Home PLURALISME Beriman secara dewasa berarti cerdas dan bertanggungjawab

Beriman secara dewasa berarti cerdas dan bertanggungjawab

0

FKUB

Beriman secara dewasa berarti beriman secara cerdas dan secara bertanggungjawab. Hidup beriman juga dihayati dengan kedalaman dan ketangguhan, bukan dengan menyerang dan menghancurkan pihak lain yang berbeda, melainkan dengan saling menghormati dan menghargai satu terhadap yang lain.

Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (KAS) Pastor Aloys Budi Purnomo Pr berbicara dalam sebuah Silaturahmi Daerah Forum Kerukunan Umat Beragama Jawa Tengah di Semarang baru-baru ini.

Beriman secara cerdas dan secara bertanggungjawab, menurut imam yang juga bertugas sebagai salah satu sekretaris FKUB Jawa Tengah itu, merupakan akar dari sikap rukun dan damai-sejahtera dalam kehidupan bersama.

“Salah satu ciri orang yang beriman dewasa, cerdas, mendalam dan tangguh adalah mampu mengembangkan cara pandang positif,” kata Pastor Budi Purnomo dalam acara bertema “Kedewasaan Beragama pada Masyarakat Plural di Jawa Tengah,” yang dilihatnya sebagai ajakan untuk beriman cerdas, mendalam dan tangguh di tengah pluralitas.

Silaturahmi daerah FKUB itu menghadirkan sekitar 500 peserta dari FKUB di kabupaten maupun kota yang berada di wilayah Jawa Tengah, dan dari kampus-kampus keagamaan maupun instansi-instansi keagamaan.

Di samping sarasehan, dalam acara itu juga dilakukan pengukuhan 21 pengurus FKUB Jawa Tengah periode 2013-2018 yang terdiri dari unsur Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu serta peluncuran logo FKUB Jawa Tengah.

Ketua FKUB Prof Mudjahirin Thohir berpendapat, setelah sampai kepada diri si pemeluk, pada batas-batas tertentu, agama bisa menghadirkan dua sisi mata uang. Dalam satu sisi, katanya, agama bisa mengejawantah dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku yang menyejukkan bagi diri sendiri maupun pihak lain yang berbeda aliran atau agama. Di sisi lain, agama bisa mengejawantah dan diejawantahkan dalam wujud sebaliknya, menegangkan dan menjadi sarana memunculkan pilahan sosial, lanjutnya.

“Dalam konteks seperti ini, bukan karena ajaran agamanya itu sendiri yang memiliki sifat kontradiktif, tapi bisa jadi karena persoalan kualitas pemahaman diri pemeluk atas ajaran agamanya. Perbedaan kualitas keagamaan di sini, faktor utamanya terkait antara lain pada cara para tokoh agama mengajarkan dan mensosialisasikan ajaran agamanya itu kepada umat,” kata akademisi itu.

Prof Mudjahirin berharap agar FKUB, sesuai namanya, merupakan forum tempat para tokoh dan aktivis keagamaan dari agama dan aliran keagamaan yang berbeda-beda berkumpul. “Berkumpul di sini, tidak untuk saling melirik, mensiasati atau memperebutkan peluang untuk mendominasi dan mendominankan kebenaran sepihak, melainkan bagaimana kita senantiasa belajar memahami kemuliaan di balik perbedaan,” katanya.

Selain narasumber dari masing-masing komunitas agama, panitia silaturahmi 3-4 Februari 2014 itu menghadirkan juga peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Semarang, Arifuddin Ismail.

Menurut Arifuddin, beberapa kasus konflik keagamaan yang terjadi selama ini terdapat  pada semua lini, baik antarumat beragama maupun interen umat beragama. Dalam lima tahun terakhir, kasus-kasus konflik intern umat beragama lebih mendominasi, meskipun problem antarumat beragama masih terjadi.

Dalam situasi seperti itu, menurutnya, dialog umat beragama hanya bisa dibangun dan dimungkinkan terwujud ketika  ada ruang sosial yang dibangun bersama oleh umat beragama tanpa ada unsur paksaan dari pihak lain, termasuk pemerintah. “Faktor yang memungkinkan terbangunnya ruang sosial sebagai ruang dialog secara alamiah adalah melalui pendekatan budaya. Oleh karenanya pemeliharaan khasanah tradisi budaya lokal menjadi sangat diperlukan,” katanya.(Lukas Awi Tristanto)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version