Ketika anak remaja peserta Jambore Nasional Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner Indonesia (Jamnas Sekami) 2018 di Pontianak mempersiapkan diri untuk Pentas Seni dan para pembina rohani dan direktur diosesan menyiapkan pameran, seorang perempuan asal Saumlaki, Kei, mempertunjukkan kemahiran bermain sulap, tali rafia dipotong-potong dengan gunting namun tersambung kembali saat ditariknya.
Sekitar 275 animator dan animatris Sekami yang datang, sebagai peserta aktif, dari 34 keuskupan di Indonesia bertepuk tangan dalam pertemuan mereka di hari kedua jambore itu, 4 Juli 2018. Pertemuan di Gedung Pasifikus, belakang Katedral Santo Yoseph Pontianak, itu diadakan untuk saling berbagi kreativitas masing-masing keuskupan dalam melayani anak-anak dan remaja Sekami.
“Sulap dan berbagai games atau permainan menjadi sarana kami dalam memperkenalkan Kitab Suci kepada anak-anak di Keuskupan Agats, Asmat, Papua, dan itu yang kami tampilkan dalam,” kata Margareta Elsina Watkaat yang akrab dipanggil Narita kepada PEN@ Katolik dalam jambore yang diikuti sekitar 1500 orang termasuk panitia.
Penyuluh pertanian di Agats dan relawan Karya Kepausan Indonesia (KKI) Keuskupan Agats itu membenarkan, games termasuk sulap “membantu karya kami di Papua yang tidak punya banyak alat praga” dan alat-alat praga yang diperkenalkan teman-teman seluruh Indonesia dalam pertemuan itu “sangat membantu kami.”
Masih banyak anak di Keuskupan Agats, menurut Narita, belum mengenal siapa Tuhan Yesus itu dan belum bisa membaca. “Maka kami memperkenalkan Tuhan Yesus dengan games atau permainan tentang Kitab Suci serta cara membuka Kitab Suci, mengucapkan kalimat Kitab Suci dan melengkapi kalimat Kitab Suci dengan berbagai cara termasuk Alkitab Ajaib dan matematika Kitab Suci yang menggunakan angka-angka tapi sulit dijelaskan saat ini,” jelas Narita.
Perempuan singel itu juga mengaku sulit menjelaskan kepada anak-anak perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. “Maka, selain tali rafia, kami gunakan kayu ‘ajaib’ kecil agar anak mempercayai Tuhan, tali pramuka, dan lain-lain.”
Namun, Narita yang belum dua tahun berpindah dari Saumlaki, Keuskupan Amboina, ke Agats merasa berada di tengah anak-anak dan remaja Agats karena panggilan Tuhan. “Dulu saya di Maluku, Saumlaki, tapi panggilan, cara dan rancangan Tuhan berbeda, lebih indah daripada jalan saya, maka ketika Tuhan menyuruh saya ke sana, ya saya ke sana.”
Dijelaskan bahwa dia pindah karena banyak yang bisa menangani anak-anak di Saumlaki. “Di Papua banyak anak butuh sentuhan, maka hati saya tergerak ke sana … dan di sana, saya menikmati keindahan saat bergembira bersama anak-anak. Sungguh, itu kegembiraan yang tidak ternilai. Kalau anak-anak di sana melihat saya datang, mereka ikut dari belakang.”
Meski demikian Narita perlu kekuatan yang dia dapatkan dari doa. “Di sana, kalau saya tidak mendekatkan diri dengan Tuhan, pasti saya tidak kuat,” jelas perempuan asal Maluku yang mengaku mendapat banyak pembelajaran dalam animasi dan edukasi selama Jamnas Sekami 2018.
Selain mendapat banyak teman dari seluruh keuskupan, “satu hal membuat saya menangis saat mendengar ‘Tujuh Permenungan Sebelum Makan’, khususnya mengenai makan berkeadilan atau makan secukupnya dan dihabiskan.” Dalam Laudato Si’, menurut permenungan itu, Paus Fransiskus mengatakan “Membuang makanan sama halnya kita mencuri dari meja makan orang miskin.”
Jamnas Sekami 2018 memang bernuansa Laudato Si’. Dalam acara makan, peserta menjalankan pola makan dengan kesadaran ekologis. Setelah semua mengambil makanan, mereka berdoa bersama, mendengarkan permenungan itu lalu makan dengan hening sekitar lima hingga tujuh menit, baru boleh bicara atau menambah makanan, dan ditutup dengan doa.
Selain makan secara berkeadilan, peserta disadarkan bahwa sepiring makanan adalah alam semesta, karena dihasilkan oleh kerja sama ibu di dapur, pedagang, petani, cacing dan mikroba, mineral, sinar matahari, air dan serangga. Peserta juga diminta makan dengan penuh syukur sambil menikmati keajaiban setiap rasa yang hadir di lidah, mengunyah perlahan-lahan, dan berharap semoga makanan itu penuh welas asih dan tidak di atas penderitaan makluk lain.
Selesai makan, mereka diajak memandang piring kosong di hadapannya dengan penuh rasa syukur karena telah menerima kebaikan alam, dan menyadari bahwa makanan itu telah berubah menjadi tubuh mereka dan kebaikan untuk mereka.
“Benar kan?! Saya datang ke sini tidak sia-sia! Saya dapatkan sesuatu yang paling penting dari Sekami. Selama ini kita membuang-buang makanan tanpa mengingat orang yang tak punya apa-apa, tetapi di sini saya belajar makan sedikit tanpa menyisakan satu butir nasi pun, karena memang saya mengasihi anak-anak miskin,” kata Narita yang menata berbagai alat praga termasuk alat sulap tali rafia di meja pameran Sekami Keuskupan Agats. (paul c pati)
Artikel terkait:
Peserta Jamnas Sekami 2018 didampingi malaikat penjaga dan pendamping rohani
Dialog uskup-peserta Jamnas Sekami ada tawaran sembako untuk ibadah di rumah ibadah lain
Mgr Agus minta anak remaja Sekami untuk kristis tapi percaya kepada mama papa dan teman
Pemerintah buka Jamnas Sekami ajaran tentang perdamaian penting di era globalisasi
Anak-anak remaja Sekami berdatangan ke Pontianak untuk berbagi sukacita dalam keragaman