Duta Vatikan untuk PBB Uskup Agung Bernadito Auza menyelenggarakan sebuah acara untuk melindungi dan meningkatkan hak asasi manusia dan martabat warga suku pedalaman Amazon di Brazil seraya meminta dengan tegas agar masyarakat adat itu selalu diperlakukan sebagai mitra yang bermartabat dalam pengembangan dan nasib mereka, disertai persetujuan bebas, sebelumnya dan diinformasikan dalam semua hal yang menyangkut mereka.
“Dalam praktiknya, ini berarti menjunjung hak kolektif masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka,” kata Duta Vatikan dan Pengamat Tetap Tahta Suci untuk PBB di New York, 19 April 2018, seperti dilaporkan oleh Robin Gomes dari Vatican News.
Uskup Agung Auza berbicara dalam pidato pembukaan acara khusus bertema “Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Amazon: Jaringan-Jaringan untuk Menanggapi dan Memulikannya,” yang diselenggarakan oleh Tahta Suci.
Disuarakan juga pada kesempatan itu tentang keprihatinan Paus Fransiskus bagi masyarakat asli, khususnya yang berasal dari Amerika Latin, yang tanah, budaya, hak dan martabatnya, “terabaikan atau bahkan diinjak-injak demi kepentingan ekonomi orang lain.” Hal itu terutama berlaku di wilayah Amazon yang luas, hutan tropis terbesar di dunia, tempat tinggal 2,8 juta penduduk asli dengan berbagai kekayaan budaya mereka.
Menurut catatan Uskup Agung Auza, dalam kunjungan ke Brasil tahun 2013 Paus memuji kehadiran Gereja di Amazon, tidak seperti yang lain yang datang untuk menggotong segala sesuatu yang mungkin bisa mereka bawa. Secara khusus Paus meminta untuk mendorong karya Gereja terutama melalui pelatihan para pekerja Gereja, guru-guru dan klerus pribumi untuk mengkonsolidasikan “wajah Amazon Gereja.” Oleh karena itu, Paus memutuskan untuk melaksanakan Sinode Para Uskup untuk wilayah Amazon yang akan diadakan di Roma bulan Oktober 2019.
Diplomat Tahta Suci itu mengingat kunjungan Paus Fransiskus 19 Januari ke jantung Amazon di Puerto Maldonado di Pegunungan Andes di Peru. Di sana Paus mengecam eksploitasi ekstraktif atas tanah adat dan sumber dayanya demi kepentingan bisnis yang besar, dan juga gerakan tertentu berkedok menjaga hutan yang menyebabkan situasi penindasan bagi penduduk asli.
Menghadapi hal ini, Uskup Agung Auza menghimbau dua langkah. Pertama, katanya, perlu dipecahkan “paradigma historis yang memandang Amazon sebagai sumber persediaan yang tak habis-habisnya bagi negara-negara lain tanpa mempedulikan penghuninya.” Kedua, “dunia harus mengakui bahwa penduduk asli dan masyarakat sendiri adalah penjaga tanah dan budaya mereka.”
Uskup agung itu mendesak adanya jaminan bahwa suara masyarakat didengar dan mereka diberi ruang politik, ekonomi dan sosial yang diperlukan untuk menegaskan identitas mereka serta hak mereka guna menjadi agen pengembangan dan nasib diri mereka sendiri.(pcp berdasarkan Vatican News)