Pertemuan Paus dengan Ayatollah Sayyid Ali Al-Husayni Al-Sistani “adalah kesempatan bagi Paus untuk berterima kasih kepada Ayatollah al-Sistani Agung karena telah berbicara, bersama umat Syiah, untuk membela orang-orang paling rentan dan teraniaya di tengah kekerasan dan kesulitan besar beberapa tahun terakhir, dan untuk menegaskan kesucian hidup manusia dan pentingnya persatuan rakyat Irak.”
Pernyataan itu dikatakan dalam komunike Kantor Pers Takhta Suci tentang kunjungan kehormatan yang berlangsung sekitar empat puluh lima menit itu. “Bapa Suci menekankan pentingnya kerja sama dan persahabatan antarumat beragama untuk berkontribusi melalui penguatan saling menghormati dan dialog demi kebaikan Irak, wilayah itu, dan seluruh keluarga manusia,” tegas komunike itu seperti dilaporkan Vatican News.
Ketika berpamitan dengan Ayatollah Agung itu, Bapa Suci menyatakan akan terus berdoa agar Tuhan, Pencipta semua, akan memberikan masa depan perdamaian dan persaudaraan untuk tanah tercinta Irak, untuk Timur Tengah dan untuk seluruh dunia.
Pertemuan Paus Fransiskus dengan Ayatollah Al-Sistani terjadi di Najaf pada hari kedua Perjalanan Apostolik ke Irak. Sebelum mengunjungi Ayatollah Al-Sistani di kediamannya, Paus bertemu putranya, Mohammed Ridha.
Najaf didirikan tahun 791 M oleh Khalifah Hārūn al-Rashīd dan perkembangannya sebagian besar terjadi setelah abad ke-10, adalah pusat agama Syiah utama Irak dan tujuan ziarah bagi umat Syiah seluruh dunia. Di Najaf juga dimakamkan salah satu tokoh Islam paling dihormati, Ali ibn Abi Thalib, yang juga dikenal sebagai Imam ʿAlī, sepupu dan menantu Muhammad dan orang pertama yang masuk Islam.
Makam Imam Syiah pertama, yang terletak di dalam Masjid Imam ʿAlī itu dianggap sebagai salah satu tempat tersuci dalam Islam, dan dapat ditemukan di dekat pusat kota. Selain masjid, tempat suci dan sekolah agama, kota suci Syiah Irak ini terkenal dengan pemakaman Wadi al-Salam.
Kediaman Ayatollah Al-Sistani terletak di dekat Makam Imam Ali atau Masjid Imam Ali, yang dianggap oleh Syiah sebagai situs suci ketiga Islam setelah Mekah dan Madinah. Masjid itu dihancurkan dan dibangun kembali beberapa kali selama berabad-abad; rekonstruksi terakhir, dimulai tahun 1623, selesai tahun 1632.
Ayatollah Sayyid Ali Al-Husayni Al-Sistani adalah pemimpin Syiah Irak, lebih dari 60 persen populasi, dan tokoh berpengaruh dalam Syiah global dan di seluruh negeri. Al-Sistani yang mengkhotbahkan abstain otoritas agama dari aktivitas politik langsung, dianggap lawan bicara bagi berbagai faksi politik dan agama di negara ini.
Tahun 2004, ia dukung pemilihan umum bebas di Irak, sehingga memberikan kontribusi penting bagi perencanaan pemerintahan demokratis pertama di negara itu, sementara tahun 2014 ia meminta warga Irak untuk bersatu melawan ISIS. Baru-baru ini, November 2019, ketika penduduk turun ke jalan sebagai protes terhadap tingginya biaya hidup dan ketidakstabilan politik nasional, Al-Sistani meminta pengunjuk rasa dan polisi untuk tetap tenang dan tidak melakukan kekerasan.
Teolog Iran dan anggota Dewan Perempuan dari Dewan Kebudayaan Kepausan, Shahrazad Houshmand, mengatakan kepada Vatican News, Al Sistani bisa didefinisikan “rabbani” yang berarti “orang beragama yang bijak” dalam pengertian, “selain melakukan studi teologi yang sangat dalam dan luas tentang sejarah Alquran serta tradisi dan hukum Islam, dia terutama adalah tokoh spiritual yang mengumpulkan dan mempersatukan rakyat Irak.”(PEN@ Katolik/paul c pati)
Video singkat Paus mengunjungi Ayatollah Sayyid Ali Al-Husayni Al-Sistani
Artikel Terkait:
Paus di Katedral Bagdad: Tuhan beri kita vaksin efektif untuk lawab virus keputusasaan
Paus desak otoritas Irak bangun kembali masyarakat di atas solidaritas persaudaraan
Paus terbang dengan pesawat kepausan untuk melakukan perjalanan apostolik ke Irak
Paus akan ke Irak sebagai peziarah perdamaian demi persaudaraan dan rekonsiliasi