Pena Katolik- Pada bulan ini, dari 13 Juni hingga 30 Juli 2023, para Frater Ketapang diizinkan untuk liburan. Liburan yang dilaksanakan tersebut bertepatan dengan liburan kampus dan Seminari Tinggi. Selain itu, liburan tersebut dapat terjadi hanya 2 tahun sekali bagi tingkat dua yang naik ke tingkat tiga dan para Frater TOP (Tahun Orientasi Pastoral) yang telah menyelesaikan skripsi. Maka dari itu, ini merupakan kesempatan yang baik bagi para Frater untuk berjumpa dengan keluarga. Meskipun demikian, para Frater tidak hanya sekedar berlibur saja. Uskup Ketapang, Mgr. Pius Riana Prapdi telah memberikan agenda liburan untuk mengenal situasi Keuskupan Ketapang. Di awal liburan, kami berjumpa dengan keluarga terlebih dahulu. Barulah di pertengahan Juli, kami diutus ke Paroki-paroki untuk melaksanakan tugas selama liburan di sana. Setelah melaksanakan liburan di Paroki, kami melakukan wawanhati bersama Uskup Ketapang.
Jumat, 30 Juni 2023 merupakan agenda pembekalan bagi para Frater Ketapang yang akan berlibur. Pembekalan tersebut berupa analisis data tentang keadaan umat Keuskupan Ketapang yang memerlukan pelayanan lebih lanjut. Materi tersebut diberikan oleh RD Simon Anjar Yogatama, Sekretaris Keuskupan Ketapang sebagai bentuk perhatian kepada Para Frater untuk dibekali pengetahuan-pengetahuan penting serta tantangan-tantangan yang harus disikapi ketika berada di lapangan nanti. Selain itu, materi juga diberikan oleh RD Yosef Kaju selaku Formator Seminari Menengah St. Laurensius Ketapang yang memaparkan situasi Seminari Menengah serta wejangan-wejangan yang diberikan terkait anggota-anggota Seminari Menengah yang mengalami peningkatan terutama paroki-paroki yang sebelumnya tidak pernah mengirimkan calon-calon seminaris. Hal-hal tersebut tentu saja memberikan semangat bagi kami sehingga kami memiliki gambaran ke depan tentang Keuskupan Ketapang. Senada dengan itu, Romo Simon juga mengatakan bahwa diadakannya pembekalan ini agar para Frater ketika pulang kembali untuk studi ke Malang dapat memikirkan Keuskupan Ketapang dan umat yang dilayani.
Pada 30 Juni-02 Juli 2023, kami diminta untuk mengikuti kegiatan KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender) yang diadakan oleh Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP) Keuskupan Ketapang. Hanya saja, kami belum bisa mengikuti misa pembukaan sosialisasi pada tanggal 30 Juni karena bertepatan dengan Misa Perutusan yang diadakan di Seminari Menengah Santo Laurensius Ketapang. Maka pada 1 Juli 2023, kami memasuki kegiatan inti bersama ibu-ibu yang diutus masing-masing Regio untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Sejarah Lahirnya SGPP KWI
Pertama dimulai dari kegiatan seminar nasional pada 17-22 April 1995 yang diadakan oleh LPPS-KWI. Tema yang diusung adalah “Perempuan dan Pembangunan” sehingga muncul sebuah kesepakatan untuk membentuk Jaringan Kemitraan Untuk Kepedulian Masalah Perempuan. Pada Oktober 1995, nama dipersingkat menjadj JMP. Pada 9 Desember 1995, diadakan peresmian pembukaan Sekretariat JMP oleh Ketua BP LPPS-KWI.
Kelahiran JMP tidak melulu karena jeritan kaum perempuan untuk dibebaskan, namun oleh karena perintah Injil agar kaum perempuan dan laki-laki diakui dan dipulihkan martabatnya sehingga mereka mampu berelasi sebagai citra Allah yang setara. Selanjutnya diadakan Musyawarah Nasional Pertama pada 22 Juni 2000, memo dari LPPS-KWI pada Munas tersebut adalah agar JMP Mandiri. Selanjutnya dalam siding KWI 23-26 April 2002, JMP masuk ke dalam lingkungan KWI menjadi Sekretariat JMP KWI. Barulah pada siding KWI pada 6-16 November 2006, disetujui perubahan nama dari Sekretariat JMP KWI menjadi “Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan” (SGPP KWI).
Materi-Materi Sosialisasi
Materi-materi yang diberikan membahas tentang bentuk-bentuk ketidakadilan Gender seperti peminggiran/marjinalisasi, penomorduaan/subordinasi, cap negatif/ pelabelan, peran ganda dan tindak kekerasan. Selanjutnya materi mengenai tema yang berjudul “Membangun Sinergi Mewujudkan Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan” yang dibawakan oleh Sr. Stefani Rengkuan, SJMJ. Materi tersebut berisi tentang upaya Gereja Katolik dalam masyarakat yang menekankan keluhuran martabat manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Suster Stefani juga menjelaskan bagaimana sikap Gereja dalam masalah KKG melalui Surat Apostolik Yohanes Paulus II Mulleris Dignitatem (Martabat Kaum Perempuan) di mana kaum perempuan harus memiliki pengaruh, hasil dan kuasa untuk menolong manusia agar tidak jatuh.
