Menanggapi berbagai pertanyaan tentang Tahun Baru Imlek yang tahun ini jatuh hari Jumat dalam masa Prapaskah 2018, saat umat Katolik wajib berpantang dari daging dan pilihan pribadi, Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus memberikan dispensasi dari kedua jenis pantang itu bagi umatnya dan mengusulkan agar pantang itu dipindahkan ke hari lain.
Dispensasi itu tertulis dalam Kebijakan Pastoral Keuskupan Agung Pontianak tentang Perayaan Tahun Baru Imlek pada hari Jumat Pantang Masa Parpaskah, 16 Februari 2018, yang dikeluarkan oleh uskup agung itu tanggal 7 Februari 2018
Karena isi kebijakan pastoral itu begitu lengkap menceritakan tentang Imlek dan alasan mengapa orang Katolik boleh merayakan Imlek, apa saja yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam Misa Imlek, berbagai tradisi menyambut Imlek, serta nilai-nilai yang dapat kita petik dalam Perayaan Imlek, maka PEN@ Katolik menurunkan secara lengkap kebijakan pastoral itu:
KEBIJAKAN PASTORAL KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK (KAP)
PERAYAAN TAHUN BARU IMLEK PADA HARI JUMAT PANTANG MASA PRAPASKAH,
TANGGAL 16 FEBRUARI 2018
Kebijakan Pastoral KAP ini dibuat untuk menanggapi berbagai pertanyaan tentang Tahun Baru Imlek yang tahun ini jatuh pada hari Jumat Pantang dalam masa Prapaskah tahun 2018.
Kata “Imlek” berasal dari dialek bahasa Hokkian yang berasal dari kata Yin Li, yang berarti “Penanggalan bulan” atau lunar calendar.
Perayaan “Imlek” sebenarnya adalah perayaan menyambut musim semi yang disebut dengan Chun Jie. Musim dingin yang membuat aktivitas manusia seakan-akan berhenti segera berlalu dan tibalah musim semi di mana para petani mulai dapat menanam kembali. Seperti pada masyarakat tradisional lainnya yang mengandalkan alam untuk kehidupan mereka, maka datangnya musim semi yang menandai munculnya harapan baru merupakan peristiwa yang wajib dirayakan.
Orang Katolik Boleh Merayakan Imlek
Permasalahan Misa Imlek harus dilihat dalam kerangka hubungan antara iman dan budaya. Iman selalu, membutuhkan budaya, baik dalam penghayatan maupun dalam pewartaan. Iman tak pernah melayang di udara tanpa bungkus budaya (GS 53). Iman kristiani tidak terikat pada satu budaya tertentu, tetapi bisa diungkapkan dalam sebuah budaya. Dalam arti itulah, iman kristiani bersifat Katolik (Yun: catholicos berarti umum). Agar penghayatan iman bisa sungguh mendalam dan pewartaan iman dapat sungguh menarik dan dimengerti, maka iman perlu dibungkus dengan budaya yang sesuai (GS 58). (bdk. Romo Dr. Petrus Maria Handoko, CM. 2014. Bolehkah Merayakan Misa Imlek. Jakarta: Hidup.(25 Januari 2014).
Dasar teologis hubungan antara iman dan budaya yang sedemikian itu ialah peristiwa Inkarnasi Sang Sabda. Sang Sabda menjadi manusia dalam budaya Yahudi dan mengungkapkan penghayatan iman-Nya melalui bungkus budaya Yahudi. Inilah ajaran resmi Megisterium Gereja. Pasti setiap Uskup Katolik mengikuti ajaran ini. (bdk. Romo Dr. Petrus Maria Handoko, CM. 2014. Bolehkah Merayakan Misa Imlek. Jakarta: Hidup.(26 Januari 2014).
Secara konkret, penggunaan warna liturgi merah, hio, pai-pai, membagi buah, membagi angpau, barongsai, dan yang lain haruslah selalu pemaknaan kembali secara Katolik. Penggunaan ungkapan budaya ini juga harus menjaga kesakralan liturgi yang ada. Lebih tepat jika barongsai tidak dilakukan di dalam liturgi dan tidak di dalam gereja. Pemberkatan buah jeruk dan angpau bisa dilakukan setelah komuni dan kemudian dibagikan sesudah Misa. (bdk. Rm. Samuel Pangestu, Pr. 2018. Kebijakan Pastoral KAJ: Perayaan Tahun Baru Imlek Pada Hari Jumat Pantang Masa Prapaskah, Tanggal 16 Februari 2018).
Beberapa tradisi untuk menyambut Tahun Baru Imlek
Tradisi Bunga Mei Hua
Di negara Tiongkok dikenal 4 musim, yaitu Musim Semi, Musim Panas, Musim Gugur dan Musim Dingin.
Tahun Baru Imlek datang bersamaan dengan Musim Semi, maka dulu dikenal dengan istilah Festival Musim Semi. Bunga Mei Hwa adalah pertanda datangnya Musim Semi, itulah sebabnya terdapat tradisi di masyarakat Tionghoa, menggunakan bunga ini sebagai hiasan di rumah ketika Imlek tiba, sehingga terkesan suasana yang sejuk, nyaman dan indah. Tidak ada makna spiritual dalam kehadiran bunga Mei Hua tersebut.
Ucapan Selamat
Di hari raya Tahun Baru Imlek, gantungan maupun tempelan tulisan-tulisan ucapan selamat mungkin merupakan suatu kewajiban dan yang terpenting dalam merayakan hari raya imlek, karena tulisan-tulisan tersebut adalah pernak-pernik yang paling sering ditemukan. Tulisan selamat tersebut menandakan doa dan harapan warga Tionghoa, baik bagi dirinya sendiri maupun doa dan harapan untuk keluarga dan sahabat-sahabatnya. Tulisan Imlek biasanya dalam bentuk bahasa mandarin dengan huruf berwarna emas dan hitam, sedangkan warna dasarnya adalah warna merah.
Tulisan ucapan selamat yang popular bagi warga Tionghoa adalah “Gong Xi Fa Cai”, yang artinya selamat mendapatkan rezeki. Selain itu terdapat juga tulisan harapan dan ucapan selamat seperti “Sheng Yi Xing Long”, Wan Shi Ru Yi, dan masih banyak lagi.
Tulisan “Fu” adalah tulisan Mandarin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Bahagia. Tulisan Fu menandakan harapan untuk hidup bahagia di tahun yang baru ini. Ada juga yang menempelkan Huruf “Fu” secara terbalik. Sebutan Mandarin, terbalik adalah Dao, Dao ini memiliki nada yang sama dengan Dao yang artinya adalah tiba. Dengan Tulisan Fu yang terbalik, warga Tionghoa mengharapkan tibanya kebahagian di tahun baru ini.
Tulisan “Chun” adalah tulisan Mandarin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Musim Semi. Musim semi adalah musim terbaik di antara empat musim yang ada, sehingga bunga bermekaran dengan cantik, pemandangan terindah di musim semi. Di musim semi semua aktivitas menjadi normal kembali, petani mulai bercocok tanam sehingga berharap untuk mendapatkan panen yang lebih baik. Tahun Baru Imlek juga disebut sebagai Festifal Musim Semi atau Ghun Jie.
Sepasang Puisi (Dui Lian) yang artinya puisi musim semi adalah tulisan-tulisan puisi yang penuh kebahagian dan biasanya ditempelkan di sisi kanan dan kiri pintu. Sama halnya dengan tulisan-tulisan ucapan selamat, Dui Lian merupakan harapan dan doa warga Tionghoa untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik di tahun yang datang. Selain itu, juga menandakan suka cita warga Tionghoa dalam merayakan Hari Raya Tahun Baru Imlek.
- Gambar Ikan
Pasti ada yang bertanya, apa pula kaitan ikan dengan Hari Raya Imlek. Mengapa setiap merayakan Hari Raya Imlek pasti ada gambar Ikan sebagai pernak-pernik Imlek. Ikan merupakan makanan favorit warga Tionghoa, namun Ikan juga merupakan lambang keberuntungan dalam tradisi Tionghoa. Kata Ikan dalam bahasa mandarin adalah “Yu”. Kata tersebut memiliki nada yang sama dengan Yu yang artinya adalah lebih. Setiap warga Tionghoa mengharapkan rezeki yang berlebihan, hidup yang lebih sehat dan bahagia serta usaha yang lebih lancar.
