30.1 C
Jakarta
Friday, May 3, 2024

Disalib Terbalik, Martir Nagasaki

BERITA LAIN

More
    Lukisan 16 martir Jepang. IST

    Pada 10 November 1634, sebuah tiang gantungan telah tersedia di Nagasaki, Jepang. Ketika hari belum beranjak siang, , dengan digantung sampai mati dari papan dengan kepala terkubur di tanah. Pastor Giordano Ansalone digiring ke tempat eksekusinya. Hari itu, ia digantung terbalik dengan kepalanya dikubur di tanah. Selama tujuh hari, ia menjalani hukuman itu sampai kematiannya pada tanggal 17 November 1634.

    Kemartiran Pastor Ansalone menandai salah satu era penganiayaan umat Kristen di Jepang. Pada masa ini, tercatat ada 16 martir yang telah dinyatakan kudus oleh Gereja, Pastor Ansalone menjadi salah satunya. Imam dominikan ini meninggal di tiang gantungan demi imannya. Darah kemartirannya menjadi benih bagi bertumbuhnya iman Kristiani di Negeri Sakura. Pada tahun 1987, Pastor Anselmo dinyatakan menjadi santo oleh Paus Yohanes Paulus II, ia diperingati setiap 17 November.

    Santo Giordano Ansalone. IST

    Putra Sisilia

    Giordano Ansalone lahir pada tanggal 1 November 1598 di Santo Stefano Quisquina di Pulau Sisilia. Di masa kecilnya, ia dipanggil Giacinto, yang ia pertahankan hanya sampai usia 17 tahun. Ketika akhirnya masuk Biara Dominikan di Agrigento, ia mengubah namanya menjadi Frater Giordano.

    Frater Giordano memulai studinya di Palermo dan kemudian melanjutkannya di Spanyol, di Salamanca. Pada saat ini, ia sudah bercita-cita menjadi misionaris di Jepang. Setelah menyelesaikan studi filsafat dan teologi, ia ditahbiskan sebagai imam di Trujillo.

    “Saya bercita-cita menjadi misionaris, saya ingin mewartakan Injil di Timur Jauh,” begitu ia pernah menyatakan cita-citanya ini.

    Saat Pastor Giordano berusia 27 tahun, di masa awal imamatnya, ia berjalan kaki ke Sevilla, Spanyol dengan berjalan kaki. Pada tahun 1625, setelah mencapai Sevilla dengan berjalan kaki, dia berangkat misi menuju ke Benua Amerika. Setelah singgah sekitar satu tahun di Meksiko, ia melintasi Pasifik, pada musim panas 1626. Ia lalu tiba di Kepulauan Filipina.

    Di Filipina, pertama kali ia menghabiskan dua tahun di antara orang Filipina, di Cagayan, di utara pulau Luzon. Kemudian, ia tinggal selama empat tahun di antara orang Tionghoa di sebuah koloni di pinggiran Binondo, Manila. Saat inilah, ia mempelajari bahasa, adat istiadat orang Tionghoa secara menyeluruh. Dalam persinggungan ini, terbentuk inkulturasi dan dialog dengan orang yang tidak beriman.

    “Saya melihat, orang-orang Tionghoa adalah kumpulan yang terbuka pada iman Kristen. Mereka adalah anak-anak Tuhan yang juga rindu akan kasih-Nya,” begitu salah satu bunyi refleksinya.

    Kisah perjumpaan ini lalu ia tulis dalam sebuah buku, saying catatan ini hilang. Dari sisa-sisa catatannya, Pastor Giordano menceritakan kisahnya mengumpulkan kepercayaan agama utama dan gagasan filosofis orang Tionghoa. Ia mengaitkan nilai-nilai filosofis Tionghoa ini dengan data iman dan doktrin Katolik, untuk membuat perbandingan dan membuat upaya dialog di antara keduanya.

    Di sini, ia terutama merawat orang sakit, tetapi juga dengan sabar mencurahkan sebagian besar waktunya untuk belajar dan mendalami budaya mereka. Pastor Giordano berhasil memahami bahasa, adat istiadat, dan mentalitas orang Tionghoa dengan mendalam.

    Lukisan Imam Dominikan dalam Misi di Jepang. IST

    Berlayar ke Jepang

    Pada tahun 1630-an, penganiayaan sedang berkecamuk di Jepang. Di Jepang, agama Kristen, yang dibawa oleh St. Fransiskus Xaverus pada tahun 1549 telah memiliki hampir satu juta pengikut pada tahun 1600. Tapi perkembangan ini hanya mendandai bahwa Via Crucis ‘jalan salib’ bagi mereka telah dimulai. Atas perintah shogun, terjadilah penganiayaan bagi umat Kristiani. 

    Shogun awalnya adalah gelar yang menunjukkan posisi sementara namun kemudian, gelar ini menjadi turun-temurun dalam keluarga Tokugawa. Shogun pertama adalah Tokugawa Ieyasu (1546-1616). Ia awalnya menyukai perdagangan dengan Barat dan tidak melawan orang Kristen. Tetapi sebuah insiden mengubah semuanya, yang mendorong serius berlakunya kebijakan Sakoku. Kebijalan itu membawa Jepang menjadi negara tertutup untuk orang Barat dan di sinilah, orang Kristen mulai dianiaya, yang dipandang sebagai pihak yang telah terpapar doktrin musuh.

    Pada tahun 1597, 26 misionaris dan orang baru telah disalibkan di Nagasaki. Namun sejak 1616 penganiayaan menjadi umum, berlanjut juga di bawah dua penerus Ieyasu, Hidetada dan Iemitsu. Pengusiran misionaris, pembunuhan terhadap mereka yang tersisa dan juga orang Kristen Jepang meerenggut lebih dari 200 nyawa sampai tahun 1632.

    Pada titik ini tahun 1931, Pastor Giordano diutus untuk berlayar dan melanjutkan misinya di Jepang. Ia tahu apa yang menantinya, dan jelas, ia ingin menjadi peniru Kristus, sampai memberikan hidupnya.

    “Saya akan pergi ke Jepang,” tekat Pastor Giordano.

    Ia tiba di Nagasaki dengan menyamar sebagai pedagang, bersama tiga imam Dominikan lain. Pada pelayaran ini, mereka menyamar sebagai pedagang, untuk membawa bantuan dan penghiburan. Setibanya di Nagasaki, selama setahun, ia menjadi Vikaris Provinsi untuk misi ini.

    Pastor Giordano sempat menderita sakit parah saat berada di pulau Kyushu, namun, ia memohon perlindungan Perawan Maria untuk disembuhkan. Ia meminta berkat Bunda Maria, meminta kesembuhan agar tidak mati di tempat tidurnya sendiri. Ia bermimpi, darahnya akan memberi kesaksian bagi Jepang.

    Selama di Jepang, Pastor Giordano sempat berpindah ke beberapa tempat. Tugas misinya adalah mendampingi para umat Kristen yang teraniaya pada masa itu. Tugas utama Pastor Giordano adalah membesarkan hati, menyemangati, dan mendukung mereka yang teraniaya. Pastor Giordano sepenuhnya menyadari risiko yang dia hadapi. Baginya, mati syahid bukan hanya sebuah kemungkinan. Dari hari ke hari, karya misinya disadari justru mendekatkan dirinya pada kemartiran itu.

    Dia melanjutkan penginjilan rahasia di desa-desa, memberi keberanian kepada orang Kristen, tinggal di tempat persembunyian yang dilindungi oleh mereka. Namun, kegigihan dan seberapa keras rahasia penginjilan ini dilakukan, pemerintah akhirnya mengetahui sepak terjang Pastor Giordano. Pastor Giordano ditangkap pada tanggal 4 Agustus 1634. Ia ditangkap bersama Pastor Tommaso Nishi.

    Selanjutnya, ia menghadapi rangkaian siksaan dan intimidasi di hadapan para hakim. Ia tidak takut untuk mengakui bahwa dia datang ke tanah Jepang untuk menyebarkan kasih Kristus, kasih yang sampai ke salib. Kisaksian yang justru semakin memperberat siksaan dan hukumannya.

    Bagi Pastor Giordano, kesyahidan adalah suatu “kejadian”, karena hal itu benar-benar dipikirkan, diinginkan, dan dicari, dengan tujuan penyerahan diri secara total dan konfigurasi penuh kepada Yesus. Sebelum hukuman mati, ada bulan-bulan siksaan.

    Pastor Giordano menghadapi siksaan ini bersama Pastor Tommaso. Pada tanggal 10 November 1934 ia dihadapkan di tiang gantungan. Ia dihukum mati atas perintah Panglima Tertinggi Tokugawa Yemitsu.Mereka digantung dengan kepala dikubur ke tanah. Setelah tujuh hari menderita, Pastor Giordano wafat sebagai martir.

    Tanggal perayaannya adalah 17 November sedangkan di Sisilia diperingati pada 19 November. Pastor Giordano dibeatifikasi pada 18 Februari 1981, Rizal Park, Manila, Filipina oleh Paus Yohanes Paulus II. Ia lalu dikanonisasi pada 18 Oktober 1987, Lapangan Santo Petrus, Vatikan juga oleh Paus Yohanes Paulus II. Pesta Santo Giordano Ansalone diperingati setiap 17 November. (Antonius E. Sugiyanto)

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI