Home OPINI Gerakan APP Nasional 2018: Membangun Solidaritas Sosial demi Keutuhan Ciptaan

Gerakan APP Nasional 2018: Membangun Solidaritas Sosial demi Keutuhan Ciptaan

0

APP

Gerakan APP Nasional 2018

Membangun Solidaritas Sosial demi Keutuhan Ciptaan

Oleh Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) KWI

Pengantar

“Melindungi dan Mengelola Sumber Hak Hidup Ekonomi Masyarakat Lokal” menjadi arah dasar gerak Kerasulan PSE KWI yang visioner, profetis dan profitis. Arah dasar ini mendasarkan diri pada spiritualitas inkarnatoris-transformatif yang berpangkal dari misteri penjelmaan Allah dalam hidup manusia, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh. 1, 14). Dalam proses inkarnasi itu, Firman Allah menunjukkan solidaritas dengan manusia, dengan “mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Fil. 2, 7), menunjukkan semangat belarasa kepada mereka yang menderita (Mat. 9, 36), dan mengupayakan hidup baru dan berkelimpahan dengan membawa kabar baik bagi orang miskin, pembebasan bagi tawanan, penglihatan bagi orang buta, dan pembebasan bagi orang tertindas dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk. 4, 18).

Kehadiran Allah dalam realitas alam ciptaan membuat kehidupan sehari-hari menjadi situs rahmat, tempat kita berjumpa muka dengan Allah. Tidak ada lagi hal duniawi yang melulu duniawi; segala sesuatu merupakan undangan untuk berjumpa dengan-Nya. Oleh karena itu, menata, menjaga, memelihara dan mengembangkan alam ciptaan untuk kesejahteraan hidup bersama dan keberlangsungan generasi mendatang demi keutuhan ciptaan menjadi bentuk tanggapan atas perjumpaan itu. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Centesimus Annus (1991) menegaskan bahwa manusia sejatinya melindungi dan menyelamatkan keadaan ekologi manusiawi, melindungi jenis-jenis hewan yang terancam punah dan keseimbangan umum bumi. Dalam dimensi ini, Paus menitikberatkan terhadap tanggung jawab manusia terhadap alam ciptaan. Bertanggung jawab berarti merubah cara pandang dan perilaku terhadap alam semesta yang mempunyai nilai dalam dirinya yang harus dihargai.

Alam tidak boleh dilihat sebagai obyek yang harus dikeruk keberadaannya, melainkan menjadi subyek dalam berpartner demi terciptanya kehidupan yang harmonis. Kehidupan harmonis ditandai dengan relasi yang adil dan penuh hormat antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam ciptaan. Oleh karena itu, gerakan APP Nasional tahun 2018 mengambil tema “Membangun Solidaritas Sosial Demi Keutuhan Ciptaan” yang sekaligus sebagai gerak konkret dalam tahapan mewujudkan Arah Dasar Kerasulan PSE KWI “Melindungi dan Mengelola Sumber Hak Hidup Ekonomi Masyarakat Lokal”.

Solidaritas Sosial:

CitaCita dan Harapan Demi Keutuhan Ciptaan

Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada keadaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas sosial adalah adanya rasa saling percaya cita-cita bersama kesetiakawanan, dan rasa sepenanggungan di antara individu sebagai anggota kelompok, karena adanya perasaan emosional dan moral yang dianut bersama, yang dapat membuat individu merasa nyaman dengan kelompok atau komunitas dalam masyarakat. Kelompok-kelompok sosial sebagai tempat berlangsungnya kehidupan bersama, masyarakat akan tetap ada dan bertahan ketika dalam kelompok sosial tersebut terdapat rasa solidaritas di antara anggota-anggotanya.

Dasar solidaritas adalah kesatuan, persaudaraan, saling percaya, saling hormat menghormati yang mendorong untuk bertanggung jawab dan memperhatikan kepentingan pembangunan hidup bersama atas alam ciptaan yang dianugerahkan bagi hidup manusia dan bagi keberlangsungan generasi mendatang. Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ menegaskan, “Bahwa kita tidak bisa bicara tentang pembangunan berkelanjutan tanpa solidaritas antar generasi manusia, karena bumi yang kita huni adalah juga milik generasi mendatang. Kitalah yang pertama-tama berkepentingan untuk mewariskan planet yang layak huni bagi generasi selanjutnya. Oleh karena itu, selain solidaritas yang adil antar generasi, juga mendesak membaharui solidaritas intra generasi”.

Dalam solidaritas sosial, sikap dan tindakan hidup dilandasi atas pengertian akan kesadaran akan tanggung jawab dan partisipasi sosial untuk peduli dan terlibat dalam realitas sosial manusia dengan seluruh keutuhan ciptaan yang ditandai dengan keharmonisan hidup antara manusia dengan manusia, manusia dengan seluruh ciptaan dan manusia dengan Sang Pencipta. Hubungan ini didasarkan atas Kerahiman Allah. Kerahiman Allah adalah kepedulian Allah yang penuh kasih kepada manusia. Allah menginginkan manusia hidup sejahtera, dan menghendaki manusia hidup bahagia, penuh sukacita dan damai. Karena itu, syukur atas keutuhan ciptaan dinyatakan dengan tindakan keadilan terhadap seluruh ciptaan. Keadilan merupakan sikap kesediaan manusia untuk menghindari perusakan lingkungan hidup, dan tindakan-tindakan yang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan hidup bertentangan dengan keadilan.

Manusia dengan ciptaan lainnya, hendaknya hidup saling melengkapi. Kebersamaan ini menuntut penghormatan dan penghargaan hidup satu sama lain dalam memberikan kontribusi positif. Peran dan kontribusi manusia terhadap alam ciptaan adalah dengan bertanggung jawab melestarikan kesinambungan hidup dengan ciptaan Tuhan lainnya. Dengan demikian tanggung jawab manusia bukan hanya untuk menikmati segala sesuatu yang dibutuhkan dari ciptaan lain namun mengelolanya dengan baik untuk kelangsungan hidup dari generasi yang satu ke generasi yang lain.

Manusia Bagian Integral dari Alam Ciptaan

Alam memelihara kehidupan manusia. Alam menyediakan segala yang diperlukan manusia untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Bahkan harus diakui kehidupan manusia di bumi ini sepenuhnya bergantung pada alam. Manusia dipanggil untuk mengambil bagian dalam memelihara alam. Tanpa pemeliharaan itu, hidup manusia sendiri akan terancam, karena alam merupakan sumber kehidupannya. Sebagai citra Allah, manusia adalah rekan kerja Allah dalam memelihara alam semesta. Hubungan manusia dengan seluruh alam merupakan partisipasi dalam hubungan Allah dengan seluruh ciptaan. Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ menegaskan perlunya kesadaran relasi yang khusus antara alam dan masyarakat yang menghuninya. Hal ini mencegah manusia untuk memahami alam sebagai sesuatu yang terpisah darinya atau hanya sebagai kerangka kehidupan manusia. Manusia adalah bagian dari alam, termasuk di dalamnya, dan terjalin dengannya.

Alam ciptaan, bumi dan segala isinya adalah subyek moral yang harus dihargai, tidak hanya alat dan obyek yang bisa dimanfaatkan manusia sesuka hati karena alam ciptaan bernilai pada dirinya sendiri. Setiap ciptaan bagian dari keutuhan ciptaan dan merupakan bagian integral dari komunitas kehidupan. Manusia harus menyadari bahwa kuasa yang diberikan Allah kepadanya bukanlah kuasa untuk memanipulasi dan mendominasi. Peran Allah dalam mencipta dan memelihara seluruh alam, juga menjadi tugas manusia.

Setelah menciptakan laki-laki dan perempuan, “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Manusia diciptakan karena cinta, menurut gambar dan rupa Allah. Di antara seluruh ciptaan manusia merupakan puncak ciptaan yang diberi kuasa atas bumi. Walaupun demikian, manusia perlu mengingat bahwa ia adalah bagian dari alam semesta. Ia diciptakan dari tanah, hidup dari tanah, dan akan kembali menjadi tanah. Oleh karena itu, penguasaan atas alam ciptaan oleh manusia ditempatkan dalam pengertian mengusahakan dan memelihara bumi (bdk. Kej. 2,15).

Mengusahakan berarti menggarap, membajak, atau mengerjakan. Memelihara berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi. Hal ini berarti ada relasi tanggung jawab timbal balik antara manusia dan alam. Setiap komunitas dapat mengambil apa yang mereka butuhkan dari harta bumi untuk bertahan hidup, tetapi juga memiliki kewajiban untuk melindungi bumi dan menjamin keberlangsungan kesuburannya untuk generasi-generasi mendatang. Tanggung jawab terhadap bumi milik Allah ini menyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal budi, menghormati hukum alam dan keseimbangan yang lembut di antara makhluk-makhluk di dunia ini, sebab “Dia memberi perintah, maka semuanya tercipta. Dia mendirikan semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi ketetapan yang tidak dapat dilanggar” (Laudato Si art. 68). Alam semesta sebagai keseluruhan, dalam aneka hubungannya, mengungkapkan kekayaan Allah yang tak terbatas.

Kegagalan Manusia Memelihara Keutuhan Ciptaan

Penyalahgunaan ciptaan dimulai ketika manusia tidak lagi mengakui yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri, ketika manusia tidak melihat apapun kecuali dirinya sendiri.

Manusia memandang dirinya sendiri sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem alam ciptaan dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan ekonomis manusia. Oleh karenanya, alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan ekonomis manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.

Atas nama pembangunan, manusia dengan mudah menghabiskan isi alam tanpa memikirkan kelestariannya. Ketika diperlakukan demikian, alam akan menderita dan tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk hidupnya. Manusia tidak dapat lagi hidup dalam damai dengan alam. Ketika habitat binatang liar diganggu, binatang liar itu pun akan menjadi gangguan bagi manusia. Ketika hutan dibabat habis, orang harus bersiap menghadapi kekurangan air atau sebaliknya menghadapi datangnya banjir. Dalam kenyataannya pekerjaan manusia dalam mengolah alam telah menjadi eksploitasi sumber daya alam yang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, mengancam kelestarian alam ciptaan, dan bahkan membahayakan kehidupan manusia sendiri. “Di balik perusakan alam yang bertentangan dengan akal sehat ada kesesatan antropologis, yang sayangnya memang sudah tersebar luas. Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerjasama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya, tetapi justru diperlakukan secara sewenang-wenang” (Centesimus Annus art.37).

Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di segala bidang yang menyangkut kehidupan manusia. Pembangunan dalam prosesnya tidak terlepas dari penggunaan sumber daya alam, baik sumber daya alam yang terbarukan maupun sumber daya alam tak terbarukan. Seringkali di dalam pemanfaatan sumber daya alam tidak memperhatikan kelestariannya, bahkan cenderung memanfaatkan dengan sebanyak-banyaknya. Pemanfaatan bumi untuk tujuan ekonomi, serta perkembangan teknologi yang tak terkontrol dan tak tertata dalam keseluruhan rencana kemajuan yang sungguh layak manusiawi, seringkali merupakan ancaman bagi lingkungan alami manusia, mengasingkannya dari hubungan dengan alam, memisahkannya dari padanya (Redemptor Hominis art.15).

Beberapa bentuk kegagalan manusia dalam memelihara keutuhan alam ciptaan; terjadinya pencemaran (pencemaran udara, air, tanah, dan suara) sebagai dampak adanya kawasan industri, terjadinya banjir, sebagai dampak buruknya drainase atau sistem pembuangan air dan kesalahan dalam menjaga daerah aliran sungai dan dampak pengrusakan hutan, terjadinya tanah longsor, sebagai dampak langsung dari rusaknya hutan, penebangan hutan secara liar (penggundulan hutan), pembuangan sampah di sembarang tempat dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan di luar batas. Sesungguhnya, kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat lebih berdampak terhadap pihak yang paling lemah di bumi: “Baik pengalaman hidup sehari-hari maupun penelitian ilmiah menunjukkan bahwa efek paling parah dari semua perusakan lingkungan diderita oleh kaum miskin” (Laudato Si art. 48).

Membangun Gerakan Solidaritas Sosial bagi Keutuhan Ciptaan

Solidaritas sosial adalah sikap batin manusia yang bersumber dari rasa cinta kepada kehidupan bersama yang diwujudkan dalam tindakan nyata berupa pengorbanan dan kesediaan menjaga, membela, maupun melindungi terhadap kehidupan bersama. Alam ciptaan merupakan harta kehidupan bersama, warisan seluruh umat manusia, tanggung jawab semua orang. Oleh karena itu, Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ menegaskan “kita tidak bisa lagi berbicara tentang pembangunan berkelanjutan tanpa solidaritas antargenerasi. Kita berbicara tentang solidaritas antargenerasi bukan sebagai sikap opsional, tetapi sebagai soal mendasar keadilan, karena bumi yang kita terima juga milik mereka yang akan datang”.

Ungkapan solidaritas sosial antargenerasi itu harus nyata dalam tindakan konkret dan dalam perbuatan yang bisa dirasakan, sebagaimana solidaritas Allah melalui Putra-Nya yang tanpa batas bagi keselamatan manusia. Intinya, terungkap dalam Sabda Yesus, “Sebab saat Aku lapar, kamu memberi Aku makan; saat Aku haus, kamu memberi Aku minum; saat Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; saat Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; saat Aku sakit, kamu merawat Aku; saat Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku”(Mat. 25, 35-36). Semangat gerak solidaritas ini juga bisa diterapkan bagi semua ciptaan. Dengan perbuatan nyata, rela berbagi, solidaritas sosial menjadi awal untuk mewujudkan gerakan keutuhan ciptaan. Oleh karena itu, perlindungan atas semua ciptaan harus menjadi bagian integral dari proses pembangunan dan tidak dapat dipandang lepas dari itu.

Penguasaan yang diberikan Pencipta bukanlah kekuasaan mutlak. Selain itu, manusia tidak dapat berbicara tentang kebebasan untuk “menggunakan dan menyalahgunakan” atau mengatur hal-hal semaunya. Pembatasan yang sejak semula diberikan pencipta sendiri dan secara simbolis diungkapkan dengan larangan “tidak makan buah pohon” (bdk. Kej. 2, 16-17) menunjukkan dengan cukup jelas. Bila menyangkut alam, kita tunduk tidak hanya pada hukum biologis, melainkan juga hukum moral yang tidak dapat dilanggar tanpa mendapat hukum. Kesadaran akan hal ini, dan pengakuan dosa-dosa yang sudah dibuat terhadap alam ciptaan menjadi dasar untuk mengawali gerakan kesetiakawanan sosial (solidaritas sosial) bagi keutuhan ciptaan. “Bila manusia menghancurkan keanekaragaman hayati ciptaan Tuhan; bila manusia mengurangi keutuhan bumi ketika menyebabkan perubahan iklim, menggunduli bumi dari hutan alamnya atau menghancurkan lahan-lahan basahnya; bila manusia mencemari air, tanah, udara dan lingkungan hidupnya – semua ini adalah dosa”. Sebab “kejahatan terhadap alam adalah dosa terhadap diri kita sendiri dan dosa terhadap Allah” (Laudato Si’ art. 8).

Penutup

Seluruh alam semesta adalah saudara dalam satu pencipta. Di antara seluruh ciptaan, manusia merupakan puncak ciptaan yang diberi kuasa atas bumi. Walaupun demikian, manusia perlu mengingat bahwa ia adalah bagian dari alam semesta. Manusia dipanggil untuk mengambil bagian dalam memelihara alam. Tanpa pemeliharaan itu, hidup manusia sendiri akan terancam, karena alam merupakan sumber kehidupannya. Hubungan manusia dengan seluruh alam merupakan partisipasi dalam hubungan Allah dengan seluruh alam ciptaan. Kesetiakawanan sosial menjadi sikap dasar dalam membangun hubungan tersebut. Dengan demikian, akan terjadi perubahan gerak dari keserakahan menjadi kemurahan hati, dari pemborosan menjadi semangat berbagi, dan ini akan menjadi gerakan yang secara bertahap dari apa yang diinginkan menuju apa yang dibutuhkan demi membangun keutuhan ciptaan.

Komisi PSEKWI

Jl Cut Mutiah 10, Menteng, Jakarta

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version