30 C
Jakarta
Thursday, May 2, 2024

Kardinal Suharyo dan Cita-Cita yang Tidak Terwujud

BERITA LAIN

More
    Kardinal Ignatius Suharyo berbincang dengan Paus Fransiskus dalam sebuah perjumpaan di Vatikan. IST

    JAKARTA, Pena Katolik – Suatu hari, Kardinal Ignatius Suharyo bangun lebih pagi dari biasanya. Hari itu, ia akan bergegas ke bandara untuk pergi ke luar kota. Untuk itu, pada saat matahari belum menanpakkan “batang hidungnya” di Ibu Kota, Kardinal Suharyo sudah berada di meja makan. Pagi itu, ia ingin menyantap sedikit makanan, sebelum ia akan menempuh perjalanan jauh.

    Pagi itu, taka da makanan tersisa di meja makan. Pagi masih begitu dini, sehingga menu sarapan yang biasa tersedia di Wisma Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) pun belum tersedia. Setelah mencari beberapa saat, pilihannya jatuh pada sebungkus mie instan yang selalu tersedia di ruang makan. Alhasil, makanan cepat saji itulah yang menjadi menu sarapannya pagi itu. Sesekali, saat di meja makan tidak tersedia sarapan, ia tidak mau merepotkan orang lain, semangkuk mie instan, rasanya cukup menjadi bekalnya sebelum menempuh perjalanan jauh.

    Begitulah, semakuk mie instan itu menjadi gambaran kesederhanaan Kardinal Suharyo. Sejak menjadi imam, ia dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Meski dari waktu ke waktu, ia memiliki “jabatan” yang terus “naik”, Kardinal Suharyo masih saja dikenal sebagai pribadi sederhana.

    Kardinal Ignatius Suharyo saat dipantik Paus Fransiskus menjadi kardinal di Basilika St Petrus Vatikan. IST

    Agung Tanpa Palium

    Tahun ini, Kardinal Suharyo memperingati ulang tahun episkopal ke-25. Itu berarti Uskup Agung Jakarta itu sudah seperempat abad menjadi uskup. Ia ditahbiskan menjadi uskup pada 22 Agustus 1997 di Stadion Jati Diri, Semarang, Jawa Tengah. Sebelum bertugas di KAJ, ia adalah Uskup Agung Semarang selama 13 tahun. Ia tugaskan untuk menjadi uskup di KAJ pada 29 Juni 2010. Di kedua tempat ini, ia menggantikan Kardinal Julius Darmaatmadja SJ.

    Sebagai seorang Uskup Agung, sebenarnya Kardinal Suharyo memiliki penanda yaitu Pallium dari bulu domba yang menjadi salah satu pakaian liturgi setiap kali ia memimpin Misa. Namun, pada setiap kesempatan memimpin Misa, ia amat jarang atau bahkan tidak pernah mengenakan Pallium ini. Perihal keengganan ini, pada beberapa kesempatan, Kardinal Suharyo menceritakan, bahwa ia memang tidak begitu menyukai banyak aksesoris.

    “Saya tidak suka mengenakan banyak aksesoris, saya menyukai yang serba simple,” begitu Kardinal Suharyo menceritakan perihal keengganannya memakai Pallium.

    Pallium ini adalah selempang berwarna putih yang biasa dikalungkan sebagai aksesoris paling luar bagi setiap uskup agung dalam Perayaan Ekaristi. Pallium inidiberikan dari tangan Paus kepada setiap Uskup Agung di seluruh dunia sebagai lambang bagi seorang uskup metropolit. Paus setiap tahun menyerahkan Pallium inikepada semua uskup agung yang diangkat pada tahun itu dalam sebuah Misa di Vatikan pada Hari Raya Petrus dan Paulus tanggal 29 Juni. Sebelumnya, Setiap tahun, pada Pesta St. Agnes, Paus akan memberkati bulu domba yang akan digunakan untuk memintal Pallium ini.

    Meski menjadi Uskup Agung, juga di sebuah keuskupan di Ibu Kota Negara, Kardinal Suharyo lebih menyukai segala sesuatu yang sederhana. Sebagai seorang Uskup Agung, ia sebenarnya harus disebut sebagai “Uskup Agung Jakarta”, namun, ia selalu berpikir, bahwa ia merasa tidak pantas disebut sebagai seorang yang “agung”. Untuk itu, ia meminta untuk disebut sebagai “Uskup Keuskupan Agung Jakarta”. Dengan sebutan ini, ia ingin menjadi pribadi yang sederhana, tidak ingin “diistimewakan” dalam hal apapun. Bagaimanapun juga, martabat sebagai uskup adalah menjadi pelayanan yang sebenar-benarnya bagi segenap umat di keuskupannya.

