Tujuh belas hari puasa dan doa. Itulah yang diminta kepada umat Katolik Eritrea sebagai tanggapan atas keputusan pemerintah untuk menasionalisasikan semua rumah sakit yang dikelola Gereja. Uskup Agung Asmara Mgr Abune Menghesteab Tesfamariam mengumumkan langkah itu dalam surat tertanggal 22 Juni. Dalam suratnya, Uskup Agung mencela keputusan untuk menutup fasilitas kesehatan yang dikelola Katolik dengan mengatakan “hanya Tuhan yang bisa menghibur kita dan menyelesaikan masalah kita.” Uskup itu mengatakan, ketetapan itu dikeluarkan setelah para uskup Eritrea mengkritik rezim Isaias Afwerki, presiden sejak 1993. Bulan April, para uskup merilis surat gembala yang meminta “proses rekonsiliasi nasional untuk menjamin keadilan sosial” untuk semua orang Eritrea. Inisiatif doa dimulai di gereja-gereja dan biara-biara tanggal 25 Juni dan berlangsung hingga 12 Juli, Pesta Santo Petrus dan Paulus dalam ritus Katolik Timur Ge’ez, bagian dari Ritus Aleksandria yang berasal dari Eritrea dan Etiopia. Awal bulan ini, pemerintah pusat Eritrea memerintahkan semua 22 rumah sakit yang dikelola Katolik untuk menyerahkan kepemilikan kepada negara. Para pelaksana menolak mematuhinya dan merujuk pejabat pemerintah kepada Konferensi Waligereja Katolik, yang juga menolak permintaan itu. Para Uskup mengatakan tentara terlihat mengintimidasi personel rumah sakit dan melakukan pengawasan terhadap komunitas-komunitas keagamaan yang menjalankannya. Pemerintah segera menutup fasilitas kesehatan, yang sebagian besar berlokasi di daerah terpencil. Undang-undang 1995 yang tidak ditegakkan memberikan alasan penutupan itu. Diputuskan bahwa semua lembaga sosial, termasuk sekolah dan klinik, harus dioperasikan oleh negara. Yang paling terpukul oleh penutupan rumah sakit Katolik adalah orang-orang termiskin negara itu, termasuk orang Afar yang tinggal di sepanjang perbatasan selatan Eritrea dengan Ethiopia.(PEN@ Katolik/pcp berdasarkan Vatican News dan Fides)