Homili Paus: Orang Kristen yang baik patuh kepada Tuhan, bebas karena percaya kepada-Nya

0
2454

Paus Fransiskus mengatakan, menjadi “orang Kristen yang baik” berarti “patuh” kepada Firman Tuhan, dan mendengarkan apa yang Tuhan katakan tentang keadilan, kasih amal, pengampunan, dan belas kasihan; dan bukan “tidak konsisten dalam hidup,” serta menggunakan “ideologi untuk maju.” Memang benar, lanjut Paus, Firman Tuhan terkadang “membuat kita kesulitan,” tetapi “iblis melakukan hal yang sama,” “dengan menipu.” Jadi untuk menjadi seorang Kristen, tegas Paus, “harus bebas,” karena “percaya” kepada Allah.

Paus mengatakan hal itu dalam homili Misa harian di Casa Santa Marta, Vatikan, tentang tentang “kepatuhan” kepada Firman Tuhan, yang “selalu baru”. Dengan merenungkan Bacaan Pertama 1Sam. 15:16-23, Paus fokus pada penolakan Allah terhadap Saul sebagai raja atas Israel, “nubuat” yang dipercayakan kepada Samuel.

Inti dari dosa Saul, kata Paus, adalah “kurangnya kepatuhan” terhadap Firman Tuhan dan membayangkan bahwa “interpretasi” sendiri tentang perintah Allah itu “lebih benar.” Tuhan telah memerintahkan bangsa Israel untuk tidak mengambil apa pun dari orang-orang yang telah mereka taklukkan, tetapi mereka tidak menurut.

Ketika Samuel pergi menolak [Saul] atas nama Tuhan, [Saul] mencoba menjelaskan: “Coba lihat, ada ternak, ada begitu banyak binatang bagus dan gemuk, dan dengan itu saya persembahkan kurban kepada Tuhan.” Dia tidak mengambil jarahan, meskipun yang lain melakukannya. Sebaliknya, dengan sikap menafsirkan Firman Allah yang tampaknya benar baginya, ia membiarkan yang lain mengambil jarahan. Tahap-tahap korupsi: dimulai dengan sedikit ketidaktaatan, kurangnya kepatuhan, dan terus melangkah lebih jauh, lebih jauh, lebih jauh.

Itu penjelasan Paus, yang kemudian mengatakan, setelah “memusnahkan” orang-orang Amalek,  mereka mengambil jarahan “binatang buas besar dan kecil, buah pertama dari apa yang disumpah untuk dimusnahkan, untuk dikorbankan kepada Tuhan.” Tetapi Samuel menunjukkan bahwa Tuhan lebih berkenan pada “ketaatan kepada suara” Allah daripada sembelihan dan korban; dan dia mengklarifikasi “hierarki nilai”: “Hati yang patuh,” dan “kepatuhan,” lebih baik daripada “korban sembelihan, puasa, penebusan dosa.” Menurut Paus, “Dosa karena kurang patuh” sebenarnya karena lebih menginginkan “apa yang saya pikirkan bukan yang Tuhan perintahkan, yang tidak saya mengerti.” Saat engkau berontak terhadap “kehendak Tuhan,” kata Paus, engkau tidak patuh. “Seperti dosa meramal.” Seolah-olah, meskipun engkau mengatakan percaya kepada Tuhan, “Engkau harus ke peramal untuk membaca telapak tangan ‘untuk jaga-jaga’.” Menolak mematuhi Tuhan, kurangnya kepatuhan, itu seperti “meramal,” tegas Paus.

Ketika engkau bersikeras melakukan hal-hal dengan caramu sendiri bukan kehendak Tuhan, engkau penyembah berhala, karena engkau lebih suka apa yang engkau pikirkan, itu berhala, daripada kehendak Tuhan. Dan bagi Saul, ketidaktaatan ini menyebabkan dia kehilangan kerajaan: Karena engkau menolak Firman Tuhan, maka Tuhan telah menolak engkau sebagai raja.” Seharusnya ini membuat kita berpikir sedikit tentang kepatuhan kita sendiri. Kita sering lebih menyukai penafsiran sendiri tentang Injil […] misalnya, saat jatuh ke kasuistis (penentuan benar atau salah sesuai teori, Red.), ke kasuistis moral … Ini bukan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan jelas; Dia membuatnya dikenal dengan perintah-perintah dalam Alkitab, dan membuatnya dikenal dengan Roh Kudus di dalam hatimu. Tapi ketika saya keras kepala dan mengubah Firman Tuhan jadi ideologi, saya penyembah berhala, saya tidak patuh.

Beralih ke Injil Santo Markus hari itu, Mrk. 2:18-22, Paus mengingatkan bahwa para murid dikritik “karena mereka tidak berpuasa.” Yesus menggunakan analogi: tidak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian penambal itu akan mencabiknya; dan tidak seorang pun mengisikan anggur baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur dan kantong kulit itu akan terbuang. “Sebaliknya,” firman Tuhan, “anggur baru hendaknya dituangkan dalam kantong kulit yang baru pula.”

Kebaruan Firman Tuhan – karena Firman Tuhan selalu baru, selalu membawa kita maju – selalu menang, lebih baik dari segalanya. Firman Tuhan mengatasi penyembahan berhala, mengatasi kesombongan, dan mengatasi sikap terlalu percaya diri kita sendiri, bukan melalui [komitmen terhadap] Firman Tuhan, tetapi dengan ideologi yang saya bangun di sekitar Firman Tuhan. Ada ungkapan sangat indah dari Yesus yang menjelaskan semua ini dan itu berasal dari Allah, yang diambil dari Perjanjian Lama: “Saya menginginkan belas kasihan, dan bukan pengorbanan,” kata Paus. (PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here