    “Namun untuk menyebut diri sendiri Agung, rasanya kok saya merasa tidak pantas,” begitu ucapnya suatu kali.

    Kardinal Ignatius Suharyo. IST

    Imam Paroki

    Kardinal Suharyo lahir di Sedayu, Bantul, Yogyakarta, Indonesia pada 9 Juli 1950. Kedua orangtuanya adalah pasangan Florentinus Amir Hardjodisastra dan Theodora Murni Hardjadisastra.  Sebagai anak ketujuh dari seorang ayah yang adalah pegawai di Dinas Pengairan Daerah Istimewa Yogyakarta, ia memiliki sembilan saudaralain. Kakaknya, Romo Suitbertus Ari Sunardi OCSO adalah rahib imam di Pertapaan Santa Maria Rawaseneng di Kabupaten Temanggung sejak tahun 1955. Sementara dua orang saudarinya yang menjadi biarawati adalah Suster Christina Sri Murni, FMM dan Suster Maria Magdalena Marganingsih, PMY.

    Di masa kecilnya, Suhayo sebenarnya cukup terlambat menyadari panggilannya menjadi imam. Ketika kakaknya sudah ada yang masuk seminari, ia bahkan ingin menjadi Polisi. Namun, ia pun “bingung” kenapa setiap cita-citanya selalu tidak ada yang “terwujud”. Ia menyadari, barangkali seperti inilah jalan yang ditunjukkan Tuhan dalam hidupnya.

    “Jalan hidup saya itu selalu dibelokkan oleh Tuhan,” ujar Kardinal Suharyo.

    Ketika ada kakaknya telah masuk biara dan ada yang di seminari, Suharyo kecil bahkan berpikir untuk tidak menjadi imam. Pada suatu kali, Suharyo kecil bahkan pernah mengatakan kepada orangtuanya untuk tidak ingin menjadi imam, biar kakak-kakaknya saja yang memiliki cita-cita itu.

    “Aku akan di rumah saja, kalian saja kakak-kakak yang menjadi room,” begitu Kardinal Suharyo mengenang masa kecilnya.

    Namun, jalan panggilan Suharyo nyatanya memang menjadi imam. Suharyo menghabiskan masa kecilnya di desa kelahirannya. Ia bersekolah di SD Kanisius, Gubuk, Sedayu, dan pada kelas IV ia pindah ke SD Tarakanita, Bumijo, Yogyakarta. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Seminari Kecil Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah sejak tahun 1961. Saat itu, pendidikan di seminari memang sudah dimulai sejak anak usia Sekolah Menengah Pertama.

    “Cita-cita saya satu, ingin menjadi imam yang baik, itu saja,” ujarnya.

    Mgr Ignatius Suharyo saat memimpin Tahbisan Uskup Agung Semarang tahun 2017. IST

    Suharyo menjalani pendidikan menengah atas di Seminari Menengah Mertoyudan dan lulus pada tahun 1968. Setelah itu, ia bergabung menjadi calon imam diosesan Keuskupan Agung Semarang. Ia ditahbiskan menjadi imam pada 26 Januari 1976 oleh Kardinal Justinus Darmojuwono di Kapel Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, bersama dengan Romo Yohanes Bardiyanto.

    Impian Suharyo menjadi imam sebenarnya sederhana. Ia menginginkan menjadi imam yang bekerja di paroki. Tentu, ia begitu terkesan dengan para imam yang berkarya di Paroki Sedayu, tempat di mana iman Suharyo berkembang sedari kecil.

    “Impian saya sebenarnya sederhana, saya ingin menjadi imam yang melayani di paroki, menjadi romo paroki, namun ternyata pada atasan saya menugaskan hal yang lain,” ujarnya.

    Namun, nyatanya panggilan menuntun Romo Suharyo untuk berjalan lebih jauh lagi. Setelah tahbisan, Kardinal Darmojuwono kemudian menugaskan Mgr. Suharyo untuk belajar di Roma, Italia. Ia dutugaskan belajar Kitab Suci di Universitas Urbaniana, Roma, Italia. Ia menyelesaikan studi Doktoral Teologi Bibilis di universitas itu pada tahun 1981.

