Bacaan I: Yak. 5:9-12
Mzm: 103:1-2.3-4.8-9.11-12
Bacaan Injil: Mrk. 10:1-12
PADA suatu hari Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang Sungai Yordan. Di situ orang banyak datang mengerumuni Dia, dan seperti biasa Yesus mengajar mereka. Maka datanglah orang-orang Farisi hendak mencobai Yesus. Mereka bertanya, “Bolehkah seorang suami menceraikan isterinya?” Tetapi Yesus menjawab kepada mereka, “Apa perintah Musa kepadamu?” Mereka menjawab, “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Lalu Yesus berkata kepada mereka, “Karena ketegaran hatimulah Musa menulis perintah untukmu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka pria dan wanita; karena itu pria meninggalkan ibu bapanya dan bersatu dengan isterinya.
Keduanya lalu menjadi satu daging. Mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia.” Setelah mereka tiba di rumah, Para murid bertanya pula tentang hal itu kepada Yesus. Lalu Yesus berkata kepada mereka, “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan wanita lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika isteri menceraikan suaminya lalu kawin dengan pria yang lain, ia berbuat zinah.”
Demikianlah Sabda Tuhan.
U. Terpujilah Kristus.
Mewujudkan Kesetiaan dan Komitmen Perkawinan
Tuhan Yesus bersama para murid-Nya sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem. Sepanjang perjalanan, Ia banyak berkarya dengan membuat mukjizat dan mengajar. Di mana-mana orang banyak datang mengerumuni Dia untuk mendengarkan pengajaran-Nya.
Sebagaimana mukjizat- Nya, ajaran Yesus penuh kuasa dan membuat para pendengar takjub. Mereka melihat kebenaran baru yang membuka mata iman. Mereka terpesona, juga pada ajaran-Nya yang berikut ini. – Apa yang kita alami bila mendengarkan ajaran Tuhan?
Orang-orang Farisi iri pada Yesus. Selama ini mereka merasa bahwa merekalah penguasa kebenaran. Kini mereka merasa terancam karena orang banyak berpaling pada Yesus sebagai Sumber Kebenaran Sejati. Orang Farisi terus mencari bukti bahwa Yesus merongrong Hukum Taurat, supaya ada alasan untuk menghukum Dia.
Dalam Bacaan Injil hari ini orang Farisi mencobai Yesus dengan pertanyaan: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” Sementara “Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai.” Yesus menjelaskan bahwa pernyataan Musa itu bukan perintah Taurat melainkan suatu kelonggaran yang diberikan “karena ketegaran hatimu” – supaya si istri tidak makin menderita. (Lih. Mrk. 10:2-5).
Kemudian Tuhan Yesus memberi jawaban langsung ke dasarnya. Ia menunjuk ”kisah penciptaan manusia pada awal dunia” sebagai ketetapan Allah mengenai hakikat perkawinan: “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.” (Bdk. Kej. 2:18,21-24). Ketetapan Allah itu mutlak, tidak bisa ditawar-tawar. “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Lih. Mrk. 10:6-9).
Kepada para murid-Nya Yesus menjelaskan: “Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.”
Begitulah Tuhan Yesus menegaskan kembali kehendak Allah mengenai hakikat perkawinan. Laki-laki dan perempuan, masing-masing sebagai “belahan jiwa”, menjalin komitmen satu terhadap yang lain secara tak terpisahkan.
Yesus menolak ”ketegaran hati” sebagai dasar untuk melegalkan perceraian. Pasutri tidak boleh memperlakukan pasangannya sebagai milik yang tidak bernilai lagi sehingga boleh dibuang. Keduanya dipanggil untuk hidup bersama dengan saling menghargai dan saling bergantung. Bersama-sama mengalami untung dan malang, di waktu sehat maupun sakit, itulah kebahagian sejati pasangan suami-istri.
Suami-istri Katolik dikenal sebagai pasangan yang “tidak boleh cerai”. Hal ini bukan pertama-tama didasarkan pada Hukum Gereja, yang sering dikritik sebagai sikap “legalistis dan kolot”, melainkan didasarkan pada hakikat perkawinan yang dikehendaki oleh Allah Sang Pecipta.
Yesus mengajarkan perkawinan yang ideal, sementara kita mungkin tidak bisa memenuhi taraf cinta kasih yang kita idamkan itu. Namun Tuhan selalu hadir penuh kasih di antara kedua pasangan, dengan segala kelemahan mereka. Yang diperlukan dari kedua pasangan adalah komitmen, saling meyerahkan diri, saling memaafkan, saling menerima, dan saling melengkapi.
Agar tumbuh dengan baik, komitmen ini perlu dibangun sejak perkenalan di masa pranikah – antara lain dengan mengikuti kursus persiapan perkawinan di Paroki. Selanjutnya, setelah hidup berkeluarga, tiap Pasutri dengan kesadaran penuh mesti terus mewujudkan komitmen itu dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya bukan hanya menjaga kesetiaan serta keutuhan perkawinan, tetapi secara positif mengekspresikan kasih sayang mereka dengan berbagai perbuatan nyata meski hanya dalam hal-hal kecil dan sederhana.
Dalam Bacaan Pertama, nasihat St. Yakobus untuk kehidupan Jemaat sangat sesuai untuk membina hubungan dalam keluarga, sebab keluarga adalah Gereja basis. Kita dinasihati agar jangan “bersungut-sungut” (banyak mengeluh), dan “saling mempersalahkan;” itu menandakan kurangnya cinta kasih. Hendaknya kita rela menderita dan sabar seperti para nabi, yang sering dianiaya karena mewartakan firman Allah. Hendaklah kita meneladan ketekunan Ayub, ketika segala-galanya direnggut darinya, tetapi ”kita tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya.” Akhirnya janganlah kita bersumpah demi Allah atau demi ciptaan-Nya, untuk hal-hal yang kurang penting. Kita tidak perlu bersumpah untuk menjamin kebenaran kata-kata kita. (lih. Yak. 5:9-10). Orang Kristiani itu hendaknya jujur dan transparan, bisa dipegang kata-katanya, terlebih di antara suami-istri.
Perkawinan Kristiani adalah sakramen cinta kasih. Artinya, kasih yang kita terima dari Allah kita realisasikan dalam keluarga. Seperti apa kasih Allah itu? Sebagaimana tampak dalam Diri Putra-Nya, Allah itu mudah mengampuni, suka menolong; Allah berbagi isi pikiran dan kehendak hati; Allah menyembuhkan dan membangkitkan semangat; Allah mengorbankan Diri sampai wafat di salib. Melakukan tindakan nyata seperti yang dilakukan Allah, itulah sumber kebahagiaan sejati dalam keluarga.
Doa
Ya Allah Sang Pencipta, syukur atas kasih orangtua sehingga aku dapat tumbuh dengan baik. Hadirlah dalam tiap keluarga agar tetap utuh dan melahirkan pribadi yang setia mengabdi Engkau dan rela membaktikan diri pada sesama. Amin.
RS/PK/hr