Renungan untuk 14 Perhentian Via Crucis atau Jalan Salib di Colosseum Roma, Jumat Agung malam, 30 Maret 2018, disusun oleh sekelompok orang muda Katolik (OMK) sebagai bagian dari persiapan untuk Sinode Para Uskup bulan Oktober. Tema-temanya berkisar dari migrasi hingga mengomunikasikan Yesus di internet. Namun, seperti biasanya Jalan Salib itu diakhiri dengan doa, yang dibacakan oleh Paus dan yang sering secara khusus ditulis sendiri oleh Bapa Suci. Tahun ini, Paus Fransiskus memilih memfokuskan doanya pada tiga kata kunci: “rasa malu, pertobatan, dan pengharapan.”
Tradisi Jalan Salib itu, menurut laporan Seàn-Patrick Lovett dari Vatican News berasal dari Paus Benediktus XIV di abad ke-18 dan dihidupkan kembali oleh Paus Paulus VI tahun 1964 dan sejak saat itu dirayakan setiap tahun oleh Paus.
Dalam doanya Paus mengatakan, “Kami punya banyak alasan untuk merasa malu, karena lebih memilih kekuasaan dan uang daripada Tuhan, karena lebih menyukai “keduniawian bukan keabadian,” karena meninggalkan bagi orang muda “dunia yang hancur karena perpecahan dan perang, dunia yang dilanda keegoisan tempat orang muda, orang yang rentan, orang sakit, dan orang tua terpinggirkan.”
Dalam doa itu Paus mengatakan, rasa malu karena semua orang “membiarkan diri mereka ditipu oleh ambisi dan kemuliaan yang sia-sia,” termasuk beberapa pelayan Gereja. Kami merasa malu, “karena kehilangan rasa malu,” kata Paus.
Pertobatan kami, lanjut doa Paus, terkait dengan kepastian bahwa hanya Allah yang dapat menyelamatkan kita dari kejahatan, dari “kebencian, keegoisan, kesombongan, keserakahan, balas dendam, penyembahan berhala.” Hanya Dia yang dapat merangkul kita dan mengembalikan kita kepada martabat kita sebagai anak-anak-Nya. “Pertobatan lahir dari rasa malu kita, dari kepastian bahwa hati kita akan selalu tetap gelisah sampai ditemukan dalam diri kalian, satu-satunya sumber pemenuhan dan perdamaian,” Paus berdoa. Pertobatan, lanjut Bapa Suci, muncul karena “menyadari kecilnya kita, ketiadaan kita, kesombongan kita” dan membiarkan diri kita dipanggil untuk bertobat.
Sementara itu, pengharapan “menyalakan kegelapan dari keputusasaan kita,” karena kita tahu bahwa satu-satunya ukuran kasih Allah “adalah mencintai tanpa batas.” Paus Fransiskus berdoa agar pesan Injil bisa terus mengilhami banyak orang, “karena tahu bahwa hanya kebaikan yang bisa mengalahkan kejahatan dan dosa, hanya pengampunan yang bisa mengatasi kebencian dan balas dendam, hanya pelukan persaudaraan yang bisa membuyarkan permusuhan dan ketakutan akan yang lain.” Pengharapan ini meluas kepada Gereja yang selalu bisa menjadi “model kemurahan hati yang tidak egois, tempat berlindung yang aman, dan sumber kepastian dan kebenaran – terlepas dari semua upaya untuk mendiskreditkannya,” demikian Paus berdoa.
Paus mengakhiri setiap renungan itu dengan serangkaian permohonan kepada Tuhan Yesus, agar “memberikan rahmat kepada kita untuk merasakan rasa malu yang suci … pertobatan yang suci … dan pengharapan yang suci … selalu.” (paul c pati berdasarkan Vatican News)
Foto-foto dari Vatican News