    Setelah kepulangannya dari Roma, Italia, Romo Suharyo menjadi pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Kateketik Pradnyawidya, Yogyakarta (1981 – 1991). Ia juga sempat menjadi Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta (1983 – 1993). Sesuai dengan bidangnya, Romo Suharyo adalah pengajar Pengantar dan Ilmu Tafsir Perjanjian Baru. Ia adalah Dekan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta sejak tahun 1993 sampai akhirnya ia ditunjuk Paus Yohanes Paulus II untuk menjadi Uskup Agung Semarang.

    Kardinal Ignatius Suharyo bersama Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Piero Pioppo. IST

    Senang Kalau Salah

    Perihal kiprahnya menjadi formator (romo yang bekerja mendidik para calon imam) di rumah pendidikan Imam Keuskupan Agung Semarang ini, Romo Suharyo dikenal sebagai dosen dan pembimbing rohani yang begitu sabar dan ramah. Kepada setiap frater yang ia damping, ia selalu melihat mereka dengan penilaian positif. Meski sebagai formator tentu ia harus memberi penilaian, termasuk hal-hal negative dari seorang frater, ia selalu menganggap bahwa penilaiannya bisa saja salah dan ia berharap frater yang bersangkutan dapat terus mengembangkan diri dalam panggilannya.

    “Setiap kali menyampaikan penilaiannya terhadap seorang frater, dan setiap kali ia menyampaikan hal yang negatif tentang seorang frater, Romo Suharyo selalu mengakhirnya dengan mengatakan ‘saya senang kalua pendapat salah’,” begitu kenang salah seorang imam sesama formator.

    Oleh para imam yang pernah di seminari dan menjalani masa pendidikan di bawah bimbingan Romo Suharyo, mereka selalu mengingat kesabaran dari romo pendamping mereka ini. Kesan ini tetap ada, meski kini Suharyo telah menjadi seorang uskup, dan bahkan menjadi Kardinal.

    Pengangkatannya sebagai Kardinal sebenarnya bukan menjadi sesuatu yang sepenuhnya mengejutkan. Sudah sejak lama, banyak yang menilai, baik itu di kalangan umat, dan para imam menilai bahwa Suharyo adalah sosok yang pantas ditunjuk menjadi Kardinal dari Indonesia. Nyatanya, hal ini terwujud saat ia sudah berada di Jakarta untuk menjadi uskup di KAJ. Paus Fransiskus sendiri yang meletakkan birreta merah di atas kepalanya, sebagai penanda seseorang dilantik menjadi “pangeran Gereja”.

    Kardinal Suharyo tentu tidak menyangka, kini ia menjadi kardinal. Ada sebuah surat yang secara pribadi, dikirimkan Paus Fransiskus kepadanya. Di dalam surat itu, Bapa Suci menghendaki setiap Kardinal yang ia pilih menyadari tugasnya untuk melayani.

    “Ingat, ini bukan jabatan duniawi, ini bukan karier. Menjadi Kardinal adalah martabat yang menuntut komitmen total. Anda dituntut komitmen total, sampai menumpahkan darah,” kenang Kardinal Suharyo atas surat dari Paus.

    Bagi Kardinal Suharyo, pengangkatannya sebagai cardinal adalah pertama-tama kehormatan bagi bangsa Indonesia. Ini berarti, Paus Fransiskus menilai bahwa Indonesia adalah negara yang penting bagi Gereja Katolik. Kardinal Suharyo menyadari, sebagai seorang Kardinal, ia harus menyatukan gerak langkahnya dengan Paus, untuk itu, ia menyadari untuk terus mengenang Santo Paulus dan Santo Petrus yang keduanya gugur karena imam. Dua orang kudus ini adalah penyangga Gereja.

    “Setiap lima tahun, kami diminta untuk pergi ke Roma dan berziarah ke makam Santo Petrus dan Paulus. Harapannya, kami para uskup yang berkunjung ke sana berani mempertaruhkan hidupnya untuk iman,” ujar Kardinal.

    Sebagai manusia biasa, Kardinal Suharyo menyadari ada saat-saat tertentu ia ingin menikmati waktu sendiri untuk sekadar rekreasi. Kardinal Suharyo menceritakan, di sela kesehariannya, ia senang mendengarkan rekaman kaset wayang kulit. Barang kali sebuah kebetulan, sebulan lalu pada ulang tahun episkopalnya, diadakan pertunjukkan wayang kulit di halaman Katedral Santa Maria Diangkat ke Surga. Pertunjukan ini tercatan yang pertama kali di adakan di Katedral Jakarta.

    “Kadang saya tidak tahu apa yang diucapkan dalang, namun bunyi gamelan bisa menentramkan dan memberi kesegaran,” ujarnya. (Antonius E. Sugiyanto)

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI