Pandemi Covid-19 yang diselingi letusan gunung api, kecelakaan pesawat terbang, longsor, banjir dan gempa yang melanda bangsa kita semua mengakibatkan kematian dan berbagai macam penderitaan bagi sekian banyak saudara-saudari sebangsa, tidak terkecuali penderitaan di bidang ekonomi.
“Namun tidak boleh dilupakan, masalah kemiskinan bukan baru muncul sebagai akibat musibah-musibah mutakhir tersebut. Masalah kemiskinan yang melanda sebagian besar umat manusia dewasa ini berakar dalam sejarah panjang akibat ketidakadilan sosial yang berkelanjutan,” kata Uskup Agung Makassar Mgr John Liku-Ada’ dalam Surat Gembala Prapaskah 2021 bertema “Semakin Beriman Semakin Solider” (Membangun Ekonomi Solidaritas) yang ditayangkan lewat Youtube.
Ketidakadilan sosial, jelas Liku-Ada’, berpangkal dari individualisme atau egoisme yaitu kecenderungan mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan sesama. “Individualisme itu menyangkut sikap hati dan menjadi budaya. Gereja selalu menentang budaya individualistis dan mempromosikan budaya solider,” tegas uskup itu.
Dijelaskan, solidaritas itu tema utama Ajaran Sosial Gereja. “Solidaritas adalah penerapan perintah kasih, yaitu membaktikan diri demi kepentingan sesama,” kata uskup seraya mengutip Santo Paus Yohanes Paulus II yang menegaskan “solidaritas adalah tekad membaktikan diri pada kesejahteraan umum, artinya, kesejahteraan semua dan setiap orang.” Di tengah bercokolnya budaya individualistis, lanjut Liku-Ada’, “Gereja berupaya membangun upaya tandingan. Itulah budaya solidaritas.”
Gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) nasional, menurut uskup agung itu, pada hakekatnya adalah “upaya Gereja Katolik Indonesia untuk membangun budaya solidaritas secara berkelanjutan” dalam tradisi puasa dan pantang selama 40 hari, dari Rabu Abu sampai Sabtu Suci.
Sebelum Konsili Vatikan II, jelas Mgr Liku-Ada’, kewajiban berpantang adalah dari makan daging dan kewajiban berpuasa adalah hanya satu kali makan kenyang sehari dalam setiap hari selama 40 hari, tetapi Konstitusi Apostolik Paenitemini yang dikeluarkan Paus Paulus VI, 17 Februari 1966, merubah kewajiban itu menjadi saat ini.
Kesannya, konstitusi itu meringankan kewajiban puasa dan pantang, namun uskup itu mengingatkan ketentuan dalamnya khususnya tugas konferensi para uskup untuk mengganti pantang dan puasa seluruhnya atau sebagian dengan bentuk-bentuk penitensi lain dan khususnya karya-karya amal kasih dan latihan-latihan kesalehan.
Berdasarkan tugas itu, KWI menekankan seluruh masa puasa sekarang yang lebih lazim disebut Masa Prapaskah adalah waktu bertapa dengan kesadaran dan kerelaan melakukan karya amal dan pantang menurut pilihan masing-masing selain yang diwajibkan. “Tapi ketetapan penting dan bermakna besar ialah secara khusus diminta perhatian untuk APP, yaitu mengumpulkan dana yang diperoleh dari usaha puasa dan pantang secara perorangan atau secara bersama,” tegas Mgr Liku-Ada’.
Selama puluhan tahun, lanjut prelatus itu, umat Katolik Indonesia di keuskupan dengan koordinasi Komisi PSE KWI dalam kerja sama dengan komisi PSE keuskupan menjalankan Gerakan APP Nasional, yang “merupakan upaya membangun budaya alternatif dilandasi spiritualitas kasih dalam mewujudnyatakan pesan Kitab Suci.”
Seraya mengutip beberapa ayat Kitab Suci, Mgr Liku-Ada’ mengatakan, berbeda dengan agama-agama lain, puasa bukan mati raga, karena makanan adalah pemberian Allah, puasa berarti merendahkan diri sendiri, menyatakan sikap ketergantungan kepada Allah, dan dipraktekkan sebagai persiapan untuk bertemu Allah, untuk menyatakan ratap pribadi, untuk memohon karunia, untuk memohon pengampunan kolektif atau individual, untuk memohon terang ilahi, dan sebelum memulai suatu misi.
Mgr Liku-Ada’ mengingatkan tiga relasi dasar hidup manusia, yaitu hubungan dengan diri sendiri dengan mengurangi makan dan berpantang, hubungan dengan sesama dengan memberi sedekah, dan hubungan dengan Tuhan dengan doa. “Gerakan APP Nasional mengemas hal itu dalam kegiatan selama Masa Prapaskah. Komisi PSE KWI menetapkan renungan dari tahun ke tahun dan merumuskannya dalam garis besar, selanjutnya Komisi PSE Keuskupan mengelola pertemuan bernuansa ibadah, aksi pengumpulan dana hasil usaha puasa dan pantang di paroki dan sekolah.
Dari dana itu sejumlah uang digunakan oleh Yayasan Karina (Caritas Indonesia) yang berupaya mengurangi dampak krisis kemanusiaan dan oleh Dana Solidaritas Antar Keuskupan yang membantu sarana peribadatan di keuskupan termasuk pelatihan atau kursus para pelayanan, imam, katekis, berkaitan dengan dimensi relasi dengan Tuhan.
“Kata kunci dalam Gerakan APP adalah P terakhir, pembangunan. Prinsip APP membantu orang agar akhirnya mampu membantu diri sendiri” dengan tidak memberi nasi bagi yang membutuhkan tapi pacul, dan tidak memberi ikan bagi yang membutuhkan tapi kail.
Tujuan utama APP ialah membantu orang atau kelompok orang atau masyarakat agar bertumbuh ke arah kemandirian bidang sosial ekonomi, kata uskup seraya mengingatkan upaya lain yang dipelopori Gereja Katolik dalam rangka membangun budaya alternatif di bidang sosial ekonomi ialah Gerakan CU (credit union).
“Gerakan APP Nasional dan CU merupakan perwujudan dari panggilan Injili untuk semakin beriman, semakin solider, membangun ekonomi solidaritas,” tegas Mgr Liku-Ada’ dalam tayangan Youtube.(PEN@ Katolik/paul c pati)