Jumat, Desember 27, 2024
26.5 C
Jakarta

Keuskupan Ruteng menolak wacana dan agenda pariwisata halal di Labuan Bajo Manggarai

Mgr San
Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng Mgr Silvester San. PEN@ Katolik/pcp

Menanggapi wacana pariwisata halal yang disosialisasikan di Labuan Bajo, 30 April 2019, oleh Direktris Badan Otorita Pariwisata (BOP) Flores Shana Fatina, Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng Mgr Silvester San menegaskan bahwa pada prinsipnya Keuskupan Ruteng menghargai setiap usaha memajukan pariwisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat, dan Flores pada umumnya melalui perluasan pasar pariwisata.

“Hospitalitas yang bertumbuh dari budaya lokal Manggarai selama ini menghargai dan menyambut baik semua wisatawan dari berbagai daerah dan mancanegara dengan latar belakang yang majemuk termasuk saudara-saudari dari kalangan Muslim,” demikian pernyataan yang ditandatangani 6 Mei 2019 oleh Mgr Silvester San, yang juga Uskup Denpasar.

“Namun kami menolak dengan tegas wacana dan agenda pariwisata halal di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores,” lanjut pernyataan itu seraya memberi tiga alasan. Pertama, “Wacana ini telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan dapat menimbulkan konflik sosial yang pada gilirannya merusak perkembangan pariwisata itu sendiri.”

Kedua, “Gagasan pariwisata halal bersifat eksklusif, dan kurang menghormati kebhinnekaan yang menjadi roh dasar negara Pancasila. Kemajemukan suku, budaya, agama yang membentuk Indonesia akan terganggu dengan adanya aturan dan tata kelola yang eksklusif.”

Sedangkan yang ketiga, “Pariwisata halal  tidaklah sesuai dengan konteks kebudayaan lokal Manggarai dan keyakinan mayoritas masyarakat di wilayah ini. Padahal pariwisata yang sejati mesti berpangkal pada kekhasan dan kekayaan tradisi lokal.”

Dalam rangka mengembangkan pariwisata di Labuan Bajo dan Flores pada umumnya, Keuskupan Ruteng, yang meliputi Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai, dan Kabupaten Manggarai Timur, mengeluarkan empat butir rekomendasi.

“Pariwisata mesti berbasis pada budaya dan tradisi lokal, serta selaras dengan kelestarian alam dan keutuhan ciptaan (ekologi). Pariwisata kultural-ekologis inilah yang meneguhkan kebangsaan Indonesia dan memikat wisatawan dari seluruh Nusantara dan mancanegara,” tulis rekomendasi pertama.

“Pembangunan pariwisata harus terarah kepada kesejahteraan umum dan menghargai martabat pribadi manusia. Nilai-nilai kemanusiaan, kemajemukan, inklusivitas dan keadilan sosial mesti menjadi prinsip yang menjiwai seluruh kegiatan pariwisata,” bunyi rekomendasi kedua.

Pariwisata, tegas rekomendasi ketiga, “harus melibatkan masyarakat lokal baik dalam keuntungan ekonomis yang diperoleh maupun dalam partisipasi dan pemberdayaan orang-orang setempat dalam seluruh proses pariwisata. Jangan sampai masyarakat lokal hanya menjadi ”penonton” dan bukannya ”pelaku pariwisata.”

Dalam kaitan ini, menurut rekomendasi keempat, “perlu segera ditangani masalah-masalah aktual di Labuan Bajo seperti marjinalisasi penduduk lokal melalui penguasaan tanah oleh pihak investor, minimnya akses publik terhadap pantai-pantai, praktek mafia tanah, kekacauan dan konflik akibat sertifikat tanah ganda dan lemahnya penegakan hukum.” (PEN@ Katolik/pcp)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini