Home BERITA TERKINI Santo Maximilian Kolbe: Martir Kasih yang Mati demi Sesama

Santo Maximilian Kolbe: Martir Kasih yang Mati demi Sesama

0

AUSCHWITZ, Pena Katolik – Pada tanggal 29 Juli 1941, di tengah dingin dan kegelapan kamp konsentrasi Auschwitz, sebuah cahaya kasih Kristiani yang murni bersinar. Hari itu, setelah seorang tahanan bernama Zygmunt Pilawski melarikan diri, pasukan SS Jerman menanggapi peristiwa itu dengan kejam.

Mereka memilih sepuluh tahanan secara acak untuk dihukum mati kelaparan. Tahanan yang dipilih tidak akan diberi makan sampai mereka mati, sebuah balasan brutal agar tak ada lagi yang mencoba lari dari neraka itu.

Menjadi Pengganti

Di antara 10 orang yang terpilih untuk dimasukkan dalam “ruangan kepalaran” adalah Franciszek Gajowniczek, seorang ayah dan suami. Ia langsung menangis putus asa, meratapi istri dan anak-anak yang mungkin tak akan pernah ia lihat lagi.

Pada saat itulah, tanpa pikir panjang, Pastor Maximilian Maria Kolbe OFMConv maju mendatangi tentara SS dan mengatakan ingin menggantikan Gajowniczek.

“Saya seorang pastor Katolik dari Polandia,” katanya dengan suara tenang kepada para penjaga SS. “Biarkan saya menggantikannya. Saya sudah tua. Dia punya istri dan anak-anak.”

Pastor Maximilian adalah seorang imam Ordo Fransiskan Conventual yang juga di tahan di kamp itu dengan nomor 16770. Pada 17 Februari 1941, ia ditangkap oleh Gestapo dan dipenjarakan di penjara Pawiak. Pada 28 Mei, ia dipindahkan ke Auschwitz.

Pastor Maximilian tahu betul apa arti keputusannya. Ia tahu bahwa ia sedang menyerahkan nyawanya karena kasih murni, seperti yang diajarkan Kristus. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada memberikan nyawa untuk sahabatnya” (Yoh 15:13).

Para penjaga mengabulkan permintaannya. Pastor Maximilian melangkah ke dalam sel kelaparan di Blok 11, bersama sembilan tahanan lainnya. Dalam sel itu, mereka tidka diberi makan, dan dibiarkan untuk menjemput ajal.

Namun, di sel tahanan itu, Kolbe tidak hanya menjadi korban, ia melanjutkan perannya menjadi penggembala, imam, dan cahaya dalam kegelapan. Para penyintas kamp mengenang bagaimana dari sel bawah tanah itu terdengar doa, nyanyian rohani, dan pujian kepada Tuhan. Di tengah derita kelaparan, kekurangan air, dan siksaan, Pastor Kolbe memimpin mereka, menguatkan iman, menghadirkan surga di tempat yang paling menyerupai neraka. Ia tidak memberontak. Ia tidak mengutuk. Ia berserah, sambil tetap melayani.

Menurut seorang saksi mata, yang saat itu menjabat sebagai asisten petugas kebersihan, di sel penjaranya, Pastor Kolbe memimpin para tahanan untuk berdoa bersama. Setiap kali para penjaga memeriksanya, ia berdiri atau berlutut di tengah sel dan dengan tenang memperhatikan mereka yang masuk.

Setelah mereka dibiarkan kelaparan dan kekurangan air selama dua minggu, hanya Kolbe dan tiga orang lainnya yang masih hidup. Tidak ada cara lain, para penjaga yang ingin bunker dikosongkan, mereka memberikan suntikan mematikan berupa karbol kepada empat tahanan yang tersisa.

Di saat akhir itu, Pastor Kolbe mengangkat lengan kirinya dan dengan tenang menunggu suntikan mematikan. Ia meninggal pada tanggal 14 Agustus 1941. Ia dikremasi pada tanggal 15 Agustus, hari raya Maria Diangkat ke Surga. Hidupnya akhirnya berakhir di ujung suntikan mematikan oleh penjaga Nazi. Ia wafat pada malam Hari Raya Maria Diangkat ke Surga, malam yang penuh makna bagi devosinya kepada Bunda Maria. Pastor Kolbe meninggal sebagai tahanan, namun disambut Bunda Maria di Surga dalam kemuliaan. Jenazahnya segera dikremasi pada keesokan harinya.

Kolbe wafat di usia 47 tahun, menjadi martir kasih karena keberanian menghidupi iman itu dalam bentuk paling radikal: pengorbanan diri.

“Saya ingin menjadi abu demi Maria Tak Bernoda,” tulisnya suatu kali.

Jalan Panggilan

Pada tahun 1918, Maximilian Kolbe ditahbiskan sebagai imam Fransiskan Conventual. Setahun kemudian, pada Juli 1919, ia kembali ke Polandia yang baru saja merdeka. Di sana, ia giat mempromosikan devosi kepada Perawan Maria Tak Bernoda serta menentang keras gerakan-gerakan kiri, terutama komunisme.

Antara tahun 1919 hingga 1922, Kolbe mengajar di Seminari Kraków. Selama periode ini—bahkan sejak masih di Roma—ia menderita tuberkulosis, yang memaksanya mengambil cuti panjang dari tugasnya. Pada masa itu, belum ada antibiotik dan pengobatan hanya terbatas pada istirahat dan nutrisi yang baik.

