MERAUKE, Pena Katolik – Setelah puluhan tahun tidak dilakukan, Paroki Buti di Keuskupan Agung Merauke kembali menggelar Misa Inkulturatif yang kental dengan budaya Marind, Minggu 3 Agustus 2025. Perayaan Ekaristi yang sarat nuansa budaya ini menjadi awal dari rangkaian misa inkulturasi yang digagas oleh Romo Simon Petrus Matruty, sebagai bentuk penghargaan terhadap warisan iman dan budaya lokal masyarakat Merauke.
Romo Simon mengungkapkan bahwa misa ini menjadi tonggak penting dalam membangkitkan kembali peradaban orang Marind yang telah lebih dulu dibuka oleh misionaris Katolik, almh. Clara Sukai Gebze.
“Untuk pertama kalinya sejak tahbisan saya sebagai imam, saya menyaksikan kekayaan luar biasa dalam liturgi bernuansa Marind. Ini sangat menggugah dan membanggakan,” ujar Romo Simon usai misa.
Liturgi sepenuhnya dibawakan oleh umat dari etnis Marind. Misa dilengkapi dengan pakaian adat, tifa, lagu-lagu tradisional, dan hiasan misa dari bahan alam lokal seperti kelapa, tebu, dan keladi. Suasana misa pun menjadi semarak dan sakral, disambut antusias oleh sekitar 100-an umat yang hadir.
Program ini akan dilanjutkan setiap Minggu dengan giliran etnis lain yang mendiami tanah Marind, seperti Toraja, Kei, Tanimbar, Tionghoa, dan Jawa.
“Ini sesuai dengan semangat inklusif Gereja yang merangkul semua budaya sebagai kekayaan iman,” jelas Romo Simon.
Vikaris Episkopal Merauke, Romo Samson Waliwawan, turut mendukung inisiatif ini dan menyatakan keprihatinannya atas praktik manipulatif oknum yang mencaplok tanah-tanah milik masyarakat Marind dengan cara yang tidak etis. Ia menekankan bahwa keberadaan Gereja seharusnya menjadi pelindung peradaban, bukan sekadar institusi keagamaan.
“Tanah adalah ibu kita. Menjual tanah berarti menjual ibu,” tegas Romo Samson, sembari mengingatkan pentingnya kesadaran menjaga hak milik adat demi masa depan generasi muda.
Dukungan juga datang dari Dominikus Buliba Gebze, anggota DPR Papua Selatan yang menyatakan kesiapan mendukung pembangunan gereja baru St. Theresia Buti. Ia berharap misa inkulturatif ini menjadi awal kebangkitan spiritual dan budaya masyarakat lokal.
Dengan semangat kebersamaan dan penghargaan terhadap akar budaya, Gereja Katolik di Merauke kembali menunjukkan wajah Gereja yang hidup, menyatu dengan umat, dan menjunjung tinggi martabat budaya lokal.