Home BERITA TERKINI Mengenal Yves Congar, Imam Dominikan, Teolog, dan Tentara Berpangkat Letnan

Mengenal Yves Congar, Imam Dominikan, Teolog, dan Tentara Berpangkat Letnan

0
Pastor Yves Marie-Joseph Congar OP di ruang kerjanya. IST

PARIS, Pena Katolik – Salah satu buku yang paling menarik secara teologis dan menghibur adalah My Journal of the Council karya Pastor Yves Marie-Joseph Congar OP. Umat ​​​​Katolik zaman ini mungkin tidak mengenal nama Yves Congar, apalagi di Indonesia. Namun, para imam atau sebagian umat mungkin mengetahuinya.

Karena itu, sebagian besar umat Katolik di mungkin sama sekali tidak menyadari kontribusi besar yang diberikan oleh Congar. Ia adalah satu dari beberapa teolog Katolik terpenting dari abad kedua puluh. Hal ini terutama karena perannya semasa Konsili Vatikan II.

Setelah karier intelektual yang penuh gejolak, di mana dia, secara bergantian, dianggap penting, difitnah, diasingkan dan dibungkam, Congar mendapati dirinya, pada usia 58 tahun, seorang peritus, atau ahli teologi di Konsili Vatikan II. Dalam banyak hal, dia terbukti sebagai teolog paling berpengaruh pada pertemuan itu. Sebagai Imam Dominikan, ia memberikan kontribusi yang luar biasa pada dokumen-dokumen Gereja, ekumenisme, Wahyu, dan tentang hubungan Gereja dengan dunia modern.

Masa Kecil

Congar lahir di Sedan di timur laut Prancis pada tahun 1904. Ayahnya Georges Congar adalah seorang manajer bank. Kampung halaman Congar diduduki oleh Jerman selama sebagian besar Perang Dunia I, dan ayahnya termasuk di antara orang-orang yang dideportasi oleh Jerman ke Lituania. Atas desakan ibunya, Lucie Congar née Desoye (dipanggil “Tere” oleh Yves sepanjang hidupnya), Congar mencatat pendudukan tersebut dalam serangkaian ekstensif buku harian bergambar yang kemudian diterbitkan.

Panggilan Congar untuk menjadi imam terutama berkat inspirasi dari Pastor Daniel Lallement yang saat itu melayani di Paroki di kampong halaman Congar. Ia lalu masuk seminari di Keuskupan Sedan. Ia pindah ke Paris pada tahun 1921 untuk belajar filsafat di mana salah satu dosennya adalah Jacques Maritain. Ia juga dekat dengan teolog Dominika, Pastor Reginald Garrigou-Lagrange OP.

Setelah satu tahun wajib militer (1924–1925), yang dihabiskan Congar di Rhineland, pada tahun 1925 dia bergabung dengan Ordo Dominikan di Amiens. Ia lalu menambahkan Marie-Joseph pada namanya. Pastor Congar ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 25 Juli 1930 oleh Mgr. Luigi Maglione, Nunsius Apostolik Paris. Secara keseluruhan, ia belajar teologi dari 1926 hingga 1931 di Le Saulchoir, Kain-la-Tombe, Belgia. Ia berfokus pada teologi sejarah. Pada tahun 1931 Pastor Congar mempertahankan disertasi doktoralnya yang ditulis di Le Saulchoir, tentang kesatuan Gereja.

Pastor Congar adalah anggota fakultas (pengajar) di Le Saulchoir dari tahun 1931 hingga 1939, pindah bersama Institution pada tahun 1937 dari Kain-la-Tombe ke Étiolles dekat Paris. Pada tahun 1932 ia memulai karir mengajarnya sebagai Profesor Teologi Fundamental, memberikan kursus tentang eklesiologi.

Pandangan teologi Pastor Congar dipengaruhi oleh Imam Dominikan, Pastor Ambroise Gardeil OP dan Pastor Marie-Dominique Chenu OP. Ia juga membaca tulisan-tulisan Pastor Johann Adam Möhler, seorang teolog Jerman selain membangun dialog ekumenis dengan teolog Protestan dan Ortodoks Timur. Pastor Congar menyimpulkan bahwa misi gereja terhalang oleh apa yang dia dan Chenu sebut sebagai “teologi barok”.

Pada tahun 1937 Congar mendirikan seri Unam Sanctam, membahas tema sejarah dalam eklesiologi Katolik. Buku-buku ini menyerukan “kembali ke sumber” untuk menetapkan dasar teologis bagi ekumenisme, dan seri ini akhirnya mencapai 77 jilid. Dia menulis untuk berbagai jurnal ilmiah dan populer, dan menerbitkan banyak buku.

