Home OPINI Cinta yang Memberi dan Menerima

Cinta yang Memberi dan Menerima

0
Paus Fransiskus mengundang anak anak untuk naik ke Pope Mobile saat audiensi di Lapangan St Petrus Vatikan. Pena Katolik.

Gerakan-gerakan ekspresi, sentakan dan reaksi vokal yang halus bisa menuai tanggapan yang serupa. Gerakan ekspresive dengan tindakan memberi yang disertakan vokal dan sentuhan lembut umumnya selalu menuai tanggapan yang dramatis (minimal: orang yang menerima merasa nyaman). “Memberi” merupakan salah satu tindakan ekspresi lahiriah yang memiliki makna mendalam. Terminologi arti dari memberi selalu berhubungan dengan “hadiah”, “anugerah”,”pahala”, “berkat” yang selalu ada dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Ekspresi lahiriah dari tindakan dari cinta bisa berbentuk memberi atau menerima, bahkan saat orang (si A) memberi disitu ia (si A) sekaligus menerima. Contoh yang lebih sederhana, misalnya orang yang berkecukupan (katakanlah orang kaya) ingin memberi sesuatu kepada orang miskin (orang yang tak mampu membalas kebaikannya secara material), maka tindakan orang kaya yang memberi materi kepada si miskin – jika dilihat dari kacamata rohani- sikap yang dilakukan oleh si A dengan sendirinya ia mendapatkan kepuasan batiniah yang ‘tak lagi dapat ia ukur dengan material’ saat ia melakukan pemberian kepada si B.

Begitu juga dari sisi si miskin (si B) selain ia menerima material, ia juga tanpa sadar ‘memberi’-kan ruang untuk orang lain dalam melakukan tindakan ‘memberi’. Coba bayangkan misalnya si miskin tidak memberikan ruang pada si kaya untuk menerima pemberiannya, pastinya si kaya akan merasa dirugikan secara perasaan dan kepuasan.

Artinya, memberi dan menerima semata-mata bukan sebatas material saja- pemberian dan penerimaan selalu menggandeng unsur lain yaitu sisi psikologis yang mencangkup kepuasan, ketenagan, keamanan, kenyamanan bahkan jika meminjam istilah filsafat – terminologi memberi dan menerima selalu bergandengan dengan aktivitas transendental. Dimana seseorang (baik penerima maupun yang memberi) mampu untuk mentransendensikan dirinya agar mampu memberi dan menerima- dari orang yang bukan ‘se-darah’ bahkan mereka yang tidak pernah bertemu sama sekali.

Bagaimana jika bicara tentang Cinta yang memberi? Kerapkali orang berpikir bahwa cinta itu membebaskan. Namun sayang, ternyata cinta selain membebaskan ia juga dengan sendirinya mengikat manusia. Contoh yang sederhana, bagaimana mungkin seseorang (A) bisa memberi sesuatu kepada saudaranya (B) yang berkekurangan, sedangkan ia juga bernasib sama dengan orang tersebut? Sisi pertama, logisnya posisi A harus mendahulukan akan mencukupkan kebutuhan dirinya barulah bisa  menolong saudaranya B. Tapi sisi kedua, dilihat dari segi kemanusiaan, mungkin bisa saja ia menolak untuk menahan diri agar tidak memberi, tapi saat ia memutuskan untuk tidak menolong saudaranya B, disitu ia (A) akan menderita karena membiarkan saudaranya sengsara. Dilema bukan?

Sikap kebebasan

Ya, begitulah Cinta, – Cinta itu memberi dan menerima oleh karenanya Cinta yang sejati membawa orang terbang pada kontemplasi kebenaran. Cinta harusnya didasarkan pada ‘sikap kebebasan’- bukan pada ‘sifat membebaskan maupun mengikat’, artinya semakin manusia mengerti bahwa cinta bicara tentang sikap kebebasan, maka disitu manusia lebih menyadari akan pilihannya untuk ‘melakukan tindakan cinta yang memberi dan menerima’. Sebab sikap yang sadar akan makna dari Cinta, maka orang tidak lagi berada dalam ‘keterbatasan’ diri.

Di Angelus pada hari Minggu 26 Juni 2022, Paus Fransiskus memanggil umat beriman untuk mengikuti Yesus dan tidak menanggapi oposisi dengan kemarahan dan kepahitan, tetapi malah membuat “keputusan tegas” yaitu melanjutkan ke Yerusalem, mengetahui bahwa penolakan dan kematian menunggu-Nya di sana.

Bagi Paus Keputusan Yesus untuk pergi ke Yerusalem adalah titik balik, karena Dia tahu itu berarti menghadapi penolakan, penderitaan, dan kematian. Paus menunjukkan bahwa kita juga dipanggil untuk membuat keputusan tegas untuk hidup kita “jika kita ingin menjadi murid Yesus.” Dalam pembacaan Injil hari itu, St Yakobus dan Yohanes bertanya kepada Yesus apakah mereka harus menurunkan api surgawi ke kota Samaria yang menolak Yesus. Tuhan menolak saran mereka dan menegur para murid, “karena ‘api’ yang dibawa Yesus ke bumi adalah kasih Bapa yang penuh belas kasihan.”

Paus Fransiskus kembali menjelaskan bahwa—seperti Yakobus dan Yohanes, yang “membiarkan diri mereka dikuasai amarah”—kita dapat menjadi marah bahkan ketika melakukan perbuatan baik jika segala sesuatunya tidak berjalan sesuai rencana kita. Yesus, sebaliknya, mengambil jalan yang berbeda, kata Paus, “yaitu keputusan tegas yang, jauh dari menerjemahkan ke dalam kekerasan, menyiratkan ketenangan, kesabaran, kesabaran, tidak mengendur sedikit pun dalam berbuat baik.”

Bapa Suci bahkan bersikeras ketika manusia menghadapi pertentangan, justru Bapa Paus mengingatkan umatnya untuk menjadi seperti Yesus. Artinya “beralih untuk berbuat baik di tempat lain, tanpa saling menyalahkan.”

Menurut Paus Fransiskus, terkadang manusia berpikir bahwa semangatnya adalah karena rasa keadilan untuk tujuan yang baik. Namun pada kenyataannya, sebagian besar di waktu yang sama itu tidak lain adalah kesombongan yang telah bersatu dengan kelemahan, ketidak-pekaan, dan ketidaksabaran.”

Teladan Yesus mengundang manusia untuk memohon kekuatan dari-Nya agar bisa menjadi seperti Dia. Dengan kata lain bahwa mengikuti Yesus dengan keputusan tegas untuk mengambil sikap yang tidak dendam dan toleran ketika kesulitan muncul. Karena Cinta melampaui segala kesulitan. Semoga. (Samuel/Pena Katolik)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version