Home OPINI Di Lourdes, penulis Rita Coruzzi menyadari bahwa “Yesus adalah kursi roda”

Di Lourdes, penulis Rita Coruzzi menyadari bahwa “Yesus adalah kursi roda”

0
PetalidiRose | Youtube
PetalidiRose | Youtube

Rita Coruzzi yang kini berusia 34 tahun, sejak kecil harus mengatasi penderitaan akibat dislokasi pinggul karena kurangnya acetabulum (soket di panggul). Penulis bersemangat itu menggambarkan dirinya di situs webnya sebagai wanita yang terburu-buru melakukan segalanya.

Rita yang lahir prematur tidak bisa berjalan karena kondisinya. Ibunya tidak mudah menyerah untuk membantu putrinya menjalani hidup normal. Karena ketekunan itu, Rita menjalani terapi fisik intensif dan tiga kali operasi, yang sayangnya tidak membuahkan hasil menggembirakan.

Rita terpaksa hidup di kursi roda. Awalnya, situasi itu membuatnya sangat marah kepada Allah. Dalam wawancara dengan situs Italia Cristiani Today, 11 Februari, Rita mengatakan, “Aku percaya kepada-Nya. Aku letakkan diriku di tangan-Nya selama operasi ini (yang terakhir). Aku benar-benar telah menyerahkan diriku kepada-Nya. Aku yakin, Dia tidak akan menyakitiku, tetapi sebaliknya aku menemukan diriku berada di tempat yang saya usahakan tidak demikian, di kursi roda. Jadi, selama empat tahun aku merasakan kemarahan buta terhadap Allah. Aku menuduh Dia benar-benar tidak adil dan kejam. Aku tidak lagi percaya pada kebaikan dan belas kasihan-Nya.

Saat itu, ibunya meyakinkan dia dengan berkata, “Allah tidak meninggalkanmu,” tetapi bahwa Allah punya rencana untuk putrinya. Jika Dia membiarkan Rita terus menderita kecacatan ini, katanya, itu karena “dia bisa melayani Dia seperti itu, apa adanya.”

Tahun 2001, atas undangan guru besar teologinya, Rita memutuskan pergi ke Lourdes, meski kini dia hidup jauh dari iman. Saat itu, ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya pergi. Kepada Cristiani Today dia katakan bahwa pergi mengharapkan keajaiban, tetapi dia juga sadar bahwa itu mungkin tidak akan terjadi. Di sana, dia bukan memberontak tetapi datang kepada Bunda Maria untuk menanyakan alasannya.

Dalam wawancara itu, Rita menceritakan pengalamannya. “Aku benar-benar mendengar suara di hatiku (bukan dengan telinga saya, tetapi saya mendengarnya di hati saya). Aku benar-benar mendengarnya (Maria); dia memelukku dan menyambutku dan berkata, ‘Butuh waktu lama untuk sampai di sini, tapi sekarang engkau di sini. Engkau meminta saya untuk menjawabnya dan saya akan memberikannya kepadamu. Tuhan punya rencana untukmu: Bersaksilah dan bertobatlah!”

Rita merasa tidak mampu melakukan tugas itu, karena dia merasa antara lain dia telah kehilangan Yesus, bahwa Dia telah meninggalkannya. Tetapi Bunda Maria menjawab bahwa itu tidak benar, dan berulang kali mendesaknya untuk “memandang ke bawah.”

Saat itu juga, ketika menatap kursi rodanya, Rita sadar bahwa dia berada dalam pelukan Yesus. Dia mengenali Dia di kursi rodanya. “Aku lihat ke bawah dan melihat kursi rodaku, karena tidak ada yang lain. Saat itulah aku sadar bahwa Yesus adalah kursi roda. Yesus selama itu memanggul saya di pangkuan-Nya dan aku tak pernah menyadarinya,” katanya kepada Cristiani Today.

Pencerahan di depan gua Massabielle, yang merupakan kenyataan bahwa dia tak pernah sepenuhnya ditinggalkan Tuhan, merubah cara dia memandang penyakitnya. Dia lalu menerima kondisinya dan tahu bahwa dia hidup di pangkuan Yesus. Kesadaran itu memberinya kedamaian dan kepuasan, dan dia tidak lagi merasa perlu berdoa untuk kesembuhan fisik.

Menghargai pengalamannya, kini Rita berbicara kepada orang-orang yang berpaling dari iman akibat penderitaan yang mereka alami. Rita memahami keadaan pikiran mereka, dan menasihati mereka dengan kata-kata yang dia bagikan dalam wawancara itu, “Bahkan di saat-saat tergelap, Tuhan dekat dengan kita. Bahkan jika kita tidak merasakan Dia, Dia dekat dengan kita. Dia tak pernah menjauh dari kita, tapi kitalah yang merasa Dia jauh karena kita terjebak dalam penderitaan kita sendiri. Tetapi jika di saat-saat terburuk, kita menyerahkan diri kepada-Nya dan percaya kepada-Nya, kehadiran-Nya akan selalu terasa. Kita hanya perlu memiliki kekuatan dan keberanian untuk mengatakan, “Saya mengupayakan dan hanya menginginkan satu hal dalam hidup, berada dalam persekutuan dengan Allah.” (PEN@ Katolik/pcp/Silvia Lucchetti/Aleteia)

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version