PANDEGLANG, Pena Katolik – “Den, tidak apa-apa belajar di Roma, tapi ingat ya, kita ini Islam. Kata orang-orang yang ngomong ke Emak, di Vatikan itu Katolik semua, jadi awas jangan tertarik oleh materi, kita ini Islam.” Ucapan keluar dari Ibu Iyot (62) ketika anaknya, Deni Iskandar, berpamitan untuk belajar di Roma, Italia dengan beasiswa dari Yayasan Nostra Aetate, Vatikan.
Melepas kepergian anak keduanya ke negara antah berantah sama sekali tidak terbayangkan. Apalagi, sebuah negara yang merupakan pusat Gereja Katolik se-Dunia, sama sekali tidak ada mimpi di benaknya. Namun memang jalan hidup seseorang dan hanya Tuhan yang mengetahui . Suatu hari kelak hingga pada saatnya, sang waktu akan bercerita tentang kisah ini. Kepasrahan seorang ibu inilah yang merupakan bekal bagi Deni Iskandar pada akhir Januari 2023, menapaki sejarah hidupnya sendiri.
„Sepanjang hidup, sesekalinya emak melihat bandara ketika mengantarkan saya ke Bandara Soetta menuju ke Roma, Italia. Proses menuju Roma sangat lancar, Dan saya yakin bahwa hal itu terjadi karena emak merestui niatan kepergian saya ke Roma,“ kisah Deni Iskandar, Jumat (25/08/2023).
Deni Iskandar selama 6 (enam bulan) bersekolah di Roma studi tentang hubungan antar agama. Tidak banyak dan tidak mudah mendapatkan beasiswa dari Yayasan Nostra Aetate, Vatikan untuk bersekolah di Roma. Dan, di akhir studinya itu, ia mendapat kesempatan bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan, pada Rabu (28/06/2023). Kesempatan yang tiada duanya dan mungkin tidak pernah akan terulang lagi.
Iyot, seorang single parent yang hanya lulusan Madrasah Tsanawiyah. Ia adalah ibu dari Deni Iskandar. Karena nasib, Iyot menjadi penjual kopi di pasar kambing Tanah Abang, Jakarta. Dia memiliki tiga anak yakni satu perempuan telah meninggal dan dua anak laki-laki dan Deni anak kedua. Mereka tinggal di Desa Montor, Kecamatan Pagelarang, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Setelah diceraikan suaminya, ia memutuskan mandiri dan menantang hidup. Keputusan tidak mudah itu diawali dengan membantu penjual nasi di Tanah Abang, Jakarta. Untuk itu, ia harus merelakan Deni Iskandar di kampung dan si bungsu yang masih kecil yang dibawa serta bertarung nasib di Tanah Abang, Jakarta. Deni Iskandar ditinggal di desa Pandeglang bersama kakak perempuan Iyot.
Mengingat masa depan kedua anaknya masih panjang, Iyot yang aslinya dari Pandeglang, Banten, ingin bertaruh untuk memperbaiki nasib. Ketika ada kesempatan untuk mandiri, pada tahun 2001, Iyot menggadaikan tanah keluarganya untuk dapat membeli kios kecil sederahana di Tanah Abang. Keputusan ini sangat mengkhawatirkan keluarga kandungnya, khawatir jika tanah itu akan terbang selamanya. Namun single parent ini tidak mau menyerah dengan nasib.
Kios kecil dan sederhana itu digunakan untuk jualan kopi serta nasi. Ia berjualan kopi 24 jam full. Ia dibantu saudaranya. Selama 21 tahun, ia menjual kopi dari harga mulai Rp 2.000 per gelas hingga Rp Rp 3.000. Harga yang normal untuk di pasar Tanah Abang. Hebatnya, meski kerja 24 jam, ia tidak lupa menenuaikan kewajiban agamanya. Alhasil, hasil kerja kerasnya selama tiga tahun mampu menebus tanah keluarga yang digadaikan seharga 15 gram emas pada waktu itu. Iyot tidak mau bermain-main dengan hidupnya. Dirinya hanya ingin anaknya berpendidikan dan menjadi pegawai negeri.
Meski berkekurangan secara materi, Iyot menolak uang sebesar Rp 350.000 pemberian anaknya, Deni Iskandar yang nekat putus sekolah dan memilih jadi kernet truk. “Uang itu dilempar oleh emak di depan saya. Emak tidak mau terima uang hasil jerih payah saya. Beliau menghendaki saya bisa meraih Pendidikan tinggi. Itu terjadi tahun 2011,” ujar Deni Iskandar sambil mengenang kisah tersebut.
Selama berjualan di Tanah Abang, Iyot telah menyaksikan pasar terbesar di Jakarta itu dilalap si jago merah sebanyak tiga kali. Kerasnya kehidupan dan kemiskinan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi keluarga Iyot. Ia dan anak-anaknya dapat hidup karena tekad bajanya. Ia menyadari arti kemiskinan dan anak-anaknya dididik untuk tidak malu dengan kemiskinan. Baju baru bagi keluarga hanya ada pada waktu datangnya Hari Raya Idul Fitri. Mimpi Iyot adalah, Dirinya ingin buah hatinya bisa belajar setinggi mungkin dan menjadi pegawai negeri. Itu saja dan sangat sederhana !
„Saya sangat tahu bagaimana perjuangan emak saya sebagai tulang punggung keluarga. Beliau tidak mau anak-anaknya mengalami kepahitan hidup seperti dirinya. Emak sudah mengalami naik turunnya gelas di dapur kopinya dari yang hanya 2 gelas per hari hingga 200 gelas satu hari satu malam. Sangat mudah dihitung berapa perolehan seharinya. Tetapi hari tidaklah selalu bersahabat dengan emak dan rejeki selalu ada takarannya. Namun banting tulang emak menjadi daya dorong yang tiada hentinya bagi saya,” ujar Deni Iskandar, yang selama satu tahun yakni 2015-2016, membantu ibunya untuk jualan kopi dari pukul 21.00 – 04.00.
Deni tahu betapa perjuangan ibunya merupakan cinta tak berujung sepanjang masa. Deni juga menyadari bahwa cinta luar biasa emaknya tidak mungkin terbalaskan. Namun anak tetaplah anak. Deni ingin juga menunjukkan cintanya kepada sang emak. Ketika mendapatkan uang saku saat di Roma, sebagian uang sakunya disisihkan dan dikirimkan ke emaknya di Indonesia. Dan, alhamdulilah… uang itu tidak dilemparkan lagi oleh emaknya seperti dulu kala. Hidup adalah anugerah….
MENANGIS
Ibu Iyot menangis ketika Deni Iskandar menyelesaikan S1 dari UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Ushuluddin, Jurusan Studi Agama-Agama bulan Juli 2019. „Emak nungguin saya ujian skripsi meski tidak tahu apa itu. Tetapi kehadiran emak itulah yang memberi kemantapan dan kekuatan kepada saya yang sangat luar biasa. Emak juga menangis ketika saya diwisuda pada Agustus 2019. Emak bukan orang berpendidikan tetapi emak tahu anaknya sudah selesai sekolah,“ kisah Deni Iskandar yang nama panggilannya Bung Goler.
Sebenarnya UIN Syarif Hidayatullah bukanlah perguruan tinggi satu-satunya yang dimasuki. Sebelum ke UIN, Deni Iskandar sempat kuliah di Universitas Az-Zahra, Jatinegara, Jakarta Timur. Ketika menginjak semester dua, Deni meninggalkan kampus Az-Zahra, Jatinegera karena di jurusannya yakni Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Agama, mahasiswanya hanya 3 (tiga) orang. Akhirnya ia harus menyebrang ke UIN. Ternyata, di UIN Deni banyak bertemu dengan rekan-rekannya yang dulu pernah mondok bersama semasa di madrasah Aliyah.
Deni Iskandar adalah salah satu murid dari Abuya KH Ahmad Muhtadi bin Dimyathi al-Bantani, ulama terkenal di Provinsi Banten. Anak kedua dari Ibu Iyot ini memang unik dalam pendidikannya. Ketika ibunya berjualan kopi di Tanah Abang, Jakarta, ia dititipkan kepada kakak perempuan emaknya. Hanya si bungsu yang dibawa oleh ibunya ke Jakarta. Ia lulusan SMP di Babakan Lor, Cikedal, Pandeglang. Ketika lulus SMP, ia ingin melanjutkan ke STM supaya bisa segera bekerja. Kalau lulus, keinginannya agar bisa meringankan beban emaknya. Namun keinginan itu tidak tersampaikan.
Ia disekolahkan di Madrasah Aliyah, harus mondok. Ia tidak suka. Berulangkali ia meninggalkan pesantren karena tidak betah dan selalu teringat beban emaknya. Meski berulangkali kabur, berulangkali pula, dia dikirim pulang ke pesantren. Sang emak hanya yakin dengan belajar agama, anak laki-lakinya akan menjadi orang yang berguna. Namun apa daya, pada kelas tiga, Deni melarikan diri dan akhirnya memilih menjadi kernet truk yang disopiri saudaranya – truk ekspedisi di Cikarang, Jabar. Anak kedua ini hanya mempunyai cita-cita jadi sopir bis, dan tidak mau bersekolah.
Mengalami „shock therapy“ karena uang hasil jerih payahnya ditolak dan dibuang oleh sang emak, ia sadar harus menyelesaikan SMAnya. Ia ingin memenuhi harapan ibunya. Deni akhirnya menempuh ujian persamaan (Paket C) lulus dari PKBMN 21 di yang berlokasi di Karet Tengsin, Jakarta.
„Mental saya sudah tertempa sejak kecil. Saya tidak malu mengakui siapa keluarga dan latar belakang saya. Dan, ketika saya kembali dari Vatikan, saya menghadapi kenyataan baru yakni, emak tidak berjualan kopi di Tanah Abang lagi. Lutut emak sakit harus banyak istirahat. Emak pulang ke kampung di Pandeglang. Tetapi, emak tetap berjualan kopi di rumah. Kiosnya di Tanah Abang dikontrakin. Emak sudah tua. Beliau tidak hanya menjadi tumpuan bagi dua anaknya, tetapi emak juga menjadi tumpuan bagi keluarga kandungnya,” ujar Deni Iskandar.
„Saya ingin mempunyai mental seperti emak. Saya menyerahkan hidup kepada Allah. Dia yang telah memberi saya pengalaman iman yang luar biasa dengan dimampukan bersekolah di Roma dengan beasiswa lagi. Apakah saya akan Kembali ke Roma lagi, hanya Allah yang tahu,” ujar Deni. Setelah menyelesaikan beasiswanya dari Yayasan Nostra Aetate, Deni Iskandar mendapat tawaran beasiswa untuk bersekolah di Universitas Kepausan, St Thomas Aquinas, Angelicum di Roma.
Namun, kendala tetap ada. Meski sekolah sudah didapat tetapi belum tentu bisa kembali ke Roma. Deni harus mencari dukungan finansial untuk penginapan dan kebutuhan hidup selama di Roma.
Deni meyakini semua sudah ada jalannya termasuk pertemuannya dengan Rm Markus Solo Kewuta SVD dari Yayasan Nostra Aetate. Ia mengaku bahwa Rm. Markus Solo, satu-satunya pejabat Vatikan yang berasal dari Indonesia, adalah orang tua “rohaninya”. Dirinya belajar banyak tentang hidup dari Rm Markus Solo. “Saya ini orang kampung, ndeso.. tetapi beliau mengajari saya tentang hidup.. hidup dalam arti sesungguhnya. Beliau menasehati saya, untuk tetap menjadi Islam sebagaimana emak menghendaki. Ketika saya meninggalkan Islam, menurut Padre Marco, program pendidikan saya di Roma telah gagal,” pungkas Deni.
Silakan ikuti, saat Deni Iskandar diwawancarai oleh Rm Markus Solo Kewuta SVD di Roma, beberapa hari sebelum Kembali ke Indonesia.