26.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Dukungan bagi Perempuan Korban Traficking

BERITA LAIN

More
    Demonstrasi menentang perdagangan manusia. IST

    PEREMPUAN sangat rentan menjadi korban perdagangan manusia. Alih-alih mendapat pekerjaan di Negara tujuan malah mereka diperlakukan tidak manusiawi oleh majikan. Sebagian besar korban biasanya terbuai oleh bujuk rayu para calo TKW atau TKI. Proses prekrutannyapun tidak sesuai aturan. Banyak juga korban yang mengakui mereka diintimidasi.

    Salah satu contohnya kasus TKI asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), Adelina Sau. Ia merupakan TKI yang ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah rumah di Malaysia pada 10 Februari 2018 lalu. Setelah dibawa ke Rumah Sakit, nyawa Adelina tidak tertolong sehari kemudian.

    Masih begitu banyak kasus-kasus penjualan orang yang mengendap ke dalam lumpur persoalan imigran. Belum lagi karena peliknya administrasi mengingat sebagian besar korban mengikuti jalur ilegal. Mereka pada akhirnya tanpa daya. Kebanyakan dari mereka yang dibawa pulang adalah trauma dan jenazah.

    Melindungi Korban

                Korban penjualan manusia selalu meningkat setiap tahunnya. Melihat kondisi miris tersebut Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (IBSI) membentuk Counter Women Trafficking Commission (CWTC) sebagai wadah yang melindungi para perempuan korban trafficking. Berdirinya CWTC tidak sekali jadi. Bermula dari  undangan menghadiri kongres Anti Perdagangan Perempuan di Manila bagi para biarawati dari Asia dan Australia.

    Kongres ini diadakan oleh International Union of Superiors General (UISG). Dalam Kongres tersebut International for Migration (IOM) memaparkan fakta seputar perdagangan manusia di seluruh dunia. Paparan tersebut menguak bagaimana perdagangan manusia (migrant) terjadi.

                Ketua CWTC, Sr. Catharina RGS mengungkapkan dari sajian materi tersebut diketahui  bagaimana penyalur tenaga kerja Indonesia maupun jaringannya melakukan aksi. Temuan menunjukkan para pekerja tersebut dipekerjakan tidak seuai dengan janji. Ada yang dijanjikkan menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT), perawat orang jompo, baby siter, kerja di Restoran,  Caffe hingga di perusahaan.

    “Naas yang menimpa para pekerja tersebut yang justeru mengalami kekerasan demi kekerasan, menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) hingga menjadi bintang film porno,” ujarnya.

                Lebih lanjut ia mengungkapkan korban asal Indonesia menempati urutan kedua setelah Filipina. Korban dari Filipina mampu membela dirinya karena menguasai bahasa Inggris, Sementara korban dari In donesia tidak dapat membela diri karena keterbatasan bahasa.

                “Di   sini dapat dilihat bahwa sumber daya manusia juga menjadi pemicu. Tidak ada pelatihan atau khursus khusus untuk meningkatkan keterampilan mereka,” kata dia.

                Dalam suasana kongres tersebut, salah seorang suster dari Taiwan mempertanyakan biarawati Indonesia yang belum memiliki gerakan untuk membantu para korban perdagangan manusia. Ia mengungkapkan di Taiwan terdapat begitu banyak korban yang berasal dari Indonesia sebagaimana yang ditanganinya selama ini.

    “Tidak ada satupun yang menolong mereka bahkan ketika mereka dalam penjara, tidak ada seorangpun yang mengunjungi,” bebernya meniru ucapan suster Taiwan tersebut.

                Ia menambahkan kritikan suster Taiwan tersebut membuat Sr. Antonie PMY yang menghadiri kongres mewakili IBSI saat itu tersentak. Ia merasa terpanggil untuk menyampaikan hal itu kepada anggota IBSI. Ia menginginkan agar IBSI juga memiliki konsen terhadap isu perdagangan manusia.

    Pada tahun 2008 IBSI menanggapi masukan Sr. Antonie dengan baik. Maka pada tahun itu juga CWTC disahkan oleh IBSI. “Dengan berdirinya CWTC akan melindungi para imigran perempuan yang menjadi korban di Negara tujuannya,’ kata dia.