Pada Januari 1922, Kolbe mendirikan majalah bulanan Rycerz Niepokalanej, ‘Ksatria Tak Bernoda’, yang terinspirasi dari publikasi devosional berbahasa Prancis Le Messager du Coeur de Jesus. Dari tahun 1922 hingga 1926, ia mengoperasikan sebuah percetakan keagamaan di Grodno. Karena kegiatan penerbitan semakin meluas, pada 1927 ia mendirikan sebuah biara Fransiskan Konventual di Niepokalanów, dekat Warsawa. Biara ini kemudian berkembang menjadi pusat penerbitan keagamaan terbesar di Polandia. Dua tahun kemudian, sebuah seminari junior juga didirikan di sana.

Antara tahun 1930 hingga 1936, Kolbe menjalankan misi ke Asia Timur. Ia pertama kali tiba di Shanghai, Tiongkok, namun tidak berhasil membangun komunitas di sana. Ia kemudian pindah ke Jepang dan pada 1931 mendirikan biara Fransiskan Mugenzai no Sono, ‘Taman Immaculata’ di pinggiran kota Nagasaki. Lokasi biara ini di perbukitan, menyelamatkannya dari kehancuran akibat bom atom pada tahun 1945.

Keputusan Kolbe untuk bermisi ke Jepang dipengaruhi oleh sejumlah mahasiswa Jepang yang ia temui di Eropa. Di Jepang, meski hanya menguasai bahasa lokal secara terbatas, ia berhasil menerbitkan edisi Jepang dari Knight of the Immaculata. Pada pertengahan 1932, Kolbe melanjutkan misinya ke Malabar, India, dan mendirikan sebuah biara di sana, meskipun kemudian ditutup.

Kembali ke Polandia

Selama Kolbe berada di luar negeri, Biara Niepokalanów berkembang pesat. Mereka mulai menerbitkan surat kabar harian Mały Dziennik, yang berafiliasi dengan kelompok politik Kubu Radikal Nasional. Surat kabar ini mencapai oplah 137.000 eksemplar, bahkan meningkat hingga 225.000 pada akhir pekan.

Pastor Kolbe kembali ke Polandia pada 1933 untuk menghadiri kapitel umum ordo di Kraków, dan sempat kembali ke Jepang sebelum akhirnya dipanggil pulang pada 1936 untuk menghadiri Kapitel Provinsi. Di sana, ia diangkat menjadi wali biara Niepokalanów, yang menyebabkan ia tidak kembali lagi ke Jepang. Pada 1938, ia mendirikan Radio Niepokalanów, sebuah stasiun radio keagamaan.

Kesaksian Kasih

Gajowniczek, tahanan yang digantikan Pastor Kolbe, akhirnya bebas dan hidup hingga usia tua. Ia bersaksi tentang kasih yang ia terima. Gajowniczek saat itu adalah tahanan No. 5659. Ia hidup karena seorang imam memilih untuk mati.

Bagi Gajowniczek, itu bukan penyelamatan pertamanya di kamp, ​​juga bukan yang terakhir. Beberapa bulan sebelumnya, ia termasuk di antara 300 tahanan yang dipilih untuk dieksekusi sebagai pembalasan atas masyarakat yang menghancurkan kereta yang membawa tentara Jerman. Ia beruntung, perintah eksekusi itu dibatalkan pada saat-saat terakhir.

Kemudian pada tahun 1942 setelah pengorbanan Kolbe, sekali lagi Gajowniczek dalam bahaya. Ia terjangkit tifus. Demam 104 derajat biasanya berarti eksekusi di kamp, ​​namun sesama tahanan menolak untuk membiarkan Gajowniczek mati. Mereka memaksanya untuk bertahan hidup sebagai bukti hidup atas pengorbanan Pastor Kolbe. beruntung, seorang dokter yang ia kenal dari militer memberikan suntikan untuk menurunkan suhu tubuhnya. Nyawanya selamat sekali lagi.

“Saya ingin hidup, agar pengorbanan Pastor Kolbe tidak sia-sia,” katanya bertahun-tahun setelah perang. “Saya melindungi diri saya dua kali lebih keras. Dia memberi saya kekuatan. Dia melakukannya agar saya bisa hidup bersama istri saya dan merawat putra-putra saya,” kenang Gajowniczek.

Pada musim gugur 1945, Gajowniczek kembali ke Polandia. Di Rawa Mazowiecka, sebuah kota kecil sekitar 80 kilometer dari Warsawa, ia bertemu kembali dengan istrinya. Beberapa menit kemudian, mereka berdiri di samping makam putra-putra mereka. Anak-anak lelaki itu tewas dalam pemboman Tentara Merah di kota itu pada 17 Januari 1945.

Kanonisasi

Paus Paulus VI membeatifikasi Kolbe pada tahun 1971, menyebut kematiannya sebagai korban kasih. Pada tahun 1982, Paus Yohanes Paulus II mengkanonisasikannya sebagai santo dan martir, menyebutnya “martir cinta kasih”.

Di bawah bayang-bayang kejahatan yang tak terbayangkan, Maximilian Kolbe menunjukkan kepada dunia bahwa kasih tetap lebih kuat daripada kebencian. Bahwa pengorbanan diri, betapapun menyakitkan, dapat menjadi tindakan ilahi. Bahkan dalam tempat tergelap sekalipun, cahaya Kristus dapat bersinar melalui seseorang yang bersedia menjadi abu demi sesama.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version