Pen@ Katolik

Paus di Taman Perdamaian Nagasaki: Kita tidak bisa mengulangi kesalahan masa lalu

Paus Fransiskus menyalakan lilin doa di lokasi pemboman nuklir Nagasaki (Vatican Media)
Paus Fransiskus menyalakan lilin doa di lokasi pemboman nuklir Nagasaki (Vatican Media)

Pukul 11:02 pagi tanggal 9 Agustus 1945, sebuah bom atom meledak di Nagasaki, Jepang. Sepertiga kota itu hancur dan sekitar 150.000 orang tewas atau terluka. Banyak lagi yang meninggal kemudian karena efek keracunan radioaktif.

Tanggal 24 November 2019, monumen peringatan perdamaian dirayakan di tempat jatuhnya bom itu. Paus Fransiskus mengunjungi Taman Peringatan Perdamaian di Nagasaki itu. Setelah meletakkan bunga di kaki monumen itu, Paus mengatakan “Tempat ini membuat kita sangat menyadari akan rasa sakit dan kengerian yang bisa kita manusia saling lakukan.”

Di samping Titik Pusat Ledakan Bom Atom itu berdiri reruntuhan Katedral Urakami. Katedral yang pernah menjadi gereja terbesar di Asia Timur, itu benar-benar hancur karena bom itu.

Dalam wacananya, Paus merujuk salib yang rusak dan patung Bunda Maria yang baru-baru ditemukan di situs Katedral itu: “Mereka mengingatkan kita lagi tentang kengerian yang tak terkatakan yang diderita para korban pemboman dan keluarga mereka,” kata Paus.

“Salah satu kerinduan terdalam hati manusia adalah keamanan, perdamaian dan stabilitas”, lanjut Paus. “Kepemilikan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya bukanlah jawaban untuk keinginan ini.”

Paus merenungkan bagaimana “dunia kita ditandai oleh dikotomi sesat yang mencoba mempertahankan dan memastikan stabilitas dan perdamaian dengan rasa aman palsu dengan mentalitas rasa takut dan ketidakpercayaan, yang akhirnya meracuni hubungan antarmanusia dan menghalangi setiap bentuk dialog.”

Perdamaian dan stabilitas internasional, kata Paus, “bisa dicapai hanya berdasarkan etika solidaritas global dan kerja sama demi masa depan yang dibentuk oleh saling ketergantungan dan tanggung jawab bersama dalam seluruh keluarga manusia saat ini dan besok.”

Paus menegaskan kembali, “perlombaan senjata menyia-nyiakan sumber daya berharga yang bisa lebih baik digunakan untuk pengembangan integral masyarakat dan untuk melindungi lingkungan alam.

Di dunia, tempat jutaan anak dan keluarga hidup dalam kondisi tidak manusiawi, uang yang dihambur-hamburkan dan kemakmuran yang dihasilkan melalui pembuatan, peningkatan, pemeliharaan, dan penjualan senjata yang lebih merusak, adalah penghinaan yang diteriakkan ke surga,” kata Paus.

Jika kita ingin membangun dunia damai, bebas dari senjata nuklir, kata Paus, kita harus melibatkan semua orang, “pribadi-pribadi, komunitas-komunitas religius dan masyarakat sipil, negara-negara yang memiliki senjata nuklir dan yang tidak memilikinya, sektor militer dan swasta, serta organisasi-organisasi internasional.”

Paus menghimbau adanya tanggapan “bersama” terhadap ancaman senjata nuklir, “yang diilhami oleh upaya keras namun terus-menerus untuk membangun rasa saling percaya dan dengan demikian mengatasi iklim ketidakpercayaan saat ini.”

“Kita sedang menyaksikan erosi multilateralisme yang semakin serius mengingat perkembangan bentuk-bentuk baru teknologi militer,” lanjut Paus seraya menggambarkan pendekatan ini “sangat tidak sesuai dengan konteks keterkaitan saat ini.”

Paus membenarkan bahwa komitmen Gereja Katolik untuk meningkatkan perdamaian antara orang-orang dan bangsa-bangsa dengan menyebutnya “kewajiban yang mengikat Gereja di hadapan Tuhan dan setiap pria dan wanita di dunia kita.”

Paus berharap, “semoga doa, upaya tak kenal lelah dalam mendukung kesepakatan, dan desakan untuk berdialog menjadi ‘senjata’ paling kuat yang menjadi landasan kepercayaan dan inspirasi upaya kita untuk membangun dunia keadilan dan solidaritas yang bisa memberikan jaminan perdamaian otentik.”

Paus yakin, dunia tanpa senjata nuklir bisa dan perlu, tetapi “kita perlu merenungkan dampak bencana penyebarannya, terutama dari sudut pandang kemanusiaan dan lingkungan, serta menolak menambah iklim ketakutan, ketidakpercayaan dan permusuhan yang timbul oleh doktrin nuklir.”

Tugas menciptakan alat untuk memastikan kepercayaan dan pengembangan timbal balik adalah tugas yang menjadi perhatian dan tantangan kita masing-masing, kata Paus.

“Tidak ada yang bisa acuh tak acuh terhadap penderitaan jutaan pria dan wanita yang penderitaannya mengganggu hati nurani kita hari ini. Tidak seorang pun bisa menutup telinga terhadap permohonan saudara-saudari kita yang membutuhkan. Tidak ada yang bisa menutup mata terhadap kehancuran yang disebabkan oleh budaya yang tidak mampu berdialog.”

Paus mengajak semua orang berdoa tiap hari “bagi pertobatan hati dan bagi kemenangan budaya kehidupan, rekonsiliasi, dan persaudaraan. Persaudaraan yang bisa mengakui dan menghormati perbedaan dalam mencari nasib bersama.”

Paus mengakhiri perkataannya dengan mengutip doa untuk perdamaian dari Santo Fransiskus dari Asisi:

Tuhan, jadikan aku pembawa damai.

Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih

Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan

Bila terjadi keputusasaan, jadikanlah aku pembawa harapan

Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang

Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sukacita

“Di tempat pengenangan luar biasa, yang menggerakkan kita dari ketidakpedulian kita, ini” kata Paus, “adalah lebih bermakna kalau kita berpaling kepada Allah dengan kepercayaan, seraya memohon kepada-Nya untuk mengajarkan kita menjadi alat perdamaian yang efektif dan melakukan segala upaya untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu.”(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)

Artikel Terkait:

Pemerintah Jepang mengakui Paus sebagai Kaisar Pengajaran

Paus kirim pesan video ke Thailand dan Jepang sebelum kunjungannya