Home RENUNGAN Jumat, 31 Juli 2015

Jumat, 31 Juli 2015

0

31-Juli-KWI-R

PEKAN BIASA XVII (H)

Peringatan Wajib Santo Ignatius Loyola (P)
Santo Yohanes Collumbini; Santo Germanus

Bacaan I: Im 23:1.4-11.15-.27.34b-37

Mazmur: 81:3-66.10-11b; R:2a

Bacaan Injil: Mat. 13:54-58

Pada suatu hari Yesus kembali ke tempat asal-Nya. Di sana Ia me­nga­jar orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata: ”Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mukjizat-mukjizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari mana diperoleh-Nya semuanya itu?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: ”Seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya.” Dan karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mukjizat diadakan-Nya di situ.

Renungan

Ada cara pandang yang cukup lazim berkembang di tengah masyarakat saat ini yakni;  seseorang dikatakan sukses apabila ia mempunyai kuasa, mempunyai banyak uang dan apabila ia menjadi populer/terkenal. Karena itu tanpa kenal lelah orang mengejar ketiga hal itu. Bahkan sejak kecil anak-anak sudah dikondisikan dengan hal-hal seperti itu. Anak-anak diarahkan supaya bisa meraih bintang. Dampaknya, orang akan dinilai dari cara pandang masyarakat seperti itu. Singkatnya, cara pandang yang berkembang di tengah masyarakat itu menjadi barometer dalam menilai seseorang.

Kita bisa memahami ketika orang se-asalnya menilai Yesus. Sangat boleh jadi mereka terperangkap oleh cara pandang yang berkembang di tengah masyarakat kampung-Nya. Seseorang itu dinilai berdasarkan latarbelakang keluarga darimana dia berasal. Keadaan keluarga seolah-olah menjadi kondisi yang tidak akan pernah berubah sampai orang-orang yang berasal dari sana tidak dapat berubah pula. Keluarga, orangtua dan sanak saudara Yesus mereka kenal, tidak lebih dari seorang tukang kayu. Karena itu, mana mungkin Ia menjadi sangat berwibawa ketika berbicara di depan mereka. Di satu pihak mereka kagum, tetapi di pihak lain tidak menerima dan bahkan menolak-Nya. Cara pandang seperti sangat boleh jadi menjadi pilihan hidup kita juga. Kita cenderung menilai orang dari latar belakangnya, dari keluarga seperti apa dia berasal.

Tuhan, ajarilah kami kebijaksanaan-Mu, agar mampu menilai sesama kami dengan bijaksana pula, sebagaimana adanya mereka. Amin.

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version