(refleksi atas kematian tiga imam di Filipina)
17 Juni 2018
Gereja Katolik di Filipina sekali lagi berduka setelah salah satu imamnya dibunuh. Pastor Richmond Nilo dari keuskupan Cabanatuan ditembak beberapa kali sebelum dia merayakan Misa di sebuah kapel di Zaragoza, Nueva Ecija. Tubuhnya terbaring di lantai di kaki patung Santa Perawan Maria, bersimbah darah. Sebuah peristiwa yang sungguh menyakitkan. Dia menjadi imam ketiga yang kehilangan nyawanya dalam serangan berdarah dalam enam bulan terakhir di Filipina. Tanggal 4 Desember 2017, Pastor Marcelito Paez ditembak saat dia sedang mengadakan perjalanan di Jean, Nueva Ecija. Baru beberapa Minggu yang lalu, 29 April, Pastor Mark Ventura juga ditembak mati setelah merayakan Misa. Kita mungkin bisa mendoakan juga Pastor Rey Urmeneta yang diserang oleh pembunuh bayaran di Calamba, Laguna. Dia terkena peluru dan harus dirawat intensif, namun dia selamat dari kematian.
Beberapa Minggu yang lalu saya menulis sebuah refleksi emosional tentang kematian Pastor Ventura (lihat “Kematian Seorang Imam) dan saya tidak akan pernah berharap bahwa saya akan menulis lagi tentang ini. Namun, hanya beberapa saat setelah sang imam dimakamkan tanpa keadilan, Pastor Nilo kehilangan nyawanya saat menjalankan tugas sucinya. Tentunya, ini bukan pertama kalinya seorang imam dibunuh di Filipina. Sejarah telah menyaksikan pembunuhan imam di negeri ini, tetapi kehilangan tiga nyawa hanya dalam kurun waktu enam bulan benar-benar mengkhawatirkan. Beberapa pertanyaan tersirat dalam benak saya, “Apakah kita (secara khusus umat di Filipina) sekarang hidup dalam waktu yang berbahaya bagi para imam? Apakah menjadi imam adalah panggilan yang berbahaya? Apa gunanya menjadi seorang imam jika hal ini tidak membawa apa pun kecuali penganiayaan dan kematian?” Kita telah meninggalkan segalanya bagi Kristus, keluarga kita, masa depan kita. Haruskah kita menyerahkan hidup kita dengan cara yang keji ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini benar adanya, tetapi saya sadari bahwa pertanyaan-pertanyaan ini juga muncul dari rasa takut. Banyak imam dan bahkan seminaris, termasuk saya, telah hidup dalam kenyamanan seminari, paroki, atau biara kita. Dilengkapi berbagai kebutuhan dasar, dengan kamar individu yang nyaman, dengan pendidikan berkualitas, dengan fasilitas lainnya, kita sebenarnya hidup sebagai bujangan kelas menengah atas. Hak-hak istimewa ini tentunya dimaksudkan untuk membuat kita menjadi imam yang lebih baik dalam pelayanan, tetapi terbiasa dan dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas ini, kita sering kehilangan tujuan utama dari imamat suci. Imamat adalah sakramen yang ditujukan untuk pelayanan. Karena itu, imam ditahbiskan untuk melayani umat Allah secara khusus kebutuhan rohani mereka. Namun, alih-alih melayani, para imam akhirnya dilayani oleh umat Allah. Kadang-kadang, virus klerikalisme dan karierisme menginfeksi pikiran kita. Pentahbisan dan posisi di Gereja dilihat sebagai promosi, karier, atau prestise. Posisi yang lebih baik berarti tunjangan yang lebih baik! Jika imamat hanyalah sebuah cara untuk membuat kita kaya, kita telah kehilangan imamat bahkan sebelum kita mati! Kematian seorang imam adalah sebuah duka, tetapi kehilangan imamat adalah sebuah tragedi.
Uskup Caloocan Mgr Pablo David mengingatkan para seminaris yang bercita-cita menjadi imam, bahwa jika kematian para imam ini memberi mereka keputusasaan, bukan inspirasi, lebih baik bagi mereka untuk melupakan imamat dan meninggalkan seminari sesegera mungkin. Uskup David menyatakan bahwa tiga imam ini bukanlah korban yang tidak berdaya, tetapi para martir yang dengan berani memilih untuk menghadapi konsekuensi berbahaya dari memberitakan Injil dan bekerja untuk keadilan.
Sejak permulaan agama Kristiani, menjadi seorang Kristiani dan terutama imam adalah panggilan yang berbahaya karena kita mengikuti Kristus di jalan salib-Nya. Namun, kematian ketiga imam ini ternyata merupakan terapi kejut yang membangunkan kita dari tidur yang nyaman. Ini adalah seruan bagi banyak dari kita, para seminaris, religius, dan imam untuk melihat kembali apa tujuan dari imamat kita. Apakah kita mati setiap hari pada diri kita sendiri? Apakah kita siap menyerahkan hidup kita kepada Tuhan dan umat-Nya? Apakah kita siap mengikuti Kristus sampai akhir?
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno OP
Baca juga:
Pastor Richmond Nilo imam ketiga yang tewas di Filipina dalam enam bulan terakhir