Sepanjang jalan Pemuda di Kota Semarang, nampak anak-anak, remaja, orang muda hingga dewasa dari berbagai agama menampilkan berbagai atraksi dalam Karnaval Paskah. Ada yang bernyanyi, menari, memainkan drum band, dan ada pula yang menampilkan pertunjukan seni Liong. Peserta dengan aneka pakaian berjalan dari kompleks Gereja Blenduk, gereja Kristen tertua di Jawa Tengah yang dibangun masyarakat Belanda yang tinggal di kota itu tahun 1753, menuju Balaikota Semarang, 27 April 2018.
Sambil berjalan dalam barisan lintas agama, peserta mereka menyanyikan lagu-lagu kebangsaan seperti Garuda Pancasila, Maju Tak Gentar, Bandung Lautan Api, dan Indonesia Pusaka dengan iringan saksofon yang dimainkan oleh Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Keuskupan Agung Semarang (KAS) Pastor Aloys Budi Purnomo Pr.
Selain itu, sejumlah kendaraan hias turut memeriahkan karnaval yang dipadati penonton sepanjang jalan itu. Selain dari sekolah, Gereja maupun kelompok-kelompok kategorial, karnaval itu diikuti juga oleh kelompok lintas agama seperti Persaudaraan Lintas Agama (Pelita), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Jurusan Studi Agama-agama UIN Walisongo, Perhimpunan Penghayat Sapta Darma (Persada), dan Forum Perantara.
Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah Rukma Setyabudi mewakili panitia mengatakan, Karnaval Paskah itu bertujuan untuk membangun keberagaman di kota Semarang sehingga betul-betul hidup dalam kebinekaan dan Pancasila. “Kita di sini berbagi dengan semua warga kota Semarang yang kita cintai. Paskah adalah berbagi kasih di mana kita saling mendukung, saling menolong, gotong royong di sini,” kata Setyabudi.
Walikota Semarang Hendrar Prihadi juga berpesan agar perbedaan bukan membuat kita semakin lemah, tetapi justru dengan perbedaan ini, “Indonesia dan kota Semarang akan menjadi wilayah yang semakin kuat, dan Semarang menjadi lebih baik dan lebih hebat.”
Walikota juga mengajak masyarakat untuk merawat kondusivitas kota Semarang. “Mari rawat kota ini, kota yang kita cintai dan kita banggakan, kota tempat kita setiap hari beraktivitas, kota yang hari ini butuh banyak tangan untuk membangun menjadi Semarang hebat, senantiasa guyub.”
Walikota juga berharap agar warisan budaya yang selama ini sudah ada dalam diri orang Semarang yakni saling menghormati, saling menghargai, gotong royong, “dapat hidup terus di bumi kota tercinta kita, di kota Semarang.”
Sementara itu Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko dalam renungannya mengatakan, bahwa perayaan bertema “Dengan Kebangkitan-Nya Kita Srawung dalam Keberagaman” itu bertujuan supaya semua menyadari keberagaman suku, bahasa, bahkan agama di Indonesia.
Perbedaan itu, menurut Mgr Rubiyatmoko, bisa menjadi bahan konflik kalau memang perbedaan yang ditonjolkan dan orang tidak bisa saling menerima. “Namun, ketika semua duduk bareng, saling mengagumi, saling memahami, saling menerima, lalu akhirnya yang terjadi adalah jabat tangan, maju bareng, melangkah bersama dalam sebuah harmoni dan dalam kegembiraan,” kata uskup agung itu seraya menegaskan bahwa perayaan itu mengajak semua orang membangun kebersamaan di dalam perbedaan. “Caranya dengan srawung,” katanya.
Mgr Rubiyatmoko juga mendorong umat Kristiani supaya tidak hanya bersahabat dengan teman-teman Kristiani, melainkan “ambyur, srawung di tengah masyarakat di mana kita berada dan mencoba membawa kebangkitan Kristus dalam arti membawa rekonsiliasi, kedamaian dalam kehidupan bersama-sama.”
Karnaval sudah usai, dan peserta pulang membawa pesan Mgr Rubiyatmoko untuk “tinggal di tengah masyarakat, srawung dengan sebanyak mungkin orang, membangun kebersamaan dalam keberagaman.” (Lukas Awi Tristanto)