Api yang menyala pada lilin-lilin yang dipegang pengunjung lintas agama dan kepercayaan berpendar-pendar ditiup angin lembut di Taman Doa Katedral Santa Perawan Maria Semarang dan terdengarlah doa-doa bagi para korban terorisme di Masjid Al Noor, Deans Ave, dan masjid di pinggiran Linwood, Selandia Baru, yang menewaskan 49 orang, 15 Maret 2019.
Komang Dipta (Hindu), Pandita Wahyudi Agus (Buddha), Siti Rofiah (Islam), Pastor Joko Purwanto Pr (Katolik), Pendeta Sediyoko (Kristen), Andi Tjiok (Konghucu), dan Arifin (Sapta Darma) berdoa bergantian sesuai tradisi agama dan kepercayaan masing-masing.
Prihatin atas tragedi terorisme di Selandia Baru dan banjir bandang di Sentani, Papua, Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (HAK KAS), Persaudaraan Lintas Agama (PELITA) Semarang, tokoh dan masyarakat lintas agama menggelar doa bersama, 17 Maret 2019. Mereka bersama-sama turut prihatin akan tragedi kemanusiaan dan bencana banjir bandang yang memakan banyak korban itu.
Namun sebelumnya peserta doa bersama itu “tersentuh” dengan puisi yang dibacakan oleh Sulis dan temannya dari Komunitas Bengkel Sastra Maluku. Puisi itu menggambarkan betapa kejinya ulah teroris kepada para korban.
“Saat doa dilangitkan dalam jamaah khusyuk. Rentetan tembakan membabi buta. Memecah sunyi di Masjid Annur dan Linwood. Apakah ini eksekusi atau sebuah dosa? Dosa siapa? Karena apa? Kehilangan ini duka siapa? Siapa menggantikan ayah untuk si yatim? Menggantikan ibu untuk si piatu?” demikian bunyi puisi di malam cerah itu.
“Aksi kekerasan itu bukan hanya mencabik-cabik para korban, tetapi juga mencabik-cabik hati kita semuanya, di mana pun berada,” terdengar refleksi dari Ketua Komisi HAK KAS Pastor Aloys Budi Purnomo Pr.
Doa-doa kita, lanjut imam itu, tentu merupakan yang terpenting dan terbaik dalam rangka mendoakan para korban. “Bahkan saya tidak hanya mendoakan para korban. Setiap kali teror terjadi di mana pun kepada siapa pun, saya juga berdoa untuk pelakunya agar Tuhan sendiri mengubah hati yang bersangkutan dan mengalami istighfar, tobat, kemudian berubah menjadi baik,” kata imam itu.
Menyitir pesan Paus Fransiskus, Pastor Budi mengingatkan supaya kita terbebas dari budaya teror, mengingat banyak orang tanpa sadar justru terjebak dan menjadi pelaku-pelaku teror baik dengan lidah maupun dengan jari-jemari melalui media-media sosial.
“Paus mengatakan berulang-ulang dalam berbagai kesempatan, jagalah lidahmu karena dari lidahmu itulah akan meledak teror yang lebih bengis dibandingkan dengan para teroris yang begitu melempar bom dia lari, dia selamat, orang lain mati, atau bahkan dia ikut mati. Tetapi dengan lidah, kita bisa melancarkan serangan-serangan teror melalui fitnah, melalui hoaks, melalui gosip, melalui ghibah, dan itu tidak membuat keadaan lebih baik, tidak membuat diri kita lebih baik, tetapi justru memperkeruh keadaan. Dan persis di sinilah, kata Paus Fransiskus, teror kita pupuk melalui diri kita, melalui lidah kita, melalui jari-jemari kita yang menjadi ekspresi diri kita. Kemudian bersama memecah belah diri kita,” kata imam itu.
Tuan rumah, Pastor Yoseph Herman Singgih Sutoro Pr, menyampaikan pentingnya membangun kebersamaan sebagai perwujudan solidaritas kita kepada korban yang mengalami kemalangan. “Mari bersama-sama di tempat ini di dalam perbedaan di antara kita, kita tetap menyatukan hati kita supaya semua ke depannya bisa menjadi lebih baik lagi,” kata imam itu.(PEN@ Katolik/Lukas Awi Tristanto)
Artikel Terkait:
KWI dan umat Katolik Indonesia mengecam penembakan di dua mesjid di Selandia Baru
Paus belangsungkawa atas tewasnya 40 orang Muslim di Selandia Baru