Oleh Frater Vredigando E Namsa OFM
Dengan pakaian compang-camping tanpa beralas kaki, seorang biarawan nekat melintasi perbatasan Mesir, meski telah dilarang oleh Kardinal Pelagius. Bersama temannya, biarawan itu tetap teguh menyampaikan misi perdamaian kepada Sultan Malik al-Kamil. Dia adalah Fransiskus dari Asisi, dan peristiwa itu terjadi di tengah suasana perang salib kelima (1217-1221).
Keberanian Fransiskus menembus zona perang yang membahayakan nyawanya, apalagi sebagai biarawan Kristen, yang tentu menjadi target utama tentara lawan yang waktu itu memang dalam kondisi perang, merupakan tindakan yang tidak bisa diterima akal sehat. Itulah sebabnya ia berulang kali dicegat oleh Kardinal Pelagius agar mengurungkan niatnya menemui sultan. Kardinal Pelagius adalah wakil Paus dalam perang itu.
Bahkan, berbagai macam propaganda tentara salib tentang Sultan Malik al-Kamil seperti ‘binatang yang kejam’ yang memutilasi musuh yang tertawan sengaja dibuat untuk menggambarkan kekejaman tentara Islam. Namun, ‘kekejaman’ itu tidak menyurutkan semangat Fransiskus untuk menjalankan misi diplomasi damainya.
Apa yang menjadi kekhawatiran dunia Kristen tentang watak Sultan Malik al-Kamil sungguh berbeda dengan yang dirasakan dan diterima oleh Fransiskus sewaktu dihadapkan dengan sang sultan. Di Mesir, sultan Malik al-Kamil justru terkenal dengan toleransinya terhadap minoritas, termasuk kepada pemeluk agama Kristen.
Dalam rangka mengenang 800 tahun kunjungan Santo Fransiskus kepada Sang Sultan itu, Saudara-Saudara Dina (OFM) Komunitas Asisi Waena, Jayapura, mengunjungi Masjid Agung Ash Shalihin Abepura, Jayapura, 9 Desember 2019.
Kami datang untuk mendekatkan diri dan berbincang-bincang dengan saudara-saudara di Masjid, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Bapa kami Fransiskus Asisi. Kami diterima hangat oleh saudara-saudara di Masjid, kami diizinkan masuk ke dalam ruang samping Masjid untuk saling berbagi pengalaman dan saling mengenal. Suatu pengalaman yang menuntut kami membangun sikap dialog dengan saudara-saudara di luar agama kami.
Di dalam pertemuan silaturahmi itu, kami saling berbagi pengalaman seputar apa yang menjadi pergumulan kami terkait dengan hidup sebagai umat beragama yang plural. Hidup dalam perbedaan untuk suatu yang unik dan perlu disyukuri. Kami juga diajak tetap membangun sikap seperti ini, karena kami semua adalah saudara dan saudari.
Peristiwa 800 tahun Fransiskus mengunjungi Sultan Malik, mengajak kami para Fransiskan untuk terus membangun semangat saling menghormati dan membangun sikap dialog. Dialog harus terus dilaksanakan, dialog dan perbincangan tidak lagi menjadi barang baru, tetapi suatu kebutuhan. Pada dunia yang saling bergantung dan saling berhubungan dibutuhkan insan yang beriman benar yang menuntut rasa hormat dalam membangun dialog.
Kami berharap pertemuan seperti itu terus dilakukan, karena bagi kami “itu pertemuan yang membangun sikap saling menghormati.”***