- Mercon atau Petasan “Bian Pao”
Menurut kepercayaan warga Tionghoa, Mercon atau Petasan yang memiliki suara ledakan ini dapat mengusir makhluk halus dan juga berbagai ketidakberuntungan, sehingga di tahun yang akan datang penuh dengan keberuntungan serta kebahagian. Mercon atau petasan ini pada mulanya digunakan untuk mengusir hewan buas yang memakan manusia yaitu Hewan Nian (Nian Shou).
- Barongsai dan Singa
Barongsai adalah tarian tradisional Tionghoa dengan menggunakan sarung yang menyerupai singa. Singa yang merupakan raja hewan ini melambangkan kegagahan, keberanian dan keberuntungan. Singa juga dipercayai dapat mengusir segala ketidakberuntungan serta mengusir mahluk-mahluk halus yang mengganggu kehidupan manusia. Oleh karena itu, Tahun Baru Imlek sering dimeriahkan dengan adanya tarian barongsai yang bermaksud untuk mengusir segala ketidakberuntungan sehingga tahun yang baru ini dapat hidup dengan lancar dan bahagia. Barongsai dalam bahasa Mandarin disebut dengan “Wu Shi”. Selain barongsai, singa juga sering ditempel di dinding dalam bentuk stiker besar dan juga patung-patung miniatur singa yang dijadikan sebagai pajangan di lemari dan meja.
- Lampion atau Lentera Merah
Dalam mata masyarakat Tionghoa, lampion atau lentera Merah memiliki arti kebersamaan, persatuan, bisnis yang lancar dan sukses, keberuntungan, semangat, kebahagiaan dan yang terpenting adalah penerangan hidup. Oleh karena itu, kita sering melihat lampion atau lentera merah yang digantungkan di hampir setiap rumah warga Tionghoa yang merayakan Hari Raya Imlek. Selain rumah, di jalan raya, pusat perbelanjaan maupun restoran juga sering ditemukan lampion atau lentera merah ini.
- Gambar 12 Shio
Gambar 12 Shio juga merupakan salah satu pernak-pernik yang terpenting dalam merayakan Tahun Baru Imlek. Shio adalah symbol hewan yang digunakan untuk melambangkan tahun dalam astrologi Tionghoa sesuai dengan kalender Imlek. Setiap tahun diwakili oleh satu shio. Shio dalam tradisi Tionghoa berjumlah 12 (dua belas) sehingga siklus shio juga 12 tahun. Biasanya Tahun Baru Imlek juga menandakan pergantian shio sehingga shio di tahun sebelumnya akan ditinggalkan dan menyambut kedatangan shio yang baru. Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa menghiasi rumahnya dengan pernak-pernik shio tahun baru dengan harapan shio baru tersebut dapat memberikan keberuntungan dan kebahagiaan bagi mereka. Tahun 2018 adalah tahun Shio Anjing.
- Jeruk
Mungkin banyak akan bertanya, apa kaitan dengan jeruk dengan Hari Raya Imlek. Jeruk dalam bahasa Mandarin adalah Ju. Ju memiliki nada yang hampir sama dengan Ji. Tulisan Mandarin dari Ju juga sangat mirip dengan Ji. Ji artinya keberuntungan sehingga dengan adanya jeruk berarti kita bisa mendapatkan keberuntungan sepanjang tahun.
- Nenas
Gantungan nenas di Tahun Baru Imlek, mayoritas terdapat di daerah Tiongkok Selatan hingga Asia Tenggara, yaitu daerah dengan bahasa lokal Hokkian atau Tiociu, termasuk Taiwan, Hongkong, dan Asia Tenggara. Karena dalam bahasa lokal Hokkian dan Tiociu, nenas disebut “wang lai”, kata “wang” dalam kedua bahasa lokal mempunyai arti “jaya” (bukan diartikan “uang” dalam bahasa Indonesia, seperti banyak orang Tionghoa Indonesia mengartikannya), sedangkan kata “lai” berarti “datang”. Maka dengan menggantungkan atau memajang nenas di lingkungan rumah pada saat Tahun Baru Imlek, orang mengharapkan tahun baru ini juga akan mendatangkan kejayaan bagi keluarga tersebut.
- Angpao
Mungkin semua kita sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Saat ini, pemberian angpau tidak hanya dilakukan saat merayakan Imlek, tapi angpau juga dapat ditemukan dalam berbagai kegiatan yang sifatnya bahagia dan sukacita seperti memberikan angpau saat ulang tahun dan menikah. Memberikan angpau kepada generasi yang lebih muda seperti anak-anak kecil dan muda-mudi yang belum menikah dalam Tahun Baru Imlek adalah sebagai harapan atau ucapan selamat dari si pemberi angpau kepada si penerima angpau. Saat memberikan angpau, si pemberi angpau biasanya akan mengucapkan berbagai ucapan selamat dan harapannya kepada penerima angpau. Contohnya, “Semoga Anda mencapai kemajuan dalam belajar”, “Semoga Anda sehat selalu”, “Semoga karir Anda semakin baik” dan lain sebagainya.
Nilai–nilai yang dapat kita petik dalam Perayaan Imlek
Gereja Katolik menghargai makna dari peristiwa budaya Imlek yang masih dihayati oleh sebagian orang Tionghoa yang beragama Katolik. Ada beberapa nilai yang dapat kita maknai kembali sebagai orang beriman Katolik dari budaya merayakan Imlek:
- Perayaan Imlek adalah perayaan kehidupan yang pasti menghargai dan menghormati Tuhan Sang Pencipta (taqwa), manusia dan alam ciptaan.
- Perayaan Imlek merupakan perayaan pendamaian (rekonsiliasi dan harmoni) antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam ciptaan.
- Perayaan Imlek merupakan sarana perwujudan adat istiadat yang menjadikan manusia sebagai Jen (manusia bijak).
- Perayaan Imlek adalah perayaan syukur bersama keluarga dan komunitas serta masyarakat.
- Perayaan Imlek adalah perayaan persaudaraan yang diwujudkan dengan berbela rasa dan berbagi kepada sesama manusia yang miskin dan menderita.
Usulan kebijakan Pastoral Perayaan Imlek 2018
Berhubung perayaan Imlek tahun 2018 bertepatan dengan hari Jumat di mana umat Katolik wajib berpantang dari daging dan pantang pilihan pribadi, maka sebagai Uskup Keuskupan Agung Pontianak, saya memberikan dispensasi dari kedua jenis pantang ini bagi sesama umat Katolik di Keuskupan Agung Pontianak. Pantang tersebut dapat dipindahkan ke hari lain.
Keuskupan Agung Pontianak mengharapkan umat Allah yang merayakan tahun baru Imlek mempertimbangkan dialog dengan budaya Tionghoa. Semoga kita semakin dewasa dalam mempertimbangkan dan memilah mana yang bermakna, baik dari ajaran Gereja Katolik tentang pantang dan puasa di masa Prapaskah, maupun dari budaya dan tradisi Tionghoa. Oleh karena itu Keuskupan Agung Pontianak menawarkan kebijakan sebagai berikut: “Umat Allah dapat merayakan Misa Syukur Tahun Baru Imlek pada hari Jumat tanggal 16 Februari 2018, dengan penuh sukacita dan berbela rasa serta berbagi rejeki dengan orang miskin, menderita dan tersisih serta berkebutuhan khusus. Ibadat jalan salib baik secara pribadi maupun kelompok atau paroki pada tanggal 16 Februari 2018 dapat dipindahkan ke hari lain.”
Demikianlah kebijakan Pastoral Keuskupan Agung Pontianak tentang perayaan Imlek pada umumnya dan tahun 2018 pada khususnya yang bertepatan dengan hari Jumat 16 Februari sesudah hari Rabu Abu (pantang). Semoga umat Allah Keuskupan Agung Pontianak semakin tangguh dalam Iman terlibat dalam persaudaraan dan berbela rasa terhadap sesama dan lingkungan hidupnya. Amin.
“Salam persatuan dalam kebhinekaan”
Pontianak, 7 Februari 2018
Mgr Agustinus Agus
Uskup Agung Pontianak
(aop)
[…] Yang pertama adalah Keuskupan Agung Pontianak. Melalui kebijakan pastoralnya, Uskup Agung Mgr. Agustinus Agus memberikan dispensasi bagi umat yang hendak merayakan perayaan Imlek. Mereka bisa memindahkan hari pantang daging dan pantang pribadi lainnya ke hari lain. (Sumber.) […]