Setelah menjadi imam, selama Perang Dunia II, Pastor Congar direkrut menjadi tentara Prancis sebagai imam di kesatuan militer. Saat itu, ia mendapat pangkat Letnan. Dia ditangkap dan ditahan dari tahun 1940 hingga 1945 sebagai tawanan perang oleh tentara Jerman di Colditz dan Oflag Lübeck. Selama penahanan ini, ia berulang kali mencoba melarikan diri namun gagal.

Setelah Perang Usai Dibatasi Vatikan

Setelah perang usai, Pastor Congar diangkat menjadi Ksatria (Chevalier) dari Legiun Kehormatan Prancis, dan dianugerahi Croix de Guerre. Selain itu dia dianugerahi Médaille des Évadés untuk banyak upaya melarikan diri.

Setelah itu, Pastor Congar melanjutkan mengajar di Le Saulchoir, yang telah dikembalikan ke Prancis. Ia juga mulai menulis banyak karya tentang teologi. Di sinilah, ia pelan-pelan menjadi salah satu teolog paling berpengaruh di abad ke-20, terutama untuk tema Gereja Katolik dan ekumenisme.

Congar adalah penganjur awal gerakan ekumenis, mendorong keterbukaan terhadap ide-ide yang berasal dari Gereja Ortodoks Timur dan Kristen Protestan. Dia telah mempromosikan konsep kepausan “kolegial” dan mengkritik Kuria Romawi, ultramontanisme, dan kemegahan klerus yang dia amati di Vatikan. Dia juga mempromosikan peran umat awam di gereja. Congar bekerja sama dengan pendiri Pekerja Kristen Muda, Joseph Cardijn, selama beberapa dekade.

Namun, pemikiran teologi Pastor Congar tidak seluruhnya mendapat angina segar dari Vatikan. Hal ini terjadi terutama pasca Perang Dunia II. Pada masa itu, Vatikan telah berada pada “persimpangan” di mana sejarah pemikiran teologi yang menginginkan pembaruan dalam Gereja mulai berkembang.

Alhasil, dari tahun 1947 hingga 1956 beberapa tulisan Pastor Congar dinilai kontroversial dibatasi oleh Vatikan. Salah satu bukunya yang paling penting, True and False Reform in the Church (1950) dan semua terjemahannya dilarang oleh Roma pada tahun 1952. Saat itupada tahun 1954, Vatikan melarang Pastor Congar untuk mengajar do Akademi dan Universitas Kepausan atau menerbitkan buku apapun. Larangan ini berlangsung selama masa kepausan Paus Pius XII. Larangan ini terutama setelah Pastor Congar menulis sebuah artikel yang mendukung gerakan “pendeta-pekerja” di Prancis. Pada masa ini, ia ditugaskan di beberapa tempat di Yerusalem, Roma, Cambridge dan Strasbourg. Akhirnya, pada tahun 1956, Uskup Agung Jean Julien Weber dari Strasbourg membantu Congar kembali ke Prancis.

Titik Balik Vatikan II

Reputasi Pastor Congar pulih pada tahun 1960 ketika Paus Yohanes XXIII mengundangnya untuk melayani di komisi teologis untuk persiapan Konsili Vatikan II. Meskipun Pastor Congar memiliki sedikit pengaruh pada skema persiapan, seiring kemajuan konsili, keahliannya diakui dan beberapa orang akan menganggapnya sebagai satu-satunya pengaruh paling formatif di Konsili Vatikan II.

Saat itu, Pastor Congar adalah anggota dari beberapa komite yang menyusun teks konsili, sebuah pengalaman yang dia dokumentasikan dengan sangat rinci dalam jurnal hariannya. Jurnal ini diperpanjang dari pertengahan 1960 hingga Desember 1965. Namun mengikuti arahannya, jurnal ini tidak dirilis untuk public hingga tahun 2000. Jurnal Pastor Congar ini baru pertama kali diterbitkan pada tahun 2002 dengan judul Mon Journal du Concile I-II, présenté et annoté par Éric Mahieu (dua volume). Terjemahan bahasa Inggris untuk satu jilid pertama muncul pada tahun 2012.

Pastor Congar juga menulis buku harian selama tahun-tahun bermasalahnya dengan Vatikan. Jurnal ini diterbitkan dengan judul Journal d’un theologien 1946-1956, édité et presenté par Étienne Fouillou. Terjemahan bahasa Inggris muncul pada tahun 2015; di mana sebelumnya sudah terlebih dulu diterjemahkan dalam Spanyol.

Pastor Yves Marie-Joseph Congar OP dan Pastor Josep Ratzinger. IST

Konsili Vatikan II

Selama seluruh Konsili, dari Oktober 1962 hingga Desember 1965, jurnal yang dibuat dengan cermat oleh Pastor Congar tentang proses Konsili ini, yang tidak hanya mencakup laporan terperinci tentang intervensi oleh berbagai uskup dan Kardina. Pada jurnal, beberapa kali Pastor Congar membuat penilaian tajam terhadap beberapa “pemain”, yaitu para peserta Konsili yang ia sebut sebagai “membosankan”, “tidak berguna”, dan “terlalu banyak bicara”.

Namun, pemikiran Pastor Congar dalam jurnalnya diakui menuntun para peserta untuk kembali pada ide pembaruan Gereja, sebagian yang lain mengakui bahwa ide pembaruan Pastor Congar memang sudah saatnya diterima dan diperlukan oleh Gereja di zaman ini. Untuk itu, jurnal ini  benar-benar menggambarkan “semangat Konsili”, di mana ide-ide, debat, dan teks-teks Vatikan II, dan sikap-sikap penting selama diskusi diungkapkan dengan gamblang.

Berkali-kali di halaman-halaman jurnal Pastor Congar, ia memimpikan sebuah Gereja yang harus lebih evangelis dan terbuka terhadap Sabda Allah, tentang bahaya kemenangan klerikal, tentang panggilan universal menuju kekudusan, tentang liturgi yang membangkitkan partisipasi aktif, tentang umat beriman, tentang perlunya gereja melibatkan dunia modern, dll.

Pastor Congar tanpa lelah menyebarkan ide-ide ini, yang sekarang kita anggap sebagai hal biasa dan pencapaian permanen Vatikan II. Pastor Congar menghadiri pertemuan demi pertemuan dan terlibat dalam percakapan tanpa henti dengan para uskup dan teolog.

Saat Congar memimpin tugas ini, lawan utamanya adalah Mgr. Pericle Felice (Sekjen Tim Kerja Konsili Vatikan II) dan Kardinal Alfredo Ottaviani, keduanya dikenal sebagai penjaga bentuk skolastik Katolik tradisional. Di sisi lain, sekutu utamanya Pastor Congar adalah para bapa dewan “progresif” Uskup Agung Cologne, Kardinal Frings dan tentu Uskup Agung Krakow, Kardinal Wojtyla

Teolog lain yang sepemikiran dengan Pastor Congar adalah Pastor Karl Rahner SJ, Pastor Edward Schillebeeckx OP, Pastor Henri de Lubac SJ, Pastor Hans Kung, dan seorang teolog muda Jerman Pastor Joseph Ratzinger. Dalam halaman-halaman jurnal Pastor Congar, semua tokoh ini dan waktu yang sangat memabukkan itu menjadi hidup dengan cukup jelas.

Kardinal Wojtyla, yang kemudian menjadi Paus Yohanes Paulus II kemudian menganugerahi Pastor Congar gelar Kardinal para Konsistori 26 Novermbr 1994. Selain itu, Paus yang sama menunjuk Joseph Ratzinger (kemudian menjadi Paus Benediktus XVI) sebagai kepala petugas doktrinalnya. Dalam kelompok itu, Yohanes Paulus II juga mengangkat Pastor de Lubac sebagai Kardinal.

Setelah konsili, Pastor Congar mengatakan “menghormati banyak pertanyaan, konsili tetap tidak lengkap. Dengan pernyataan itu, Gereja memulai pekerjaan yang belum selesai, apakah itu masalah kolegialitas, peran kaum awam, misi dan bahkan ekumenisme. Selanjutnya, karya Pastor Congar semakin berfokus pada teologi Roh Kudus, dan karyanya yang terdiri dari tiga volume tentang Roh yang kini telah menjadi karya klasik. Ia juga anggota Komisi Teologi Internasional dari tahun 1969 hingga 1985.

Akhir Ziarah

Congar terus memberi kuliah dan menulis, menerbitkan karya tentang berbagai topik termasuk Maria, Ekaristi, pelayanan awam dan Roh Kudus, serta buku hariannya. Karya-karyanya antara lain The Meaning of Tradition dan After Nine Hundred Years yang membahas Perpecahan Timur-Barat.

Pada tahun 1963, Congar didiagnosis dengan “penyakit difus pada sistem saraf” yang menyebabkan kelemahan dan mati rasa pada ekstremitasnya. Pada tahun 1985, diagnosis diubah menjadi bentuk sklerosis yang semakin memengaruhi mobilitas dan kemampuan menulisnya, dan mempersulit penelitian ilmiahnya.

Pastor Congar wafat pada 22 Juni 1995 setahun setelah ia diangkat kardinal. Ia dimakamkan di Pemakaman Montparnasse Perancis. (AES)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version