Home BERITA TERKINI Penyelesaiana Kasus Intoleran, Cukupkah dengan Jalan Hukum?

Penyelesaiana Kasus Intoleran, Cukupkah dengan Jalan Hukum?

0

JAKARTA, Pena Katolik – Menyelesaikan “kasus” intoleransi di Indonesia memang tidak bisa begitu saja memakai pedoman hukum maupun undang-undang yang berlaku. Untuk menyelesaikan, perlu “kebijaksanaan” yang dibaca sebagai cara arif yang mempertimbankan banyak aspek kehidupan. Mengapa demikian, karena kasus semcam ini memang sangat kompleks, dan di setiap daerah memiliki konteks masing-masing. Setiap kasus perlu dipahami dengan bijak, berlandas konteksnya, tujuannya untuk membina kerukunan beragama.

Belakangan menjadi sorotan bagaimana Kementrian HAM bersikap terhadap kasus intoleran di Sukabumi. Penyelesaian kasus semacam ini setidaknya perlu berlandas tiga hal ini. Pertama, perlu memahami konteks. Kedua, ketika berhadapan dengan kasus intoleransi, ada banyak faktor yang kadang melatari, misalnya kesenjangan sosial, politik, ekonomi, tingkat pendidikan masyarakat dll. Ketiga, penerapan hukum bukan satu-satunya jalan penyelesain. Ini berarti proses hukum untuk pihak yang dianggap bersalah, kadang bukan penyelesaian yang pas.

Penindakan pelaku kekerasa dengan penerapan hukum secara tegas tidak akan menyelesaikan keseluruhan masalah, meskipun langkah ini perlu dilakukan sehingga kepercayaan publik pada penerapan hukum tetap berjalan. Dalam penerapannya, pihak yang berkepentingan pun perlu adil hati-hati.

Latar belakang kasus intoleran, selalu terkait dengan situasi ketidakadilan baik yang bernuansa sosial, politik, ekonomi, tingkat pendidikan masyarakat dll. Untuk itu, perlu cermat dalam melihat setiap persoalan. Lagi yang juga penting, setiap daerah memiliki konteksnya masing-masing, sehingga perlu dicermati, ketika ingin menyelesaikannya.

Setiap lembaga negara yang bertanggungjawab harus dapat terlihat membela semua orang (pihak), sebab kalau tidak, mereka akan dilihat bert sebelah atau membela kelompok tertentu. Lembaga negara haru mengayomi semua pihak.

Pendekatan Kultural

Pada kenyataannya, keberhasilan membangun kerukunan di Indonesia nyatanya justru berhasil ketika tidak hanya menggunakan instrument-instrumen hukum, namun juga pendekatan lain: kultural, belarasa, silaturahmi, dll.

Romo Frans Magnis Suseno SJ mengkritik sikap “triumfalisme” di kalangan Gereja Katolik, yang tampak dalam pembangunan beberapa tempat rohani Kristen yang berlebihan (patung raksasa, gereja mewah, dll). Hal ini karena pembangunan simbol-simbol Kristen yang “wah” ini justru “menyinggung” perasaan masyarakat sekitarnya.

Yang dianjurkan Romo Magnis adalah dengan memberi sapaan/silaturahmi, kepada semua kalangan agama, termasuk kelompok yang selama ini dikenal “garis keras”. Dengan cara ini, persaudaraan akan dibangun dan kerukunan akan terjaga.

Cara yang ditunjukan Romo Magnis nyatanya malah berhasil membangun kerukunan. Misalnya dalam beberapa contoh ini: keberhasilan Romo Fajar membangun kerukunan di Banyuwangi, juga Romo Felix di Tangerang. Menurut saya, ini berhasil karena dilakukan dengan cara “silaturahmi”. Kita ingat bagaimana situasi kerukunan di Banyuwangi di masa lalu.

Keberhasilan pastoral di Sumatera Barat dan Riau oleh para Misionaris Xaverian dapat menjadi pembelajaran lain, yang tentu dijalankan dengan pendekatan ini. Xaverian berhasil membangun Sekolah Katolik di semua paroki yang didirikan di Sumatera Barat dan Riau. Hal ini rasanya tidak akan berhsil kalau tanpa pendekatan “silaturahmi” tadi.

Penyelesaian kasus intoleransi dengan melalui proses hukum saja tidaklah bijaksana. Langkah penyelsaian ini harus berjalan beriring dengan usaha untuk membangun komunikasi/silaturahmi yang dilandasi semangat saling memahami. Meski demikian, pihak-pihak yang terbukti melakukan tindakan melawan hokum, tetap perlu dilanjutkan prosesnya.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version