Ketua Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan kepada semua untuk bekerja sama memerangi kejahatan kebencian berdasarkan agama dan keyakinan, dengan mengatasi akar-akar penyebab intoleransi dan diskriminasi serta meningkatkan inklusi dan penghormatan terhadap keragaman.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres membuat imbauan itu dalam pesan untuk Hari Internasional Memperingati Korban Tindak Kekerasan Berdasarkan Agama atau Keyakinan 22 Agustus 2020. Hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, tegas Guterres “tertanam kuat dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dan merupakan landasan bagi masyarakat yang inklusif, sejahtera dan damai.”
Justru karena itulah, Sidang Umum PBB Mei 2019 mendirikan peringatan tahunan itu. Pasal 18, 19, dan 20 Deklarasi Universal HAM menegakkan beberapa kebebasan, termasuk kebebasan beragama atau berkeyakinan.
“Namun, di seluruh dunia,” keluh sekretaris jenderal PBB itu, “kami terus menyaksikan diskriminasi mendalam terhadap kaum minoritas agama, serangan terhadap orang dan situs keagamaan, serta kejahatan kebencian yang menargetkan penduduk hanya karena agama atau kepercayaan mereka.”
Saat mengungkapkan penghargaan atas ketahanan dan kekuatan masyarakat dalam menghadapi Covid-19, ia menyesalkan “pandemi juga disertai lonjakan stigma dan wacana rasis yang memfitnah komunitas, dan menyebarkan stereotip keji dan menyalahkan.”
“Momen luar biasa ini,” katanya, “mengajak kita semua bekerja sama sebagai satu keluarga manusia mengalahkan penyakit dan mengakhiri kebencian dan diskriminasi.”
Sambil menggarisbawahi tanggung jawab utama negara untuk melindungi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, Guterres mendesak semua orang untuk berbuat lebih banyak guna mengatasi akar-akar penyebab intoleransi dan diskriminasi dengan meningkatkan inklusi dan penghormatan terhadap keragaman. Dia juga mendesak agar pelaku kejahatan seperti itu dimintai pertanggungjawaban.
Sementara itu, menjelang perayaan 22 Agustus, seorang imam Katolik di Vietnam mengimbau para penganut berbagai keyakinan untuk mendoakan para korban penganiayaan agama dan menghormati kebebasan berkeyakinan.
“Mereka harus berdoa bagi orang yang menderita penganiayaan agama agar teguh dalam iman mereka dan cukup kuat mengatasi tantangan itu, dan agar umat Kristen yang dianiaya lebih dekat dengan Kristus dan ditemani oleh umat Allah,” desak Kepala Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Ha Tinh Pastor Peter Tran Dinh Lai dalam surat terbuka 16 Agustus.
Pastor Lai mendorong doa bagi para pemimpin pemerintahan agar mereka menghormati dan memastikan kebebasan beragama, termasuk di Vietnam. Secara khusus imam itu meminta para imam setempat untuk merayakan Misa khusus, melakukan adorasi Ekaristi, dan mengorganisir pertemuan-pertemuan sebagai tanda solidaritas dengan para korban penganiayaan agama.
Yang Mulia Thich Thien Minh dari Sangha Buddha Bersatu Vietnam yang independen juga meminta umat Buddha untuk ikut bersama umat dari kepercayaan lain dalam doa bagi para korban penganiayaan agama di seluruh dunia. Yang Mulia Minh sendiri menjalani hukuman penjara selama 26 tahun karena memperjuangkan kebebasan beragama.
Paus Fransiskus, Takhta Suci, serta berbagai departemen di Vatikan, mengecam kebencian dan kekerasan terhadap agama dan kepercayaan. “Kita tidak bisa, kita tidak boleh berpaling ketika penganut dari berbagai agama dianiaya di berbagai belahan dunia,” kata Paus kepada Guterres dalam pertemuan di Vatikan, Desember 2019. “Penggunaan agama untuk menghasut kebencian, kekerasan, penindasan, ekstremisme dan fanatisme buta, dan memaksa orang ke pengasingan dan marginalisasi,” katanya, “menyerukan pembalasan dendam di hadapan Tuhan.”
Sebelumnya, pada pertemuan antaragama di Abu Dhabi Februari 2019, Paus mengatakan kepada peserta, “Tidak ada kekerasan yang bisa dibenarkan atas nama agama.” Paus dan Gereja selalu meningkatkan kerukunan dan kerja sama antaragama. Dalam kunjungan ke luar negeri, Paus selalu bertemu dengan perwakilan dari berbagai komunitas agama. (PEN@ Katolik/pcp berdasarkan Robin Gomes/Vatican News)