Dalam homili di saat Momen Doa Kristen untuk Perdamaian, Paus Fransiskus merefleksikan bagian Injil yang menggambarkan momen-momen sebelum kematian Yesus. Bagian ini, kata Paus, berbicara tentang pencobaan yang dialami Yesus di tengah penderitaan salib. “Pada momen tertinggi dalam penderitaan dan cinta-Nya, banyak orang di situ dengan kejam mengejek-Nya dengan kata-kata, ‘Selamatkan dirimu!’ (Markus 15:30).”
Paus menjelaskan dalam acara 20 Oktober 2020 itu bahwa “godaan besar” untuk berpikir “hanya menyelamatkan diri sendiri dan lingkungan sendiri” tidak mengecualikan siapa pun, “termasuk kita orang Kristen.” Meskipun itu naluri yang sangat manusiawi, lanjut Paus, itu “salah.” Itulah “pencobaan terakhir dari Allah yang tersalib,” kata Paus.
Paus lalu merenungkan tentang kata-kata “Selamatkan dirimu sendiri,” dan tentang orang-orang yang mengucapkan kata-kata itu kepada Yesus di saat Dia tergantung di kayu salib.
Yang pertama mengucapkan kata-kata itu adalah “orang-orang yang lewat (ayat 29).” Mereka adalah orang-orang biasa yang telah mendengar bahwa Yesus mengajar dan melakukan mujizat. Orang-orang itu, jelas Paus, sekarang menyuruh Yesus turun dari salib dan menyelamatkan diri-Nya. “Mereka hanya menginginkan keajaiban,” kata Paus.
“Kadang-kadang kita juga lebih memilih allah pembuat keajaiban bukan yang berbelas kasih.” Kita inginkan allah dalam citra kita sendiri bukan yang serupa dengan citra-Nya sendiri, lanjut Paus. “Tapi ini bukan Allah, melainkan ciptaan kita sendiri,” kata Paus.
“Dengan cara ini, kita lebih memilih menyembah diri sendiri daripada menyembah Allah. Penyembahan seperti itu dipupuk dan tumbuh melalui ketidakpedulian terhadap sesama. Orang-orang yang lewat itu hanya tertarik kepada Yesus untuk memuaskan keinginan mereka sendiri. Yesus, yang dijadikan orang buangan yang tergantung di kayu salib, tidak lagi menarik bagi mereka. Dia ada di depan mata mereka, namun Dia jauh dari hati mereka. Ketidakpedulian membuat mereka jauh dari wajah Allah yang sebenarnya.”
Selanjutnya Paus mengatakan, orang berikut yang mengucapkan kata-kata “Selamatkan dirimu” adalah para imam kepala dan ahli Taurat, mereka yang “mengutuk Yesus, karena mereka menganggap Dia berbahaya.” Kita semua “spesialis dalam menyalibkan orang lain demi menyelamatkan diri sendiri,” kata Paus.
Tapi, Yesus membiarkan diri-Nya disalibkan, “guna mengajar kita untuk tidak mengalihkan kejahatan kepada orang lain,” kata Paus. Imam kepala menuduh Dia justru karena apa yang telah Dia lakukan untuk orang lain. “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan!” (ayat 31).
Paus menjelaskan bahwa para imam kepala dan ahli Taurat itu mengenal Yesus. “Mereka mengingat kesembuhan dan mukjizat yang membebaskan yang Dia lakukan, tetapi mereka menarik kesimpulan yang jahat.” Bagi mereka, kata Paus, menyelamatkan dan membantu orang lain “tidak berguna” dan Yesus, yang memberikan diri-Nya tanpa syarat untuk orang lain, kehilangan diri-Nya sendiri.
“Nada ejekan tuduhan itu dibuat dalam bahasa religius, dua kali menggunakan kata kerja menyelamatkan. Tetapi “injil” menyelamatkan diri sendiri bukanlah Injil keselamatan. Itu apokrif yang paling salah dan membuat orang lain memikul salib. Padahal Injil yang sejati meminta kita memikul salib orang lain.”
“Akhirnya, yang disalibkan bersama Yesus juga ikut mengejek-Nya,” lanjut Paus. Mereka “marah kepada Yesus” karena Dia tidak menurunkan mereka dari salib, kata Paus. Untuk alasan ini mereka berkata kepada-Nya “Selamatkan dirimu dan kami!” (Luk 23:39) Mereka memandang Yesus hanya untuk menyelesaikan masalah mereka, kata Paus.
Paus Fransiskus mencatat “Allah datang tidak hanya untuk membebaskan kita dari masalah sehari-hari yang selalu ada, melainkan membebaskan kita dari masalah yang sebenarnya, yaitu kurangnya cinta.” Kurangnya cinta dan memikirkan diri sendiri semata adalah “penyebab utama penyakit pribadi, sosial, internasional dan lingkungan kita,” kata Paus. Itulah “bapa segala kejahatan.”
“Namun salah seorang pencuri kemudian memandang Yesus dan melihat di dalam Dia cinta yang rendah hati. Dia masuk surga dengan hanya melakukan satu hal: mengalihkan perhatiannya dari dirinya kepada Yesus, dari dirinya sendiri ke orang di sampingnya (lih. Ay 42).”
Paus kemudian mengalihkan renungannya ke Kalvari, dan menggambarkannya sebagai tempat “’duel’ besar antara Allah, yang datang untuk menyelamatkan kita, dan manusia, yang ingin menyelamatkan hanya diri sendiri; antara iman akan Allah dan penyembahan diri; antara pria yang menuduh dan Tuhan yang memaafkan.”
Akhirnya, kata Paus, kemenangan Allah terungkap, belas kasihan-Nya turun ke bumi.
“Tangan Yesus, yang terentang di kayu salib, jadi titik balik, karena Allah tidak menunjuk siapa pun, melainkan merangkul semua. Karena hanya cinta yang memadamkan kebencian, hanya cinta yang akhirnya bisa menang atas ketidakadilan. Hanya cinta saja yang ruang bagi orang lain. Cinta sendiri adalah jalan menuju persekutuan penuh di antara kita.”
Akhirnya, Paus berdoa agar Tuhan memberi kita rahmat untuk lebih bersatu dan bersaudara. “Semakin dekat dengan Tuhan Yesus, semakin kita terbuka dan ‘universal’, karena kita akan merasa bertanggung jawab terhadap orang lain. Dan orang lain akan menjadi sarana keselamatan kita sendiri: semua orang, setiap pribadi manusia, apapun sejarah dan keyakinannya. Dimulai dengan orang miskin, yang merupakan orang-orang paling mirip dengan Yesus.” Dengan lebih bersaudara, tegas Paus, kita menjadi “saksi yang lebih kredibel tentang Allah yang benar.”(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)
Artikel Terkait:
Paus menandatangani Seruan Perdamaian 2020 di Bukit Capitolino, Roma
Paus Fransiskus: Tidak ada orang yang diselamatkan sendirian
Paus bersama para pemimpin tradisi Kristen lainnya berdoa untuk perdamaian