“Pembunuhan George Floyd tidak masuk akal dan brutal, dosa yang meneriakkan keadilan ke surga” tulis Ketua Konferensi Waligereja AS Uskup Agung Los Angeles Mgr José H Gomez, yang ikut merasakan “kemarahan komunitas kulit hitam dan para pendukung mereka di Minneapolis, Los Angeles, dan lintas negara.” Tapi, tegas para uskup AS, “kekejaman dan kekerasan” yang diderita Floyd “tidak mencerminkan mayoritas pria dan wanita yang baik dalam penegakan hukum, yang melaksanakan tugas dengan terhormat.” Mereka, “percaya bahwa otoritas sipil akan menyelidiki pembunuhannya dengan hati-hati dan memastikan yang bertanggung jawab akan bertanggung jawab.”
Demikian ringkasan pernyataan Mgr Gomez yang dikeluarkan 31 Mei 2020 setelah kematian George Floyd dalam tahanan polisi di Minneapolis, Minnesota, 25 Mei 2020. Para uskup juga menyesalkan kekerasan yang “merusak dan menghancurkan diri sendiri.” Itu menurut para uskup, “tidak meningkatkan proses kesetaraan ras dan martabat manusia.”
Cuplikan penangkapan Floyd, 46, yang menunjukkan seorang polisi kulit putih menjepitnya dengan lutut di atas jalan sementara Floyd memohon dengan mengatakan tidak bisa bernapas, menyebar di media sosial dan memicu protes kekerasan nasional.
Uskup Agung Gomez mengatakan, bisa dimengerti protes yang terjadi itu “mencerminkan pembenaran frustrasi dan kemarahan jutaan saudara-saudari kita yang sampai hari ini mengalami penghinaan, kehilangan harga diri, dan kesempatan yang tidak sama hanya karena ras mereka atau warna kulit mereka.”
Menurut prelatus itu, “Seharusnya tidak seperti ini di Amerika. Rasisme telah ditoleransi terlalu lama dalam cara hidup kita.”
Pembunuhan George Floyd mengikuti pembunuhan serupa dalam beberapa bulan terakhir di AS. Tanggal 23 Februari, Ahmaud Marquez Arbery, seorang pria Afrika-Amerika berusia 25 tahun yang tidak bersenjata, ditembak mati dekat Brunswick di Glynn County, Georgia. Tanggal 13 Maret, Breonna Taylor, seorang wanita Afrika-Amerika berusia 26 tahun, ditembak mati oleh petugas Departemen Kepolisian Metro Louisville. Tanggal 6 Mei, Dreasjon ‘Sean’ Reed dibunuh oleh polisi Indianapolis.
Mengenang Martin Luther King, Jr. yang menggambarkan kerusuhan sebagai bahasa yang belum pernah terdengar, Uskup Agung Gomez mengatakan, “sekarang kita harus banyak mendengarkan” untuk mendengar apa yang orang katakan melalui rasa sakit mereka. “Kita akhirnya harus membasmi ketidakadilan rasial yang masih menginfeksi terlalu banyak area dalam masyarakat Amerika,” kata Mgr Gomez.
Di saat yang sama, para uskup Amerika Serikat menyesalkan kekerasan itu sebagai “menghancurkan dan mengalahkan diri sendiri,” dan menambahkan, “kekerasan tidak ada untungnya dan begitu banyak hilang.”
Dikatakan, “komunitas-komunitas yang membakar dan menjarah, dan merusak mata pencaharian sesama, tidak memajukan proses persamaan ras dan martabat manusia.” Seraya mengajak semua orang menantikan “perubahan sejati dan abadi,” para uskup menyerukan untuk mengenang George Floyd “dengan menghilangkan rasisme dan kebencian” dari hati mereka dan berkomitmen untuk membangun “komunitas kehidupan, kebebasan, dan kesetaraan untuk semua.”(PEN@ Katolik/pcp berdasarkan Robin Gomez/Vatican News)