Minggu, Desember 7, 2025

Hubungan Tak Resmi Takhta Suci dan Tiongkok

VATIKAN, Pena Katolik — Hingga kini, Takhta Suci belum memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Sebaliknya, Vatikan masih mengakui Taiwan sebagai perwakilan resmi Tiongkok. Keputusan ini telah dibuat sejak hubungan diplomatik pertama kali terjalin pada tahun 1942.

Selama beberapa dekade, hubungan antara Takhta Suci dan pemerintah di Beijing diwarnai ketegangan dan dinamika yang kompleks. Sumber utama perbedaan pendapat berkaitan dengan kebijakan Partai Komunis Tiongkok yang membatasi kebebasan beragama dan mengatur secara ketat kegiatan keagamaan di wilayahnya, termasuk dalam hal penunjukan para uskup Katolik di Tiongkok daratan.

Meskipun demikian, kedua pihak pernah mencoba membuka jalan dialog dan kerja sama. Sebuah perjanjian bersejarah Sino-Vatikan ditandatangani pada September 2018 antara Takhta Suci dan pemerintah Tiongkok. Perjanjian ini mengatur mekanisme penunjukan uskup secara bersama.

Dalam kesepakatan tersebut, pihak Vatikan diberikan hak untuk mengesahkan atau menolak calon uskup yang diusulkan oleh pemerintah Tiongkok — sebuah langkah kompromi yang dimaksudkan untuk menyatukan kembali umat Katolik di bawah bimbingan Paus sekaligus mengakomodasi struktur otoritas lokal.

Perjanjian ini diperbarui terkahir pada Oktober 2024 untuk empat tahun berikutnya. Rentang waktu ini lebih panjang, di mana sebelumnya diperbarui setiap dua tahun.

Langkah ini menunjukkan adanya kehendak dari kedua belah pihak untuk mempertahankan jalur komunikasi. Namun, penerapan di lapangan tidak selalu berjalan mulus.

Meski hubungan diplomatik penuh masih belum terwujud, Takhta Suci tetap menegaskan komitmennya untuk melindungi umat Katolik di Tiongkok dan terus membuka ruang dialog dengan pemerintah di Beijing.

Bagi banyak pihak di dalam Gereja, dialog yang sabar dan berkelanjutan tetap menjadi satu-satunya jalan menuju rekonsiliasi antara iman Katolik dan realitas politik Tiongkok modern — sebuah perjalanan panjang yang diwarnai harapan, tantangan, dan doa bagi kesatuan umat beriman di seluruh dunia.

Salah satu persoalan yang terus berulang dalam hubungan kedua pihak adalah prosedur pengangkatan uskup di Tiongkok daratan. Bagi Vatikan, hal ini merupakan inti dari hubungan bilateral. Sejak tahun 1950-an, pemerintah Tiongkok menegaskan bahwa para uskup harus dipilih oleh umat Katolik Tiongkok sendiri melalui Asosiasi Katolik Patriotik Tiongkok (Chinese Catholic Patriotic Association), yang berada di bawah sistem United Front Partai Komunis. Melalui mekanisme ini, partai memiliki kendali akhir atas penunjukan para uskup.

Sebaliknya, Vatikan berpendapat bahwa penunjukan uskup adalah hak prerogatif Paus, sebagaimana diatur dalam hukum kanonik Gereja Katolik. Secara teologis, para uskup yang ditahbiskan tanpa mandat kepausan dianggap sah namun tidak sah menurut hukum Gereja (valid but illicit), artinya tahbisan tersebut diakui keberadaannya tetapi dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan hukum Gereja.

Sejarah Relasi Diplomatik

Selama masa Perang Saudara Tiongkok, Paus Pius XII mengeluarkan larangan tegas bagi umat Katolik di Tiongkok untuk bergabung dengan Partai Komunis atau terlibat dalam aktivitasnya. Kebijakan ini mencerminkan kekhawatiran Takhta Suci terhadap ideologi komunis yang dianggap bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik.

Pada musim panas tahun 1949, pasukan komunis berhasil merebut Nanjing, ibu kota pemerintahan nasionalis. Pemerintah Nasionalis kemudian mengungsi ke Guangzhou, diikuti sebagian besar korps diplomatik asing. Namun, Duta Takhta Suci (Internuncio) memilih tetap tinggal di Nanjing. Atas instruksi Paus Pius XII, semua uskup di Tiongkok diminta untuk tetap berada di tempat tugas mereka, sementara para seminaris dianjurkan meninggalkan wilayah yang tidak stabil untuk melanjutkan studi di tempat yang lebih aman.

Pada tahun 1950, Takhta Suci menyatakan bahwa keterlibatan dalam organisasi yang berhubungan dengan Partai Komunis Tiongkok akan menyebabkan ekskomunikasi otomatis dari Gereja. Keputusan ini memicu reaksi dari beberapa pihak di Tiongkok, termasuk munculnya Deklarasi Guangyuan untuk Reformasi Diri Gereja Katolik yang dipelopori oleh Pastor Wang Liangzuo. Sebagai tanggapan, Nunsius Apostolik Mgr. Antonio Riberi mengedarkan surat yang menolak gagasan reformasi tersebut. Ketegangan meningkat ketika pada Maret 1951, Pastor Li Weiguang bersama 783 imam, biarawan-biarawati, dan umat awam menandatangani deklarasi yang menuduh Vatikan melakukan campur tangan dan mendukung imperialisme Barat.

Selama tahun 1950–1951, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mulai menekan Vatikan dengan ancaman pembentukan Gereja Katolik independen di bawah kendali negara. Meskipun banyak imam menentang, Perdana Menteri Zhou Enlai berusaha mencari jalan tengah. Namun, situasi semakin memburuk akibat insiden yang direkayasa: seorang imam di kedutaan Takhta Suci secara tidak sengaja membuang mortir tua peninggalan 1930-an, yang kemudian ditemukan oleh seorang pebisnis Italia bernama Antonio Riva. Ketika pihak berwenang menemukan benda itu di rumah Riva, ia dituduh berkonspirasi untuk membunuh Ketua Mao Zedong. Riva akhirnya dieksekusi, dan misi diplomatik Vatikan diusir dari Tiongkok dengan tuduhan spionase.

Akibat insiden ini, pada tahun 1951 RRT memutuskan hubungan diplomatik dengan Takhta Suci, serta mendeportasi Nunsius Riberi ke Hong Kong Britania. Pemerintah Tiongkok menggambarkan tindakan ini sebagai langkah membebaskan Gereja Katolik Tiongkok dari dominasi Barat.

Sejak saat itu, Gereja Katolik di Tiongkok berkembang menjadi dua komunitas: Gereja “Patriotik”, yang diakui pemerintah, dan Gereja “Bawah Tanah”, yang tetap setia kepada Paus. Meski disebut “bawah tanah”, komunitas ini tidak selalu bersifat rahasia, tetapi tidak memiliki pengakuan resmi dari negara.

Perubahan arah terjadi setelah Krisis Rudal Kuba (1962), ketika Vatikan menyadari bahwa pendekatannya terhadap negara-negara komunis terlalu keras. Melalui kebijakan diplomatik yang dikenal sebagai Ostpolitik, Takhta Suci mulai mengurangi retorika anti-komunis dan berupaya membangun dialog dengan pemerintah komunis, dengan tujuan agar sakramen dan kehidupan Gereja dapat kembali diakses secara lebih luas di negara-negara tersebut, termasuk Tiongkok.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini