CAVITE, Pena Katolik – Sebagai seorang muslimah di Filipina, Fatiha Maturan tidak pernah membayangkan pergi ke gereja. Wanita berusia 38 tahun itu terbiasa melihat adik laki-lakinya, Haroun, secara teratur menemani teman-teman Katoliknya ke sebuah paroki setempat di Imus, sebuah kota di Provinsi Cavite.
Suatu hari di tahun 2017, saudara laki-lakinya menyuruhnya membawakan makanan untuknya dan teman-temannya di Paroki Tritunggal Mahakudus di wilayah mereka. Di gereja paroki, dia menemukan saudara laki-lakinya sedang berlatih paduan suara dan Fatiha segera mengenali lagu yang sudah dikenalnya.
Lagu dalam bahasa lokal Tagalong adalah “hindi kita malilimutan” ‘Aku Tidak Akan Melupakanmu’ yang ditulis oleh komposer Jesuit dan teolog Pastor Manoling Francisco. Saat itu dia tidak menyadari bahwa lagu melankolis dan meditatif itu didasarkan pada Yesaya 49:15:
“Malilimutan ba ng ina
Ang anak na galing sa kanya
Sanggol sa kanyang sinapupunan
Paano niyang matatalikdan
Ngunit kahit na malimutan
Ng ina ang anak niyang tangan
‘Dapatkah seorang ibu melupakan bayi yang disusuinya dan tidak menyayangi anak yang dilahirkannya? Meskipun dia mungkin lupa, aku tidak akan melupakanmu!’
Lagu itu memikatnya dan Fatiha mulai bersenandung sambil menunggu. Pemimpin paduan suara, Mang Pedring memperhatikan dia melakukannya dan mengundangnya untuk bergabung dengan mereka yang menyanyikan lagu tersebut.
“Tapi saya seorang Muslim. Bisakah saya bernyanyi di sini,” tanya Fatiha pada Pedring, yang memberinya anggukan selamat datang.
Sejak itu, setiap Sabtu sore, dia mulai menghadiri sesi latihan paduan suara “hanya untuk mendengarkan”. Keluarga Fatiha dan Haroun termasuk di antara sekitar 500.000 orang yang mengungsi dari provinsi Sulu di Daerah Otonomi Bangsamoro di Muslim Mindanao, ke Cavite karena kekerasan.
Ribuan orang seperti mereka melarikan diri dari Sulu karena kekerasan setelah mantan presiden Filipina, Joseph Estrada, pada tahun 2000 menyatakan “perang habis-habisan” melawan separatis Front Pembebasan Islam Moro. Fatiha dan kakaknya mengatakan mereka masih duduk di bangku sekolah dasar saat meninggalkan Sulu. Saat itu, ayah mereka menutup toko sepeda motornya.
“Kami buru-buru mengemasi barang-barang kami dan pergi,” kata Fatiha kepada UCA News.
Keluarga itu naik kapal militer ke Luzon. Mereka akhirnya menetap di Cavite atas saran beberapa teman Muslim yang mengatakan itu adalah tempat yang lebih baik untuk memulai bisnis baru daripada ibu kota Manila yang sibuk.
Ayah mereka, Cesar Maturan, yang kini berusia 61 tahun, memindahkan bisnis sepeda motornya dari Sulu ke Cavite. Fatiha mengatakan di sinilah kakaknya mulai tertarik pada agama Katolik. Saat dia sendiri mulai menghadiri latihan paduan suara secara teratur, Fatiha menemukan lagu-lagu indah yang baginya merangkum semangat Filipina.
“Lagu-lagu itu berbicara tentang pengalaman saya. Mereka memberi tahu kita bagaimana Tuhan terus menjaga umat-Nya dalam segala situasi dan bagaimana kita masing-masing – Katolik atau Muslim – bertanggung jawab satu sama lain,” jelas Fatiha.
Dia heran bahwa beberapa lagu masa kecilnya adalah lagu-lagu Kristen, meskipun dia menyanyikannya tanpa menyadari artinya. Fatiha ingat saat ia mendengarkan dan menghafal lagu-lagu dari televisi, terutama dari serial drama yang sangat dia sukai karena musik latarnya. Nyanyian paduan suara segera menjadi pengalaman yang tidak bisa dia kesampingkan. Sejak Januari 2019, setiap Sabtu, dia berdiri di depan mikrofon untuk bernyanyi.
“Saya ingat ketika saya pertama kali bernyanyi di paduan suara saat Ibadat Pemakaman Katolik. Saya harus berpakaian seolah-olah saya seorang Katolik, meski saat itu ia masih seorang Islam,” kenangnya.
Anggota paduan suara melakukan lebih dari sekadar bernyanyi. Mereka juga makan bersama dan mengajarkan lagu kepada anak-anak di daerah kumuh.
“Mereka berlatih lagu bersama, tetapi meskipun tahu saya seorang Muslim, mereka tidak memaksa saya untuk menjadi seorang Katolik,” kata Fatiha.
Dia mengatakan saudara laki-lakinya, Haroun menjadi seorang Katolik yang tertarik dengan homili Kardinal Luis Antonio Tagle, yang juga berasal dari Imus. Dia tertarik pada “hal-hal yang kurang serebral” seperti musik yang memberinya “kedamaian dan penghiburan”.
Fatiha menerima Sakramen Inisiasi – Pembaptisan, Ekaristi dan Krisma – selama Vigili Paskah tahun ini. Dalam perjalanan ke depan sebagai seorang Katolik, ia mengatakan, ia “ebih dari yakin dengan cinta dan dukungan keluarganya dan cinta Tuhan, yang tercermin dalam lagu-lagu yang akan terus dia nyanyikan di paduan suara.
Hidupnya telah menjadi kesaksian hidup dari apa yang dikatakan Pastor Manoling saat merayakan konser peringatan 27 tahun Komisi Musik Jesuit pada tahun 2022.
“Musik kami menggemakan kehadiran Tuhan yang setia dan kasih setia kepada semua orang, dalam situasi politik apa pun dan itulah pesan dari lagu ini — kasih setia Tuhan adalah untuk semua.”