26.3 C
Jakarta
Thursday, April 25, 2024

Wanita di Seluruh Dunia Menghadapi Penganiayaan Berlatar Agama

BERITA LAIN

More
    IRF Summit 2022 di Washington DC Amerika Serikat. IST

    WASHINGTON, Pena Katolik – Wanita beragama di seluruh dunia mengalami bentuk kekerasan dan penganiayaan karena jenis kelamin mereka. Kekerasan ini dialami karena kerentanan agama atau kepercayaan mereka, di samping itu juga kerentanan karena jenis kelamin mereka.

    “Ketika kita berbicara tentang penganiayaan terhadap perempuan dan anak perempuan minoritas agama, kita selalu berbicara tentang kerentanan ganda,” ujar Ewelina U. Ochab, seorang pengacara hak asasi manusia.

    Ochab, bersama dengan para pembela hak asasi manusia lainnya, berbicara dalam KTT Kebebasan Beragama Internasional yang diadakan di Washington, D.C., 28-30 Juni 2022. Perempuan-perempuan ini, hanya karena mereka perempuan, menghadapi kengerian dari pemerkosaan dan pernikahan paksa hingga pengendalian kelahiran paksa dan sterilisasi. Jenis penganiayaan ini bukanlah produk dari masa lalu; melainkan sedang berlangsung.

    Pada KTT IRF, para advokat berfokus pada contoh zaman modern: wanita Kristen di Nigeria; Rohingya, minoritas Muslim di Burma (juga dikenal sebagai Myanmar); Syiah Hazaras, minoritas etnis-agama di Afghanistan; Uyghur, minoritas etnis mayoritas Muslim di Cina; dan Yazidi, minoritas etnis-agama di Irak. Beberapa juga menunjuk pada penderitaan perempuan dan anak perempuan di negara-negara seperti Pakistan dan Ukraina.

    David Alton, seorang anggota parlemen Inggris, pembela hak asasi manusia, dan Katolik seumur hidup, membandingkan para wanita ini dengan mereka yang “di kaki salib” yang menolak untuk melarikan diri. Banyak dari advokat ini meminta bantuan bagi para wanita yang disiksa ini, sementara, pada saat yang sama, mendesak agar para pelaku harus bertanggung jawab untuk mencegah kekejaman di masa depan.

    Penganiayaan ‘diabaikan’

    “Secara umum, ketika kita berbicara tentang jenis gender dan genosida, kita cenderung meremehkan atau mengabaikan pengalaman perempuan dan anak perempuan,” kata Naomi Kikoler, direktur Pusat Pencegahan Genosida Simon-Skjodt.

    Anak perempuan mengalami penganiayaan “dengan cara yang sangat akut. Sebagai contoh, dia menunjuk perempuan Yazidi yang menderita kekerasan seksual yang dilakukan oleh di Negara Islam. Para pelaku ini “secara sengaja menargetkan perempuan untuk tindakan kekerasan ini.

    “Mereka mencoba untuk mengubah susunan komunitas tersebut di masa depan. Mereka berusaha memastikan bahwa anak-anak Yazidi di masa depan bukan lagi Yazidi, tetapi mereka akan berbeda keyakinan.”

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI