Senin, Desember 8, 2025

Para Suster Canossian Mengangkat Martabat Perempuan Maasai Lewat Pendidikan dan Kemandirian

TANZANIA, Pena Katolik – Di wilayah Arusha, Tanzania—yang menjadi rumah bagi suku Maasai dan Meru, para Suster Putri Cinta Kasih Canossa (Suster Canossian) menjalankan misi kemanusiaan yang menyentuh hati. Mereka: menyelamatkan anak-anak perempuan dari praktik budaya berbahaya dan mengangkat martabat mereka melalui pendidikan serta kemandirian ekonomi.

Dalam komunitas Maasai, anak perempuan berusia 11 hingga 13 tahun kerap mengalami mutilasi genital perempuan (FGM). Mereka dipaksa menikah dengan pria yang jauh lebih tua, sebagai imbalan sejumlah ternak atau uang.

Setelah menikah, mereka kehilangan hak atas pendidikan, kebebasan, dan hidup mereka sendiri. Mereka menjadi “milik” keluarga suami dan menjalani hidup dalam kemiskinan serta keterbatasan.

Misi Mengubah Nasib

Melihat kenyataan pahit ini, para Suster Canossian yang didirikan oleh St. Magdalena dari Canossa pada tahun 1808, menegaskan panggilan mereka untuk melayani kaum miskin dan terpinggirkan. Sejak 1966, mereka mendirikan St. Magdalene Training Centre di Arusha. Tempat ini menjadi pusat pelatihan bagi anak dan perempuan muda usia 12 hingga 30 tahun.

Di tempat ini, mereka memulai kembali hidup, melalui pelatihan keterampilan seperti menjahit, memasak, dan membuat sabun.

Dipimpin oleh Suster Levina Mzebele, FDCC, tempat ini memberikan keterampilan dan mengangkat martabat. Dengan begitu, kaum Perempuan ini meraih kembali kesempatan untuk memilih masa depan.

Lulusan dari pusat pelatihan ini mendapat mesin jahit gratis, agar mereka dapat memulai usaha kecil dan menjadi mandiri secara ekonomi.

Dari Kemiskinan ke Kemandirian

Salah satu buah nyata karya para suster adalah Theresia Mnyampanda, kini berusia 34 tahun. Dahulu hidup dalam kemiskinan, kini ia menjadi pengusaha sukses dengan sepuluh mesin jahit dan mempekerjakan sepuluh perempuan muda, lima di antaranya adalah murid yang ia latih sendiri.

“Theresia telah berubah dari kemiskinan menuju kemandirian ekonomi. Ia kini menjadi pemimpin, mentor, dan teladan bagi banyak orang,” ujar Sr. Levina.

Sementara itu, Theresia mengaku pendidikan di pusat pelatihan Canossa mengubah hidupnya.

“Saya diajarkan disiplin, kerja keras, dan doa. Dari debu saya diangkat menjadi seseorang yang berarti.”

Kini Theresia membantu tiga anak miskin dengan pelatihan menjahit gratis serta membiayai pendidikan adiknya hingga perguruan tinggi.

Meski banyak keberhasilan, tantangan besar tetap ada. Minimnya fasilitas asrama membuat banyak peserta harus berjalan jauh setiap hari menuju pusat pelatihan, menanggung risiko penculikan dan pernikahan paksa.

“Kadang kami menerima 50 gadis, tapi hanya 15 hingga 25 yang berhasil lulus,” ujar Sr. Levina prihatin.

Para Suster Canossian berencana membangun asrama bagi anak perempuan berisiko, memperluas pusat pelatihan, serta memperbanyak program pemberdayaan.

Pendidikan sebagai Kunci

Misi para Suster Canossian di Arusha berkembang menjadi gerakan transformasi sosial. Mereka menyalakan harapan baru bagi generasi perempuan Maasai, yang dulu ditakdirkan untuk penderitaan, kini bangkit sebagai agen perubahan. Para suster menulis ulang masa depan dengan keberanian dan cinta kasih.

“Ketika Anda mendidik seorang perempuan, Anda memberi kekuatan untuk mengubah hidupnya dan komunitasnya. Perempuan berpendidikan tahu haknya, mampu menolak tradisi berbahaya, mendidik anak-anaknya, dan membangun masa depan yang lebih baik,” tegas Sr. Levina.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini