Home BERITA TERKINI Mengapa Salib dan Patung di dalam Gereja Ditutup Selama Prapaskah

Mengapa Salib dan Patung di dalam Gereja Ditutup Selama Prapaskah

0
Ilustrasi

JAKARTA, Pena Katolik – Ada tradisi lama di Gereja Katolik untuk menutup semua salib, patung, dan gambar dengan kain ungu dari dua hari Minggu sebelum Paskah hingga Sabtu Suci. Berdasarkan kalender liturgi lama sebelum reformasi Vatikan II pada tahun 1964, Minggu Prapaskah Kelima, satu minggu sebelum Minggu Palma, disebut Minggu Sengsara.

Dasar biblis untuk tindakan ini mengacu pada kata-kata penutup Injil hari Minggu, “Mereka mengambil batu untuk dilemparkan ke arahnya, tetapi Yesus bersembunyi dan keluar dari Bait Suci” (Yohanes 8:59).

Dalam Misale Romanum dinyatakan dalam sebuah catatan tentang hari Sabtu Minggu kelima Prapaskah, bahwa tradisi ini boleh dipatuhi, di mana selubung yang menutupi patung dan salib dapat terus dilakukan hingga dimulainya Malam Paskah.

  Dalam Misale Romanum tahun 2011 yang Diperbarui: praktik menutup salib dan gambar di seluruh gereja mulai pada Minggu Prapaskah Kelima. Salib tetap ditutupi sampai akhir perayaan Sengsara Tuhan pada Jumat Agung.

Namun, lama waktu penutupan ini bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Kebiasaan di banyak dimulai sebelum vesper pertama atau Misa Minggu Prapaskah Kelima, sementara di tempat lain kadang ada yang baru menutup patung dan salib pada Misa Perjamuan Tuhan pada Kamis Putih.

Di beberapa tempat, salib dan patung dihilangkan dari gereja dan tidak sebatas diselubungi begitu saja, terutama setelah Kamis Putih. Penutup salib dan patung ini biasanya terbuat dari kain berwarna ungu muda tanpa hiasan apapun.

Kebiasaan menyelubungi gambar-gambar selama dua minggu terakhir masa Prapaskah berasal dari kalender liturgi sebelumnya saat Kisah Sengsara dibacakan pada hari Minggu Prapaskah Kelima, sehingga disebut “Minggu Sengsara”, serta pada Minggu Palma, Selasa dan Rabu tanggal Pekan Suci, dan Jumat Agung. Oleh karena itu, periode setelah Minggu Prapaskah Kelima disebut Masa Sengsara.

Tradisi ini sangat dianjurkan terkait “psikologi agama” di mana langkah ini membantu umat untuk berkonsentrasi pada hal-hal penting dalam karya Penebusan Kristus.

Tradisi ini sudah dimulai di Jerman sejak abad kesembilan. Saat itu, umat membentangkan kain besar di depan altar sejak awal masa Prapaskah.

Beberapa penulis mengatakan ada alasan praktis untuk praktik ini. Umat beriman yang buta huruf memerlukan cara untuk mengetahui, bahwa saat itu adalah Masa Prapaskah. (AES)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version