Tanggal 19 Juli 1870, wakil-wakil Prancis menyatakan perang melawan negara Prusia di Jerman utara. Perang Perancis-Prusia pun dimulai. Permusuhan itu mengganggu keseimbangan kekuasaan di Eropa, dan pasukan Prancis yang melindungi Negara Kepausan ditarik untuk berperang. Dan, Konsili Vatikan Pertama, yang baru tujuh bulan bersidang di Roma, ditangguhkan, dan dimaksudkan untuk tidak pernah bertemu lagi.
Namun sehari sebelumnya, para Bapa Konsili memutuskan untuk menyetujui Konstitusi Dogmatis Pertama Gereja, yang dikenal dengan kata-kata pembukaannya Pastor Aeternus. Keputusan itu menandai berakhirnya bulan-bulan penuh gejolak, dan kadang-kadang perdebatan memanas, yang terutama berfokus pada doktrin infalibilitas Paus.
Dalam pemungutan suara pendahuluan, 13 Juli, minoritas Konsili memilih menentang dokumen itu, dan sejumlah uskup memilih meninggalkan Roma daripada ikut pemungutan suara terakhir.
Pada peringatan 150 tahun Pastor Aeternus, Vatican News berbicara dengan Dr Michael Sirilla, Profesor Dogmatik dan Teologi Sistematik di Universitas Fransiskan Steubenville, tentang ajaran Konsili itu.
“Yang paling terkenal dari Konsili Vatikan I adalah definisi dogmatis dari infalibilitas Paus dalam bab empat” dari Pastor Aeternus,” kata Dr Sirilla.
Infalibilitas Paus tidak berarti bahwa para Paus tidak dapat berbuat dosa, atau “apa pun yang mereka katakan tentang topik apa pun sama sekali tanpa kesalahan.” Yang dimaksud dengan infalibilitas Paus, jelasnya, “adalah bahwa dalam kondisi khusus … seorang Paus menikmati bagian dalam karunia ini, karisma ini, yang Yesus janjikan kepada Gereja, untuk memimpin Gereja … dalam semua kebenaran” melalui para Rasul dan penerus mereka, dengan bantuan Roh Kudus.
Jadi, lanjut Sirilla, ketika seorang Paus “menggunakan karisma infalibilitas, ketika dia mendefinisikan masalah iman dan moral, dan berbicara dengan otoritas Apostoliknya yang tertinggi, dan dia mendefinisikan masalah iman dan moral yang harus dipegang oleh seluruh Gereja, mereka definisi itu tidak dapat salah.”
Tugas ajaran Paus – Magisterium Paus – sangat penting, kata Sirilla. “Itulah tanda besar persatuan tubuh umat beriman yang banyak sekali … itulah karunia yang indah.”
Pastor Aeternus juga secara definitif menyatakan ajaran Gereja tentang kekuatan dan sifat Paus. Dalam Konsili Vatikan I, para Bapa Konsili, yang mendasarkan diri pada Kitab Suci, menunjukkan bahwa Petrus diberikan primat (keutamaan) tertentu di antara para Rasul, dan bahwa primat ini diteruskan kepada para penggantinya, para Uskup Roma. Primat ini bukan hanya “satu kehormatan,” kata Sirilla, tetapi primat yurisdiksi yang nyata: Paus “bisa membuat undang-undang, bisa mengajar dengan cara mengikat, dan bisa mendisiplinkan berdasarkan jabatannya.”
Itulah “karunia luar biasa dari Kristus kepada Gereja,” katanya, “untuk memiliki tanda kehadiran Kristus yang terlihat ini dalam wakil-wakil-Nya yang kelihatan.” Gereja mengakui, semua paus orang berdosa. Tetapi, kata Sirilla, “Tuhan juga menggunakan mereka untuk memperlihatkan kebenaran ajaran-Nya, dan kebaikan serta rahmat sakramen yang luar biasa, dan kebaikan disiplin-Nya, pemerintahan-Nya.”
Dogma-dogma yang dinyatakan dalam Konsili Vatikan Pertama “sama relevannya saat ini seperti ajaran-ajaran tentang Tritunggal, dari Konsili Nicea, dari Perjanjian Baru,” kata Sirilla. Mereka masih relevan “karena ini adalah misteri besar iman kita untuk Gereja peziarah di bumi, saat kita berjalan ke tanah air kita di surga.” Bagi Sirilla, “aspek paling relevannya adalah: Yesus meninggalkan kita bersama seorang pemimpin yang terlihat dalam diri Petrus dan para penerusnya.”(PEN@ Katolik/pcp berdasarkan Christopher Wells/Vatican News)