Pada tahun 2004, dijelaskan lebih lanjut oleh Suster Stefani, KWI menyikapi permasalahan Gender ini dengan mengeluarkan Surat Gembala yang berjudul “Keseteraan Perempuan dan Laki-laki sebagai Citra Allah sehingga Gereja belajar mendengarkan pengalaman perempuan dengan kesungguhan hati, menyebarluaskan tentang pemahaman dan penyadaran tentang kesetaraan antara laki-laki dan permpuan dalam keluarga, masyarakat dan Gereja, mengajak para perempuan untuk mau mengungkapkan secara terbuka pengalaman-pengalamannya, terlebih menyangkut diskriminasi, pelecehan dan kekerasan. Gereja juga mendukung berbagai upaya membangun solidaritas untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Gereja mendukung semua Gerakan untuk menghapus berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan khususnya KDRT. Gereja juga ikut serta dalam usaha memfasilitasi penyediaan rumah aman bagi perempuan dan anak-anak korban kekerasan tanpa memandang agama, suku, dan aliran politik yang dianut.
Selain itu, materi juga disampaikan oleh Ibu Intarti, SE, Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlidnungan Anak, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana. Ibu Intarti menjelaskan permasalah melalui data dinas tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Kabupaten Ketapang tahun 2022. Kasus-kasus tersebut antara lain kekerasan fisik 24 kasus, kekerasan psikis 16 kasus, kekerasan seksual 41 kasus, eksploitasi/trafficking 1 kasus, penelantaran 32 kasus dan lainnya ada 3 kasus. Sementar jumlah kekerasan berdasarkan tempat kejadian di tahun yang sama terjadi di rumah tangga sebanyak 76 kasus, tempat kerja 1 kasus, sekolah 2 kasus, fasilitas umum 8 kasus dan lainnya sebanyak 15 kasus.
Tidak hanya mengenai Gender, materi yang disampaikan juga berkaitan dengan Rencana Aksi Kabupaten Ketapang dalam Program Percepatan Penurunan Stunting yang disampaikan oleh Abdurani, S.Pd., M.Pd., Kabid Pengandalaian Penduduk dan Keluarga Berencana Dinas Sosial P3A dan KB Kabupaten Ketapang. Isu ini begitu penting karena berkaitan dengan gizi dan status kesehatan. Pak Abdurani juga membahas bagaimana menanggulangi Stunting di Kabupaten Ketapang melalui pembentukan Kader Tim Pendamping Keluarga (TPK) dengan kegiatan meliputi penyuluhan, memfasilitasi pelayanan rujukan dan akses informasi bagi keluarga yang berisiko stunting.
Selanjutnya materi tentang Gender dipertegas oleh Ibu Norberta Yati Lantok. Peserta diajak untuk berdiskusi bersama dan mengenal lebih jauh perbedaan Gender antara laki-laki dan perempuan. Di akhir sesi ini, peserta juga dibagi ke dalam kelompok masing-masing Regio untuk membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL) pribadi da keluarga, dan RTL Bersama dalam selembar kertas A3. Esok paginya, beberapa RTL dari kelompok-kelompok tersebut direkap dalam program kerja SGPP Keuskupan Ketapang.
Sesi terakhir pada 2 Juli 2023, RD Mardianus Indra, Direktur PSE Caritas Keuskupan Ketapang juga memberikan materi yang sangat penting mengenai perubahan iklim dan global warming. Dampak dari perubahan iklim menyebabkan bencana alam di mana-mana. Kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya masih kurang dan tanpa rasa bersalah masih mencemari sungai-sungai dengan sampah.
Romo Indra menyebutkan bahwa daerah-daerah yang sebelumnya tidak terdampak banjir, kini mulai mengalami banjir besar. Namun demikian, ada sebuah peristiwa di mana salah satu wilayah Ketapang terdampak banjir, muncullah kepedulian para perempuan dalam tanggap akan bencana melalui pembagian nasi kotak dengan biaya pribadi merupakan bentuk kasih dan kepekaan dari seorang ibu. Peran dari perempuan dalam penanganan bencana merupakan suatu rahmat yang berisi kasih yang tak terbatas ibarat Kerahiman yang dimiliki Allah dan Rahim itu hanya dimiliki dari sosok perempuan.
Kegiatan ini sungguh berkesan dan membawa peneguhan bagi penulis secara pribadi. Karena hidup di tengah-tengah saudari perempuan, dalam keluarga tidak ada yang rendah, tidak ada pula yang tinggi. Oleh karena itu, pembiasaan untuk bersikap mengalah kepada perempuan sudah dibina sejak kecil di dalam keluarga. Selanjutnya pembiasaan baik ini diteruskan ke lingkungan sekolah dan masyarakat luas. Pembedaan Gender bisa jadi dimulai dari keluarga di mana terjadi ketidakadilan dalam memperlakukan anggota yang laki-laki dan yang perempuan. Jika dalam keluarga diajarkan untuk bahu membahu, tolong menolong, saling menyayangi dan saling pengertian, niscaya kasus-kasus KKG di atas jarang sekali terdengar.
Dalam proses formatio, saya merefleksikan bahwa kaum perempuan sangat membantu dan bahkan sangat aktif dalam berbagai bidang seperti organisasi di tingkat stasi, paroki, hingga tingkat keuskupan. Sehingga peremuan bukanlah penghalang di dalam panggilan, melainkan partner yang baik di dalam Gereja. Perempuan memiliki peran sebagai penolong bagi laki-laki, namun tak menampik kemungkinan, laki-laki juga menjadi penolong bagi perempuan karena kesetaraan Gender. Maka dari itu, kesetaraan Gender perlu digaungkan untuk kehidupan perempuan-perempuan Indonesia yang lebih baik.
Penulis: Fr. Fransesco Agnes Ranubaya
Dokumentasi: Aprilina Isabela Maharani