjelaskan tentang Santo Dominikus, tentang Ordo Pewarta, dan bagaimana emosi manusia diciptakan Allah baik adanya sehingga bisa menjadi sarana untuk meraih kekudusan.
“Saya tertarik dengan pewartaan romo itu, bahwa Allah sudah menciptakan kita baik apa adanya dengan pikiran dan perasaan,” ujar Romo Johnny mengenang.
Di sinilah, ia merasa menemukan jawaban atas pertanyaannya. Dominikan rasanya menjadi jawaban akhir atas apa yang ia cari. Di sinilah, ia kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Ordo Pewarta. Ia menyelesaikan pendidikan filsafat di Surabaya selama empat tahun, juga menjalani masa formasi di Filipina selama kurang lebih delapan tahun.
“Saya meyakini, Tuhan lah yang memampukan sehingga akhirnya saya dapat menapaki panggilan ini,” ujar Romo Johnny.
Romo Johnny mengingat, bahwa ketika aktif dalam PDKK, ia begitu tertarik dengan doa, belajar Kitab Suci, dan kegiatan kebersamaan lainnya dalam pertemuan sel. Kerinduan untuk tetap hidup berkomunitas semacam ini juga ia dapati dalam cara hidup Dominikan. “Di dalam Ordo Pewarta, hidup komunitas menjadi salah satu pilar spiritualitasnya selain hidup doa, hidup studi, dan hidup pelayanan. Di dalam komunitas, ada kebersamaan antara satu dengan yang lain untuk saling menguatkan doa, studi, dan pelayanan,” ujarRomo Johnny.
Imam Sinodal
Imam sinodal adalah imam yang selalu rindu untuk dapat berjalan bersama umatnya. Ini berarti imam itu mau masuk ke dalam kehidupan umatnya, berempati dengan setiap tantangan kehidupan umat, dan selalu ada untuk memberi penghiburan dan kekuatan kepada umatnya. Menjadi sosok imam seperti inilah, yang ingin diwujudkan Romo Johnny ketika nanti ia sudah ditahbiskan dan bertugas melayani umat.
“Saya ingin menjadi imam yang berjalan bersama umat,” ujarnya.
Berjalan bersama umat berarti menemani umat ketika mereka bergelut dengan imannya. Kehidupan keseharian umat adalah dinamika yang menawarkan banyak peluang untuk semakin menemukan kehendak Allah. Di dalam dinamika inilah, Romo Johnny ingin hadir dan menemani umatnya untuk menemukan pemahaman iman yang sejati.
“Saya senang berdialog, terutama dengan mereka yang sedang bergelut dengan imannya,” ujar Romo Johnny. “Terkadang, segala pergumulan dan keraguan hanyalah debu jika kita bisa melihat betapa besarnya kasih Allah dan penyertaanNya dalam hidup kita.”
Romo Johnny ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo di Gereja St. Helena Curug, Tangerang, Banten pada 22 Februari 2025. Kedua orang tuanya akan turut bersama mengantar dia memasuki hidup baru sebagai imam dengan hati yang dipenuhi suka cita. Ia akan ditahbiskan bersama empat Romo Dominikan lain dari lintas Angkatan. (AES)
***
<<dalam bok tersendiri>>
Profil: Romo Johnny Luntungan, OP
Tempat Tanggal Lahir : Manado, 10 Oktober 1981
Perjalanan Formasi
Aspiransi : 2013-2015 (Surabaya, Indonesia)
Postulansi : 2015-2016 (Calamba, Filipina)
Novisiat : 2016-2017 (Manaoag, Filipina)
Kaul Pertama (OP) : 24 Juni 2017 (Manaoag, Filipina)
Kaul Kekal (OP) : 25 April 2021 (Quezon City, Filipina)
Penerimaan Lektor : 22 Agustus 2021 (Quezon City, Filipina)
Penerimaan Akolit : 20 Oktober 2022 (Quezon City, Filipina)
Tahbisan Diakon : 19 Maret 2024 (Quezon City, Filipina)
Riwayat Pendidikan
S1 Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi Manado (Tahun Lulus, 2007)
S1 Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala (Tahun Lulus, 2019)
S1 Teologi Universitas Santo Tomas (Tahun Lulus, 2022)
S2 Teologi Universitas Santo Tomas (Tahun Lulus, 2022 – Sekarang)
Moto Panggilan: “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” (Yohanes 2:5)