LAMPUNG, Pena Katolik – Awal perkembangan kekatolikan di Lampung bermula dari Gereja Katedral Kristus Raja di Bandar Lampung. Gereja ini menjadi awal aktivitas umat Katolik di Lampung.
Gereja Katedral Kristus Raja didirikan pada tahun 1928. Pendirinya ialah seorang pastor Katolik berkebangsaan Belanda bernama H.J.D. van Oort dari Kongegrasi SCJ (Sacro Corde Jesu, Serikat Hati Kudus Yesus).
Pastor H.J.D. van Oort diutus untuk pergi ke Lampung dan kemudian mendirikan sebuah gereja Katolik di Tanjung Karang, persisnya di seberang Stasiun Kereta Api Tanjung Karang, yang diresmikan pada 16 Desember 1928. Gereja yang didirikan oleh Pastor van Oort ini lantas berkembang menjadi katedral ini yang kemudian menjadi pusat bagi semua kegiatan penyebaran Injil yang dilakukan oleh Gereja Katolik di Lampung.
Sebelumnya, Pastor van Oort dikenal telah mendirikan banyak stasi saat bertugas di Palembang. Pada tiga tahun pertama perkembangan umat di Tanjung Karang dan Teluk Betung, daerah itu notabene merupakan pusat pemerintahan Karesidenan Lampung. Namun peta demografi Lampung yang semakin dipenuhi oleh para kolonis dari Jawa tentu menjadi tempat yang dinilai tepat untuk meluaskan jangkauan penyebaran agama Katolik yang tidak terbatas hanya di kawasan perkotaan saja. Hal ini bisa didasarkan pada berkembangnya penyebaran Injil di kalangan orang-orang Jawa, terutama yang terpusat di Muntilan, Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Pada 1931, Gereja Katolik memasuki kawasan kolonisasi dengan berdirinya Hollandsche Inlandsche School (HIS). Sekolah menengah ini hanya untuk kaum bumiputra (pribumi) di Gedong Tataan. Selain itu di Gisting juga didirikan sekolah pertanian, menyesuaikan dengan kawasan tersebut yang dipenuhi perbukitan serta perkebunan kopi.
Sebelumnya, Pastor van Oort meminta izin terlebih dahulu kepada Barkmeyer sebagai pemimpin proyek kolonisasi dan Residen Lampung Rookmaker untuk di wilayah tersebut. Hingga 1940 tercatat ada 1.831 penganut Katolik di Lampung yang berasal dari kelompok bumiputra. Mereka tersebar antara lain di Karangsari-Pasuruan (Kalianda), Metro, Pringsewu, dan Tanjung Karang yang sekaligus sudah resmi berdiri sebagai paroki (Endrayanto, 2012:40).
Perkembangan Signifikan
Salah satu faktor utama bagi perkembangan signifikan Gereja Katolik di Lampung adalah pelayanan sosial yang mereka lakukan khususnya dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Selain mendirikan HIS, sebelumnya Gereja Katolik juga mendirikan Hollandsch Chinese School (HCS) di Teluk Betung pada 1929.
Hingga 1938 Gereja Katolik di Lampung memiliki dua HIS, sebelas sekolah rakyat, dan dua sekolah lanjutan (vervolgschool). Ditambah lagi dengan Sekolah Melanie (Kartini School), Taman Kanak-kanak (Frobel), dan Cursus voor Volk Onderwijzer (CVO).
Bidang kesehatan juga menjadi fokus bagi pelayanan yang dilakukan Gereja Katolik di Lampung dengan mendirikan rumah sakit dan klinik bersalin yang antara lain terdapat di Pringsewu dan Metro. Pembiayaan untuk rumah sakit dan klinik bersalin ini terutama disokong oleh orang-orang Belanda yang bekerja di onderneming atau perkebunan karet di Way Lima, Gedong Tataan, dan Natar.
Suster-suster dari Ordo Fransiskanes yang menjadi tulang punggung bagi pelayanan dalam bidang ini dengan diketuai oleh Suster Arnolde Wouters. Di Pringsewu para suster setiap minggunya rutin mengunjungi para kolonis untuk memberikan bantuan pelayanan kesehatan secara langsung. Pada 1942 seiring dengan menyerahnya Hindia Belanda pada Jepang menghentikan segala aktivitas keagamaan Gereja Katolik, termasuk lembaga pendidikan dan kesehatan.