Home OPINI Mencari domba-domba hilang di balik delapan gunung tinggi nan curam di Masa...

Mencari domba-domba hilang di balik delapan gunung tinggi nan curam di Masa Adven

0

Waitapa 3

Frater Sebastianus Ture Liwu Pr

Selama tiga hari dua malam, sekelompok umat paroki dipimpin seorang imam melakukan perjalanan panjang lagi menantang, melewati delapan gunung tinggi nan curam, serta bermalam di tengah hutan, dan berjalan lagi menyusuri kali, gunung, lembah, hutan, hujan lebat, demi mencari dan menemukan sekawan warga yang “hilang”.

Namun, perjalanan yang dimulai 12 Desember 2019 dari Pusat Paroki Salib Suci Madi, Dekenat Paniai, Keuskupan Timika ke Stasi Santo Yohanes Pemandi, Waitapa, berjalan baik karena kekuatan hati selalu mencari cara hingga suasana alam menjadi sahabat karib, karena merajut persahabatan dengan saudara alam.

Paroki Salib Suci Madi memiliki lima stasi. Stasi Waitapa yang kami kunjungi merupakan salah satu dari lima stasi yang sangat sulit dijangkau. Stasi itu berada di sebelah timur Kabupaten Pantai. Banyak umat Waitapa hidup dari alam dan susah melakukan kontak dengan dunia luar.

Sebagai frater calon imam yang sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral, saya juga mengikuti perjalanan bersama Pastor Herman Yoseph Betu Pr dari Keuskupan Timika, serta Manase yang bertugas sebagai Pewarta Paroki Salib Suci, bersama umat paroki.

Suasana gotong royong dan bahu-membahu serta solidaritas dan kebersamaan mewarnai perjalanan itu. Kami merasakan bahwa berjalan sambil berbuat baik merupakan daya upaya menghilangkan kepenatan hati yang ingin mengakhiri perjalanan itu.

Kehadiran Pastor Betu bersama umat Paroki Salib Suci membawa cahaya harapan bagi umat Waitapa, yang selama bertahun-tahun dijaga oleh Yustinus Dogopia, pewarta muda Waitapa. Dialah yang berjasa menanamkan iman kekatolikan di tempat terpencil itu.

“Kami bangga atas kunjungan imam bersama umatnya di stasi ini. Jalan jauh melewati gunung dan lembah, tetapi pastor tetap mencari dan menemukan kami di sini,” kata Yustinus. “Imam harus seperti Yesus. Berjalan di tengah hutan, panjat gunung menyusuri kali mencari domba yang belum ketemu,” lanjutnya.

Dalam Misa yang kami rayakan, saya menangkap bahwa Pastor Betu menggambarkan antusiasme kesaksian hidup dalam berevangelisasi merupakan keutamaan dalam mengungkapkan iman Kristiani yang otentik. Sebagai pengikut Kristus, kita diajak menyadari bahwa Tuhan sudah menempatkan bagi kita semua suatu hari bahagia. Kebahagiaan yang dijanjikan Tuhan dapat diperoleh kalau setiap kuk yang dipasang di pundak kita pikul dengan gembira. Sabar menghadapi pencobaan yang menghampiri merupakan tema khotbah Minggu Ketiga Adven III dari pastor asal Ende Flores itu.

“Kesabaran berarti tidak cepat-cepat mengambil keputusan, tetapi harus memberikan kesempatan kepada Tuhan agar Ia menentukan yang terbaik bagi perjalanan panggilan kita masing-masing. Melalui kesabaran, kita diberikan jalan baru, terang baru dan kegembiraan yang selalu baru. Kita juga harus mawas diri ketika mengerjakan pekerjaan kita yang sederhana sekalipun sehingga tidak mudah mencela atau mempersalahkan orang lain,” lanjut Pastor Betu.

Peristiwa ini memuat saya menyadari bahwa menjadi imam tidaklah pertama-tama hanya mengorbankan korban Kristus di altar, tetapi semangat pengorbanan seorang imam harus sungguh-sungguh merasuki kehidupan nyata. Korban kristus yang sesungguhnya ada dalam situasi penderitaan, kemiskinan, keterasingan, dan tanpa harapan. Karena itu, imam adalah orang pilihan Tuhan yang dipanggil untuk menjamah, tinggal dan makan bersama-sama serta mewartakan kabar sukacita bagi yang membutuhkan sapaan.

Dari Pastor Betu saya melihat jejak misionaris yang tidak pernah terhapuskan oleh waktu dan medan kehidupan yang menantang. Panggilan menjadi imam tidaklah semudah yang terpikirkan karena di balik panggilan selalu ada konsekuensi yang menanti lagi menantang. Hati dan pikiran perlu dirajut agar peka terhadap panggilan Tuhan.

Pastor Betu telah mendengar bisikan Tuhan lalu menanamkan benih imamat di ladang Tuhan terhitung masih bayi kira-kira dua bulan usianya. Benih panggilan yang masih bayi ini dikubur dalam iman yang teguh akan Tuhan. Pastor berusia  29 tahun itu tulus mewarnai imamatnya dalam karya misi pastoralnya di Paroki Salib Suci Madi.

Semangat berpastoral sangat mewarnai kehidupannya. Rupanya semangat pengabdiannya merupakan manifestasi dari sebuah moto tahbisan imamatnya, “Celakalah Aku Jika Aku Tidak Memberitakan Injil” (1Kor. 9:16c).***

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version