JAKARTA, Pena Katolik – Menjelang Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2025, perjalanan panjang pra-SAGKI di berbagai provinsi gerejawi menghadirkan sebuah gambaran utuh mengenai wajah Gereja Indonesia pada masa kini. Dari Semarang hingga Merauke, dari Medan hingga Pontianak dan Samarinda, Gereja Indonesia tampil sebagai komunitas beriman yang kaya akan warisan iman, hidup dalam keberagaman budaya, dan sekaligus berjuang menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
Proses pra-SAGKI telah menjadi ruang mendengar: mendengarkan suara umat, pengalaman pastoral, dan harapan Gereja-Gereja lokal. Di setiap wilayah, tampak dengan jelas bahwa Gereja Indonesia tumbuh dari rahmat Tuhan melalui karya para misionaris yang merintis jalan iman di tanah air ini. Mereka membawa Injil melalui pelayanan sakramental, pendidikan, kesehatan, dan pembinaan sosial. Jejak itu kini nyata dalam hadirnya sekolah-sekolah Katolik, universitas, seminari, rumah sakit dan poliklinik, panti asuhan, komunitas basis, karya media komunikasi sosial Gereja, serta lembaga ekonomi umat seperti koperasi dan credit union.
Warisan itu terus dihidupi dan dikembangkan oleh para imam, religius, katekis, penggerak pastoral, aktivis Gereja, serta umat awam di paroki-paroki dan stasi-stasi—di kota besar maupun pelosok terpencil. Gereja telah menjadi sahabat bagi masyarakat, penggerak perdamaian, dan rumah bagi semua orang yang mencari makna hidup serta penghiburan dari Tuhan.
Namun, warisan ini bukan sekadar romantika masa lalu. Gereja menyadari bahwa dunia kini berubah cepat, dan panggilan Gereja bukan hanya menjaga apa yang dipercayakan kepadanya, tetapi memperbarui semangat perutusan dengan keberanian misioner. Gereja dipanggil untuk membaca tanda-tanda zaman, mendengarkan bisikan Roh Kudus, dan bergerak bersama menuju masa depan dengan penuh pengharapan.

Tantangan Internal Gereja
Dalam refleksi nasional ini, muncul secara konsisten sejumlah tantangan dari dalam hidup Gereja sendiri:
- Pendalaman iman yang belum merata — di banyak tempat iman cenderung berhenti pada tingkat ritual, belum sepenuhnya menjadi kekuatan yang membentuk cara hidup, pilihan moral, dan kesaksian sosial.
- Partisipasi umat yang melemah — muncul kecenderungan beriman secara administratif, serta fenomena “iman privat” tanpa keterlibatan nyata dalam komunitas Gereja.
- Pendampingan anak, remaja, dan OMK yang belum memadai — generasi muda menghadapi tantangan identitas, tekanan digital, gaya hidup konsumtif, dan sekularisasi; katekese keluarga belum selalu menjadi fondasi kokoh.
- Keterbatasan tenaga pastoral — kekurangan imam dan katekis terutama di wilayah 3T; kebutuhan mendesak akan formasi berkelanjutan untuk pelayanan yang kontekstual.
- Peran awam yang belum optimal — masih terdapat pola pikir clericalism; umat awam belum sepenuhnya didorong dan diberdayakan sebagai mitra sejajar dalam misi Gereja.
- Tata kelola dan kemandirian pastoral — kebutuhan tata kelola yang profesional, transparan, dan akuntabel; penguatan ekonomi umat dan paroki menuju kemandirian berkelanjutan.
Tantangan ini mengajak Gereja untuk memperdalam budaya sinodalitas: pembinaan iman integral, pendampingan generasi muda, pengembangan kepemimpinan awam, profesionalisasi pastoral, serta penghayatan iman yang lebih rohani, matang, dan bermakna.
Tantangan Eksternal Gereja
Dunia di sekitar Gereja pun menghadirkan pergumulan serius yang menuntut keterlibatan pastoral:
- Pluralitas agama dan budaya — menjadi kesempatan sekaligus tantangan; memerlukan dialog, kesaksian hidup, dan kehadiran yang rendah hati dan bersaudara.
- Pengalaman kesulitan pendirian rumah ibadah di beberapa wilayah — menuntut Gereja untuk terus membangun relasi sosial yang baik dan menjunjung hukum serta keadilan.
- Kesenjangan ekonomi dan kemiskinan struktural — khususnya di daerah terpencil dan perkotaan; Gereja terpanggil untuk menjadi suara bagi mereka yang kecil, miskin, dan dipinggirkan.
- Migrasi dan kerentanan umat migran — termasuk isu pekerja migran, human trafficking, dan eksploitasi yang membutuhkan advokasi nyata.
- Ancaman ekologis — deforestasi, tambang, sawit, dan kerusakan lingkungan; Gereja mendengar jeritan bumi dan mereka yang terdampak, sesuai semangat Laudato Si’.
- Perubahan budaya digital dan arus informasi masif — menghadirkan tantangan bagi pembinaan iman, moralitas, dan karakter; sekaligus menjadi ladang misi baru bagi Gereja.
Di tengah dinamika ini, Gereja dipanggil untuk bersikap profetik, memberi kesaksian, merawat kebhinnekaan, membangun jembatan perdamaian, dan menghadirkan kasih Kristus bagi mereka yang terluka dan tersisih.
Melangkah sebagai Gereja Sinodal: Komunitas Pengharapan
Dari semua suara yang terdengar dalam proses pra-SAGKI, terangkum satu panggilan fundamental: Gereja Indonesia memilih menjadi Gereja yang berjalan bersama. Gereja yang mendengar lebih dahulu sebelum berbicara; merangkul dan merawat sebelum mengajar; hadir dalam solidaritas sebelum mengambil langkah aksi.
Penguatan komunitas basis, digitalisasi pastoral, pendampingan keluarga, pemberdayaan ekonomi umat, peningkatan formasi pastoral, keterlibatan OMK dan kaum perempuan, serta kolaborasi lintas agama dan institusi menjadi orientasi nyata menuju Gereja yang semakin misioner dan relevan.
Gereja ingin hadir sebagai sahabat bagi masyarakat, menjadi tanda pengharapan, garam dan terang bagi bangsa, dan saudara bagi mereka yang terpinggirkan—murid-murid Kristus yang hidup di tengah dunia dengan hati yang penuh belas kasih.
Dengan semangat sinodalitas, Gereja Indonesia melangkah sebagai peziarah pengharapan: setia kepada Injil, bersaudara dengan semua orang, dan bekerja menghadirkan damai, keadilan, serta martabat bagi setiap anak bangsa. Dalam karya Roh Kudus, Gereja percaya bahwa Indonesia adalah tanah rahmat di mana iman dapat terus bertumbuh, budaya dihormati, kemanusiaan dimuliakan, dan kasih Kristus menjadi cahaya bagi kehidupan bersama.