    Penguatan Jaringan

    Perdagangan manusia menjadi topik utama dalam sidang tiga tahun IBSI. Meskipun sudah menjadi materi pembahasan IBSI, akan tetapi terbentuknya CWTC  mengkhwatirkan beberapa anggota IBSI. Kekhawitiran tersebut bukan tanpa dasar.  Melindungi para migran bukanlah pekerjaan yang mudah bahkan cukup berbahaya. Resiko pekerjaan yang berat membuat beberapa tarekat tidak mau terlibat.

    Sekretaris CWTC Sr.Vincentia PMY mengungkapkan hanya lima tarekat yang kukuh melibatkan diri untuk bergabung dengan para religius perempuan seluruh dunia yaitu tarekat suster Putri Maria Yosef (PMY), Suster Abdi Roh Kudus (SSpS), Suster Misionaris Claris (MC), Suster Gembala Baik (RGS) dan suster Putri Kasih (PK). Dengan bermodalkan iman kelimanya berjibaku.

    “Dalam perjalanan waktu beberapa kongregasi juga turut memperkuat CWTC dengan terlibatnya beberapa kongregasi lagi seperti Kongergasi Santa Perawan Maria (SPM), kongregasi  Biarawati Karya Kesehatan dansuster Fransiskanes dari St. Georgius Martir (FSGM),” jelasnya.

    Lebih lanjut ia mengatakan CWTC-IBSI telah menjadi anggota jaringan Internasional yang tergabung  dalam Talita Khum  yang ada dibawah naungan UISG (International Union of  Superiors General). Hampir tiap tahun selalu ada undangan untuk ikut hadir dalam pertemuan-pertemuan  penguatan jaringan dan penyegaran agar bersemangat dalam berkarya.

    Pada awalnya pertemuan dihadiri oleh para provinsial yang saat itu sedang ada aktivitas  di Roma, sehingga  tidak mengeluarkan biaya. CWTC-IBSI, kemudian mendapat dukungan dana  dari Mensen  met  enn Missie (MM) dari Belanda dan juga beberapa sahabat PMY yang ada di Belanda.

    Pada awalnya yang dilakukan pengurus CWTC-IBSI adalah  mengadakan sosialisasi terkait perdagangan manusia. Sosialisasi ini dilakukan untuk para religius perempuan di berbagai Keuskupan,. “Juga melibatkan para suster di pusat-pusat pastoral keuskupan, paroki, stasi, lingkungan maupun kelompok-kelompok katergorial maupun teritorial dimana para suster berada dan berkarya, mereka bagai ragi hingga menyebar ke seluruh tanah air,” kata dia.

    Zero Traficking

    Mulai  tahun 2014 CWTC-IBSI tidak hanya melakukan sosialisasi, tetapi juga memfokuskan pada kerja jejaring. CWTC melakukan kerjasama dengan religius alumni training yang diadakan oleh CWTC-IBSI sendiri, maupun jaringan dengan pemerintah, NGO dan juga lembaga-lembaga Gereja.

    Sr. Catharina  menjelaskan CWTC mulai berjejaring sehingga dapat lebih fokus serta mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang memiliki konsentrasi yang sama. Koalisi yang telah dibangun oleh CWTC-IBSI antara lain Koalisi Peduli NTT, dan juga daerah lain seperti di Batam, Medan, Jakarta , Lampung, Kupang, Surabaya dan teman-teman dari Keuskupan Ende. 

    “Koalisi WGTIP ( Work Group Trafficking In Person ) yang di pelopori oleh Vivat Indonesia semakin luas jangkauannya, kita juga bekerjasama dengan Kementerian Tenaga Kerja,  JPM ( Jaringan Peduli Migrant  KAJ ) Migrant Care dan JPIC,” terangnya.

    Koalisi Jaringan yang terbaru terbentuk di Labuan Bajo yang meliputi lembaga-lembaga Mitra MM, perwakilan NGO Internasional seperti ILO, IOM, Migrant Care dan berbagai lembaga yang lainnya. “Di dalam jejaring CWTC-IBSI bekerjasama dengan berbagai pihak. Dengan terus bekerjasama, misi untuk mengentaskan human trafficking perlahan-lahan diselesaikan,” pungkasnya.

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI