Home BERITA TERKINI Kisah Heroik Kardinal Kung dan Sejarah Katolik di Shanghai

Kisah Heroik Kardinal Kung dan Sejarah Katolik di Shanghai

0
Kardinal Ignatius Kung saat berjumpa dengan Paus Yohanes Paulus II. IST

SHIANGHAI, Pena Katolik – Ia merayakan Misa dalam bahasa Latin selama di penjara. Ia juga memiliki devosi kepada Maria, berdoa rosario hanya dengan menggunakan jari-jarinya.

Pada malam tanggal 8 September 1955, petugas keamanan Partai Komunis Tiongkok (PKT) melancarkan penangkapan massal terhadap pada imam Katolik di Kota Shanghai. Ada di antara mereka, adalah Uskup Shanghai, Kardinal Ignatius Kung Pin-Mei (Gong Pinmei). Ia dikenal sebagai uskup pertama pribumi. Pada akhir bulan September itu, lebih dari 1.200 imam dan umat awam ditangkap, diinterogasi, dan dipenjarakan.

Ini adalah puncak perjalanan bertahun-tahun yang diusahakan Partai Komunis untuk mematahkan perlawanan Katolik di kota tersebut dan membawa Gereja di bawah kendali negara. Keputusan untuk memusatkan perhatian pada Shanghai adalah hal yang disengaja. Kala itu, Shanghai adalah pusat Gereja Katolik di Tiongkok dan Kardinal Kung bukan hanya salah satu pemimpin Katolik paling penting di negara, ia merupakan perwujudan kesetiaan yang tak tergoyahkan kepada Takhta St. Petrus.

Lahir dalam Keluarga Katolik Generasi Kelima

Kehidupan Katolik di Shanghai dibentuk oleh para Yesuit Perancis. Mereka mengambil alih urusan gerejawi setelah konvensi Tiongkok-Prancis pada abad ke-19, yang melahirkan protektorat agama Prancis. Shanghai, sebuah kota pelabuhan yang penting, adalah semacam laboratorium, titik pertemuan berbagai budaya, dan dalam lingkungan inilah para Jesuit mampu mengintegrasikan Gereja ke dalam kerangka sosial yang lebih luas. Kota ini juga merupakan rumah bagi sekolah dan seminari Katolik terpenting, serta tempat suci utama Bunda Maria dari Shehan.

Di lingkungan kosmopolitan inilah, Kardinal Kung dilahirkan pada tahun 1901 dalam keluarga Katolik generasi kelima. Ia dikenal karena kesalehan dan kecerdasan administratifnya. Setelah ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1930, ia kemudian menjabat sebagai kepala sekolah di sekolah menengah milik Jesuit. Sekolah-sekolah ini tidak hanya membekali banyak orang dengan formasi akademis yang kuat, namun juga menjadi tempat di mana generasi muda Tiongkok non-Katolik bertemu dengan iman mereka, banyak di antara mereka berpindah agama dan menjadi penganut Katolik yang taat.

Kardinal Ignatius Kung saat beraudiensi dengan Paus Yohanes Paulus II. IST

Lingkungan yang Bermusuhan bagi Gereja

Meskipun Gereja memiliki kehadiran yang stabil di Tiongkok sejak akhir abad ke-16, dalam masyarakat Tiongkok yang lebih luas masih ada kecurigaan terhadap umat Katolik. Hal ini merupakan hasil dari hubungan historis antara kekuatan kekaisaran Eropa dan pekerjaan misi, yang pada gilirannya menunda pribumisasi keuskupan. Pada tahun 1924, Primum Concilium Sinese (Dewan Pleno pertama Tiongkok), atau Sinode Para Uskup Shanghai, membahas banyak permasalahan ini. Kemudian, akhirnya, pada tahun 1926, enam uskup pribumi Tiongkok yang pertama ditahbiskan oleh Paus Pius XI pada tahun 1926. Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1946, Paus Pius XII dalam konstitusi apostoliknya Quotidie Nos mendirikan struktur keuskupan resmi di Tiongkok.

Perkembangan ini mempunyai arti penting secara kanonik dan sosio-politik. Sebelum tahun 1946, unit administratif gerejawi di Tiongkok adalah prefektur apostolik atau unit administratif pra-keuskupan di wilayah misi. Memiliki uskup-uskup keturunan Tionghoa dan struktur keuskupan resmi meningkatkan posisi Gereja Tiongkok, memberi isyarat kepada dunia bahwa Gereja Tiongkok adalah wilayah yang setara, bukan wilayah misi yang diperintah oleh orang asing. Namun, kekuasaan Partai Komunis sudah di depan mata dan narasi tentang Gereja “asing” atau “kekaisaran” masih lazim.

Tentara Pembebasan Rakyat memasuki Shanghai pada tanggal 24 Mei 1949, dan pengambilalihan oleh Partai Komunis atas daratan Tiongkok selesai pada tanggal 1 Oktober 1949, ketika Republik Rakyat Tiongkok didirikan. Pada tahun yang sama, Pastor Kung diangkat menjadi Uskup Suzhou, sebuah keuskupan baru yang didirikan oleh Tahta Suci. Ia ditahbiskan oleh Internuncio Kepausan Mgr. Antonio Riberi.

Pada tanggal 5 Agustus 1950, setelah kekosongan yang berkepanjangan, Mgr. Kung diangkat menjadi Uskup Shanghai, meskipun baru pada tanggal 7 Oktober (pada hari raya Bunda Rosario, tanggal yang dipilih oleh Kung) ia mulai bertugas di sana. Menjadi uskup dalam iklim Maois Tiongkok adalah posisi yang tidak menyenangkan: Uskup adalah penghubung penting dengan Roma, representasi nyata dari otoritas kepausan dan, oleh karena itu, menjadi target utama partai. Bagi Uskup Kung, ada banyak kekhawatiran mengenai masa depan karena dia tahu partai tersebut akan bertindak cepat melawan Gereja.

Tujuan akhir Pasrtai Komunis adalah mengisolasi umat Katolik Tiongkok dari Roma dan menciptakan Gereja “patriotik” yang independen. Untuk melakukan hal ini mereka mengadopsi strategi multi-pilar yang terdiri dari memungut pajak yang tinggi (dan pada akhirnya mengambil alih) properti Gereja, melaksanakan reformasi pendidikan untuk menyelaraskan kurikulum sekolah dengan prinsip-prinsip Marxian. Pasrtai Komunis mengembangkan aparat pengawasan untuk memantau pergerakan para imam, khususnya para misionaris asing. Langkah-langkah ini dibarengi dengan kampanye propaganda untuk mendiskreditkan para misionaris asing dan mendelegitimasi Bapa Suci. Partai tersebut memberikan ultimatum: untuk mendaftar ke pemerintah dan mengecam Paus atau menghadapi pengucilan sosial dan pemenjaraan.

Untuk mengawasi proses nasionalisasi agama, partai membentuk Biro Urusan Agama, yang sekarang disebut Administrasi Urusan Agama Nasional, yang didasarkan pada Gerakan Patriotik Tiga Mandiri (pemerintahan mandiri, swasembada, dan propagasi mandiri). Meskipun gereja-gereja Protestan lebih mudah untuk dinasionalisasi, karena strukturnya yang lebih terdesentralisasi, Gereja Katolik sangat rentan bukan, hanya karena sejarah misinya yang rumit, namun juga karena universalitas yang melekat pada Gereja, yang diwujudkan dalam sosok Paus.

Mgr Kung bersama dia imam Jesuit di Shanghai. IST

Peletak Dasar untuk Gereja Bawah Tanah

Paus Pius XII, seperti halnya banyak pendahulunya, menganggap komunisme bukan hanya sekedar ideologi politik, tetapi juga sebuah agama baru. Menanggapi situasi yang memburuk dengan cepat di Tiongkok, dalam Ad Sinarum Gentem ‘Kepada Rakyat Tiongkok’, ia mengecam pendirian Gereja nasional, yang tidak bisa lagi menjadi Gereja Katolik karena hal itu merupakan penyangkalan terhadap universalitas atau lebih tepatnya ‘katolik’, yang dengannya Gereja benar-benar didirikan oleh Yesus Kristus dan berada di atas segala bangsa dan merangkul semua.

Mgr. Kung tahu bahwa dia akan ditangkap, dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup Gereja dalam jangka panjang, dia perlu mempersiapkan umat awam untuk mewariskan imannya. Mgr. Kung, dengan bantuan banyak imam dan umat Katolik yang setia, membangun jaringan di Shanghai, yang memungkinkan Gereja untuk terus hidup. Bentuknya adalah kelompok katekismus rahasia, sebuah inisiatif yang pertama kali dipelopori oleh pastor Beda Chang, yang dianggap sebagai martir Katolik pertama Gereja di Shanghai. Selain katekismus, ada juga sesi khotbah. Kedua hal ini yang menjadi “vitamin” bagi kelanjutan Gereja di Tiongkok kala itu.

Karena semakin banyak paroki dan kantor administrasi yang diawasi dan digerebek, misionaris asing diusir dan imam asli Tiongkok ditangkap. Asosiasi awam Katolik, seperti Legio Maria, memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi di sekitar keuskupan dan memelihara jaringan komunikasi. Mgr. Kung telah berhasil meletakkan dasar bagi pembentukan Gereja bawah tanah.

Pemandangan di depan sebuah gereja di Tiongkok sekitar tahun 1950-an. IST

Penangkapan dan Penolakannya untuk Menyetujui

Penangkapan Kardinal Kung pada 8 September 1955 merupakan salah satu pukulan besar terhadap perlawanan Katolik. Malam itu lebih dari 300 pastor dan awam Katolik ditangkap. Bagi partai tersebut, kesabaran dan propaganda selama bertahun-tahun telah membuahkan hasil. Apa yang disebut “klik kontra-revolusioner Kung Pin-Mei” telah diberantas. Setelah penangkapannya, terjadi penangkapan lebih lanjut serta sesi indoktrinasi. Banyak yang mogok, menuduh Mgr. Kung melakukan kegiatan kontra-revolusioner.

Meskipun ada upaya yang dilakukan oleh para interogator, Mgr. Kung menolak untuk menyetujui tuntutan partai tersebut dan melegitimasi Gereja patriotik. Tak lama setelah penangkapannya, ketika diminta untuk mengecam Paus di stadion umum, Mgr. Kung dengan menantang berteriak di depan orang banyak, “Hidup Kristus Raja. Hidup Paus.” Dia menghabiskan lima tahun berikutnya di penjara dan pada tahun 1960, selama persidangan, dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Di penjara, dia sering kali mengalami kondisi yang mengerikan dan menjalani masa isolasi yang intens dalam waktu yang lama. Menurut seseorang yang mengetahui masa-masa Mgr. Kung di penjara, dia sering dikurung di lantai dan penjaga penjara diberitahu untuk tidak berinteraksi dengannya. Dia juga tidak menerima perawatan medis dan kunjungan dari organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah. Menurut sumber tersebut, satu paket yang dikirimkan kepada Mgr. Kung dikembalikan karena dikatakan tahanan tersebut “tidak ada.”

Tujuan tindakan ini adalah untuk mematahkan tekad dan semangatnya, namun keyakinannya tidak pernah goyah. Mereka yang akrab dengan kisah kardinal menceritakan bagaimana selama di penjara dia mendaraskan Misa dalam bahasa Latin dan kardinal, yang memiliki devosi Maria yang kuat, berdoa rosario hanya dengan menggunakan jari-jarinya.

Meski mendapat tekanan, Kung tidak pernah menyerah, terlihat dalam surat permohonannya pada tahun 1979 di mana ia mengulangi: “Berpisah dari satu-satunya wakil Yesus Kristus di bumi, Paus, berarti membuat diri saya kehilangan iman Katolik yang paling mendasar, menjadi bidah tanpa Paus. Ini adalah masalah serius dalam sejarah Gereja Katolik yang suci, di mana jutaan orang telah berjuang dengan menumpahkan darah dan mengorbankan nyawa mereka.

Pada tahun 1980-an, setelah terjadinya revolusi kebudayaan, Tiongkok mengalami periode “terbuka” untuk melunakkan citranya di luar negeri dan menarik investasi asing. Pada tahun 1985 Mgr. Kung mendapat pembebasan bersyarat. Meskipun seharusnya masa hukumannya berlangsung selama lima tahun, pada tahun 1988 setelah hanya menjalani setengah masa hukumannya, dia dibebaskan tanpa alasan yang jelas. Dia pergi ke Amerika Serikat pada usia 88 tahun untuk menerima perawatan medis. Sejak itu, ia tidak pernah kembali ke Tiongkok.

Kardinal In Pectore

Mgr. Kung diangkat menjadi Kardinal “in pectore” oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1979. Pengangkatan ini hanya diketahui oleh Paus seorang, dan baru diumumkan ke publik pada tanggal 29 Juni 1991, di sebuah konsistori publick. Saat itu, ia diperkenalkan ke dunia sebagai Kardinal Kung. Setelah konsistori tersebut, Paus Yohanes Paulus II berkata:

“Saya merasa bahwa seluruh Gereja tidak bisa tidak menghormati seseorang yang telah memberikan kesaksian melalui kata-kata dan perbuatan, melalui penderitaan dan pencobaan yang panjang, tentang apa yang merupakan hakikat kehidupan dalam Gereja: partisipasi dalam kehidupan ilahi melalui iman kerasulan dan kasih injili.”

Kardinal Joseph Ratzinger pada tahun 1999 memuji Kardinal Kung atas keberanian dan keyakinannya.

“Dalam puluhan tahun kesetiaan Anda kepada Gereja, Anda telah mengikuti teladan Kristus Gembala yang Baik, dan bahkan dalam menghadapi penderitaan yang besar, Anda tidak berhenti mewartakan kebenaran Injil melalui kata-kata dan teladan Anda. Atas kesaksian setia Anda terhadap Kristus, Gereja sangat berterima kasih.”

Kardinal Kung meninggal pada tahun 2000 pada usia 98 tahun di Stamford, Connecticut, Amerika Serikat. Ia lalu dimakamkan di Santa Clara Mission Cemetery, Santa Clara, California.

Seperti kebanyakan orang, dia ingin menjadi seorang Katolik yang baik dan warga negara yang baik, namun dia terjebak antara menjalankan imannya secara otentik atau berkompromi dengan pemerintah.

“Saya adalah warga negara yang baik. Saya lahir dan besar di Tiongkok,” ujar Kardinal Kung.

Sentimen ini tercermin oleh Paus Yohanes Paulus II dalam pesan belasungkawa di mana ia mengatakan bahwa kardinal tersebut adalah putra bangsawan Tiongkok dan putra Gereja yang mulia.

Hampir 70 tahun setelah penangkapannya, Kardinal Kung dikenang saat dia mengkhotbahkan kesetiaan kepada Penerus Petrus dan Gereja, dan memberikan contohnya dalam kehidupannya sendiri. Berkat dedikasi Kardinal Kung, Gereja bawah tanah di Tiongkok tetap hidup, terdapat panggilan; iman diturunkan dari generasi ke generasi. Kardinal Kung terus memberikan teladan iman, harapan, dan keberanian kepada umat Katolik dan kepada umat Katolik yang teraniaya di seluruh dunia.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version