Sabtu, Juli 27, 2024
26.1 C
Jakarta

Hari Toleransi, Berikut Pesan Toleransi Romo Magnis dan Kardinal Suharyo

Kardinal SUharyo saat mengunjungi kediaman KH Nasaruddin Umar pada Idul Fitri 2022. Pena Katolik

JAKARTA, Pena Katolik –Hari Toleransi Internasional diperingati setiap 16 November. Hari ini ditetapkan oleh UNESCO sejak tahun 1995. Penetapan ini untuk menandai Tahun Toleransi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 16 November 1965 dan peringatan 125 tahun kelahiran Mahatma Gandhi. Di tahun 1995 itu, UNESCO menciptakan Deklarasi Prinsip-Prinsip tentang Toleransi.

Penetapan ini untuk mendefinisikan dan memberikan kesadaran toleransi bagi setiap dan semua badan yang mengatur dan berpartisipasi. Deklarasi ini juga menegaskan bahwa toleransi bukanlah kesenangan atau ketidakpedulian. Toleransi adalah rasa hormat dan penghargaan terhadap keragaman budaya dunia kita yang kaya, bentuk ekspresi dan cara kita menjadi manusia.

“Toleransi lebih dari sekadar menerima yang lain secara pasif. Itu membawa kewajiban untuk bertindak, dan harus diajarkan, dipelihara dan dipertahankan. Toleransi membutuhkan investasi oleh Negara pada manusia, dan dalam pemenuhan potensi penuh mereka melalui pendidikan, inklusi, dan peluang.

Ini berarti, negara berusaha membangun masyarakat yang didirikan atas dasar penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pembangunan ini dimaksudkan menghilangkan ketakutan, ketidakpercayaan, dan marginalisasi digantikan oleh pluralisme, partisipasi, dan penghormatan terhadap perbedaan.

Tokoh Katolik

Terkait dengan toleransi, Gereja Katolik Indonesia tak kekurangan tokoh-tokoh yang selalu menyuarakan toleransi. Budayawan dan cendekiawan Katolik, Romo Franz Magnis Suseno SJ menyatakan sebesar 95% masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan toleransi hubungan antaragama. Sebagian besar masyarakat ini memiliki hubungan yang rukun dalam kehidupan sehari-hari.

Meski begitu, Romo Magnis memberi catatan pada UU Nomor 5 Tahun 1969 yang menyebutkan ada 6 agama yang diakui di Indonesia, yaitu : Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Budha, Hindu, dan Khonghucu. Hal ini kadang menjadi salah satu penyebab timbulnya intoleransi di Indonesia.

Ia mempertanyakan bagaimana masyarakat di luar 6 agama besar tersebut dijamin untuk menjalani agama atau kepercayaannya. Padahal pasal 28 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

Romo Magnis mengingatkan, sikap yang harus diambil masyarakat beragama di Indonesia untuk dapat mencegah terjadinya intoleransi adalah bagi umat mayoritas menghormati umat minoritas. Masyarakat matoritas hendaknya ikut menjamin mereka melakukan ibadahnya. Ia melanjutkan, bagi minoritas, mereka dapat menghormati dan juga menjaga perasaan umat mayoritas.

Paham Ajaran Gereja

Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo mengemukakan pentingnya memahami dokumen-dokumen Gereja. Menurutnya, dalam dokumen ini, jelas ditunjukkan Gereja menjunjung martabat manusia dan kebebasan beragama. Ia mencontohkan, penandatanganan dokumen tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia oleh Paus Fransiskus dan Imam besar Al Azhar, Ahmed Al-Tayep menunjukkan upaya membangun persaudaraan.

Pesan toleransi ini kemudian ditindaklanjuti oleh para tokoh agama di Indonesia. Di Indonesia, para tokoh agama menulis buku penjelasan terhadap dokumen Abu Dhabi tersebut. Kardinal Suharyo jugua memberi penekanan pada ensklik Frateli Tutti yang juga berbicara tentang kemanusiaan dan persaudaraan sosial.

“Dokumen-dokumen tersebut perlu dibaca dan dipahami jika kita ingin belajar watak toleransi khususnya dalam praktik,” jelas Kardinal saat memberi pengantar dalam acara Talkshow Alumni Katolik Universitas Indonesia (Alumnika UI), Sabtu, 22/1/2022.

Beberapa hal yang masih sering menghambat toleransi menurut Kardinal Suharyo adalah agama seringkali dipolitisasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Sebagai gantinya, ia mendorong setiap orang untuk setia berbuat baik.

“Namun demikian semua itu harus kita atasi bersama dengan rajin berbuat baik,” tegasnya.

Kardinal lalu memberi contoh, salah satu tindakan nyata yakni ‘berkunjung’. Dalam membangun toleransi di sekitar kita adalah berani berkunjung ke pimpinan masyarakat, menghadiri peristiwa-peristiwa keagamaan, atau bahkan pernikahan.

Kardinal Suharyo memberi contoh salah seorang imam di KAJ, Paroki St. Odilia Citra Raya Tangerang yakni Romo Felix Supranto telah melakukan hal ini sejak sepuluh tahun lalu. Romo Felix terlibat dalam kegiatan dan keprihatinan masyarakat. Romo Felix menjalin relasi dengan berbagai tokoh masyarakat dari beragam latar belakang.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini