Home BERITA TERKINI Menjelang 100 Tahun KWI 1: Kelahiran Konferensi Uskup Indonesia

Menjelang 100 Tahun KWI 1: Kelahiran Konferensi Uskup Indonesia

0
Para waligereja/uskup peserta pertemuan para uskup pertema di Nusantara yang diadakan di Katedral Batavia 15-16 Mei 1924. Dok. KWI

JAKARTA, Pena Katolik – Para uskup di Bumi Nusantara pertama kali mengadakan siding pada tanggal 15-16 Mei 1924 di Jakarta. Inilah yang disebut sebagai awal berdirinya Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI). Kisah ini tercantum di antaranya dalam Dalam buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 3b, yang diterbitkan oleh Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia yang terbit tahun 1974.

Sebelum pertemuan para uskup ini, tahun 1913 lahirlah Nadere Regeling yang berisi pengakuan oleh Pemerintah Belanda terhadap semua Vikaris Apostolik dan semua Prefek Apostolik di Nusantara, pada saat itu sebagai negara Indonesia belum terbentuk. Pemerintah Belanda mengakui para uskup sebagai pemimpin jemaat Katolik di dalam wilayah Vikariat dan Prefektur masing-masing.

Sebelumnya, terjadi perundingan antara Internunsius dengan Menteri Urusan Koloni Pemerintah Belanda yang dilakukan di Den Haag. Setelah keluar pengakuan itu, semua Vikaris dan Prefek Apostolik merasa perlu untuk memiliki forum dialog bersama. Pertemuan ini untuk mencapai kesatuan sikap terhadap pemerintah dalam banyak persoalan.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, saat penahbisan Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen SJ sebagai Vikaris Apostolik Batavia pada tanggal 13 Mei 1924, para waligereja di Nusantara berkumpul di Jakarta. Pada kesempatan inilah, mereka mengadakan sidang pertama yang diselenggarakan tanggal 15-16 Mei 1924 di Pastoran Katedral Batavia.

Sidang pertama yang diketuai Mgr. van Velsen itulah menjadi cikal bakal tanggal dan sampai saat ini menjadi patokan waktu berdirinya MAWI yang saat ini dikenal sebagai Konferensi Waligereja Indonesia.

Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen SJ sebagai Vikaris Apostolik Batavia. IST

Sikap Politik Gereja

Meski baru terbentuk, sikap para uskup di Nusantara nyatanya telah mulai kritis pada Pemerintah Belanda. Para uskup bersikap dalam posisinya terhadap politik pemerintah. Selain itu, mereka membicarakan tema sekitar para imam dan pendidikan imam, pengajaran agama dan penyebarluasan semangat Katolik. Pada pertemuan ini juga, dibentuk perwakilan sekretariat tetap para uskup yang ditempatkan di Gemeente Batavia (nama sebutan Jakarta antara tahun 1905-1935, nama Jakarta baru dipakai pada tahun 1942 saat pendudukan Jepang).

Sidang kedua para uskup di Nusantara berlangsung tanggal 1- 8 September 1925 di Katedral Batavia. Kali ini, siding dipimpin oleh Mgr. B.Y. Gijlswijk OP (Delegatus Apostolik di Afrika Selatan) yang diutus Paus Pius X.

Selain membahas beberapa masalah. Pertama, keuangan sebagai unsur penting penopang karya misi. Dana ini diputuskan akan dimintakan dari Vatikan. Kedua, sidang ini juga berbicara juga tentang masalah penyebaran iman. Untuk tujuan ini, perlu cukup ketersediaan imam yang akan terus-menerus menyelaraskan pewartaan mereka dengan tradisi dan budaya Nusantara.

Ketiga, guna menopang pewartaan iman ini dirasa perlu menyusun katekismus Katolik yang disesuaikan. Keempat, masalah pendidikan imam dibicarakan semakin intensif, di samping masalah ko-edukasi di sekolah-sekolah Katolik. Kelima, pada sidang ini juga dibicarakan tentang organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan Katolik. Di akhirn sidang disepakatinya waktu sidang waligereja selanjutnya, yang direncanakan sekurang-kurangnya dalam lima tahun sekali.

Gereja dan Negara

Pada sekitar tahun 1920-an, gerakan-gerakan kebangsaan semakin memanas di seluruh wilayah Nusantara. Gerakan-gerakan pemuda menemukan puncaknya pada tahun 1928 pada momen Sumpah Pemuda, yang kebetulan bersinggungan erat dengan Gereja Katolik. Padada salah satu Sidang Pemuda ini mengambil lokasi di Aula Katedral Batavia.

Setahun setelah peristiwa Sumpah Pemuda, para uskup di Nusantara mengadakan sidang ketiga, pada 4-11 Juni 1929 di Muntilan (Jawa Tengah). Ada 10 uskup yang datang pada siding kali ini. Dalam siding itu dibicarakan secara sangat intensif pokok-pokok persoalan yang menyangkut masalah hubungan Gereja dan negara, pendidikan dan katekese.

Siding berikutnya terjadi pada 19-27 September 1934 di Girisonta (Jawa Tengah) dan tanggal 16-22 Agustus 1939 juga di Girisonta. Setelah sidang yang terakhir, sidang-sidang waligereja tidak dapat lagi diadakan hingga pada tahun 1954. Hal ini disebabkan oleh Hindia Belanda (yang kemudian menjadi Indonesia) yang memasuki masa perang dan masa gejolak politik yang tak menentu.

Situasi tak menetu ini terutama dalam masa pendudukan Jepang serta masa awal kemerdekaan dan revolusi nasional. Saat itu kehidupan pelayanan Gereja Katolik di Indonesia menjadi terhambat.

Pada tahun 1949–1954, sempat diadakan beberapa pertemuan yang menyatukan beberapa waligereja di Indonesia, tetapi pertemuan tersebut tidak pernah bersifat nasional.

Bruderan di jl Dr Sutomo Surabaya pada tahun 1930 lokasi sidang KWI tahun 1955. Dok. IST

Kelahiran MAWI

Sidang para Waligereja pertama sejak Proklamasi Kemerdekaan diselenggarakan di Bruderan Jalan Raya Dr. Sutomo, Surabaya, pada tanggal 25 Oktober sampai 2 November 1955. Sidang ini  dihadiri oleh 22 orang waligereja, dari 25 orang waligereja yang ada pada saat itu. Lokasi siding ini sekarang menjadi SMA Katolik St. Louis 1 Surabaya.

Faktor pendukung dapat dilaksanakannya sidang ini adalah situasi keamanan di Indonesia yang semakin kondusif. Setelah 17 Agustus 1950 keadaan menjadi kian normal, situasi ini mendukung diadakannya lagi sidang para uskup. Kendati begitu, persoalan Irian Barat turut menjadi faktor yang menyulitkan bagi kehidupan Gereja di Indonesia.

Keputusan terpenting dalam sidang tahun 1955 ini adalah dibentuknya beberapa panitia (cikal bakal komisi) tetap dan didirikan suatu Dewan kecil yang tetap, yang disebut Dewan Waligereja Pusat (Dewap). Dan dalam sidang Waligereja tahun ini pula disepakati nama baru: Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI).

Selain pembentukan DEWAP, keputusan lain yang penting yaitu mendukung adanya Partai Katolik dan pengakuan resmi terhadap Organisasi Pemuda Katolik Pandu Putera. Gereja juga mendukung pengembangan panitia pers dan propaganda. Para uskup juga merasa pelu terus membicarakan masalah pendidikan seminari.

Di bidang pengajaran, saat itu juga telah dikeluarkan keputusan tentang penerjemahan dan penerbitan Kitab Suci Perjanjian Lama secara bertahap (jilid demi jilid). Untuk yang terkahir ini didorong penerjemahan Rituale Romanum dan dikeluarkannya sebuah surat edaran mengenai soal-soal di bidang politik, sosial, dan kebudayaan di Asia untuk mendukung resolusi-resolusi dari Pan-Pasific Action Conference yang baru diselenggarakan di Melbourne. (AES)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version