Home PLURALISME “Sang Penyambung Lidah Gereja” yang disegani berpulang ke rumah Bapa

“Sang Penyambung Lidah Gereja” yang disegani berpulang ke rumah Bapa

0

_MG_1119

Tiba-tiba telpon seluler saya berdering siang hari itu. Batinku tersentak mendengar berita duka bahwa Fransiskus de Sales Arfianto Satriadi, yang akrab dipanggil Totong, 65 tahun, telah berpulang ke rumah Bapa, karena lima hari sebelumnya saya bertemu dengan dia di gereja dalam keadaan masih segar bugar. Saat itu kami duduk berdampingan dalam perayaan Ekaristi.

Meskipun belum lama mengenalnya, namun saya mempunyai banyak kenangan bersamanya. Orangnya supel, suka mengganggu, murah hati, dan sangat peduli dengan semua orang termasuk kaum religius, para imam dan suster. Bahkan Provinsial Kongregasi Suster-Suster Santo Dominikus (OP) di Indonesia Suster Anna Marie OP pernah mengatakan, “beliau ambil andil akan keberadaan para suster Santo Dominikus di Majenang.”

Maka tak heran kalau para suster OP yang pernah bertugas di Majenang, Jawa Tengah, turut datang memberikan penghormatan terakhir, dan larut dalam percakapan tentang perjuangan Totong untuk keberadaan para suster OP di sana.

Totong adalah seorang keturunan Tionghoa yang beristerikan Fransiska Ursula Inggriani dan dikaruniai dua anak laki-laki, Viktor Dani Satriadi dan Petric Edwin Satriadi. Dani adalah designer dan Edwin sibuk dalam dunia bisnis. Totong meninggal karena pendarahan di otak. Dalam ketidakberdayaan, isterinya berucap, “Curah hujan lebat disertai petir di hari Kamis 4 Juni adalah tanda ketidakrelaan alam melepas kepergian Pak Totong ke rumah Bapa.”

Totong meninggal 4 Juni 2015 dan jenazahnya disemayamkan di rumah duka selama empat hari mengikuti tradisi etnis Tionghoa. Selama empat hari, para pembelasungkawa memenuhi rumah duka. Selama itu pula masyarakat dari berbagai kalangan, baik pribumi maupun Tionghoa, Katolik maupun non-Katolik datang memberikan penghormatan terakhir.

Saya tertegun melihat begitu banyak umat Muslim juga berdoa mendekati peti jenazah hingga menyentuh jenazah. Ini pemandangan langka dan sangat mengharukan di saat hubungan antaragama sedang kurang harmonis.

Selama empat hari pula, setiap pukul 8 malam dirayakan Misa. Hari pertama dipimpin Kepala Paroki Santa Theresia Majenang Pastor Sulpicius Parjono Pr, hari kedua oleh Pastor Charles Patrick Edward Burrows OMI yang akrab dipanggil Pastor Carolus OMI, hari ketiga oleh Pastor Geovani Dodi Kurnianto Pr, dan hari terakhir kembali dipimpin oleh Pastor Parjono.

Dalam kehidupan bermasyarakat, Enang dari Bidang Pelayanan DPP Paroki Majenang bersaksi, “Totong aktif dalam kepengurusan berbagai organisasi. Dia pernah ketua RT dan mendapat penghargaan dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), koordinator Organisasi Radio Amatir Indonesia(ORARI), ketua Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS), dan ketua Paguyuban Warga Pengusaha Pertokoan (PWPP) yang dibentuk untuk mempererat hubungan pengusaha keturunan dan pribumi.

Ketika Indonesia mengalami krisis moneter (krismon), Majenang tak luput dari kerusuhan dan penjarahan. Saat itu, beliau memberi akomodasi bagi para anggota TNI yang mengamankan Majenang. Sebagai warga negara yang baik, meskipun warga keturunan, beliau pernah menjadi komandan pleton hansip yang membaharui pengamanan Majenang, jelas Enang.

Berbagai kegiatan yang dilakoninya membuat dia disegani oleh kalangan Muslim, pejabat sipil, dan pemerintahan. Bupati Tato Pamuji dan kalangan militer terlihat hadir memberikan penghormatan terakhir. Artis Syahrini masuk dalam deretan ucapan belasungkawa.

Totong adalah sosok pribadi nasionalis yang dapat merangkul semua golongan agama dan etnis, semua warga tanpa membedakan yang miskin maupun yang kaya. Sebagai umat Katolik, beliau juga mengurusi Gereja. Bila ada permasalahan dengan pemerintahan daerah, beliau menjadi pemersatu dan dari berbagai pengalaman hidupnya dalam Gereja dengan pemerintah dan umat beragama lain, saya menilai bahwa Totong telah menjadi “Sang Penyambung Lidah Gereja”.

Sebagai seorang etnis Tionghoa, beliau luwes menerobos sekat-sekat dalam masyarakat yang mengganggu keharmonisan dalam kebersamaan. Seorang pelayat bernama Tedi berkata, “Setiap ada kampanye pemilu, terlebih dari yang berbendera hijau, satu-satunya toko yang berani buka hanya Toko Matahari milik Pak Totong yang ternyata aman dan tidak ada yang berani mengusiknya.”

Esol, salah satu sopirnya juga berkata, “Kami para karyawan menangis, karena Pak Totong yang humoris adalah sosok pribadi yang sangat peduli dengan kami.” Karyawan dan relasinya mengenal beliau sebagai orang yang tegas tetapi “kaya hati”.

Gereja sungguh kehilangan seorang tokoh yang mampu mengayomi. Gereja sulit mencari sosok penggantinya. Berpulangnya Totong ke pangkuan Bapa di surga menggoreskan duka mendalam bagi Gereja, masyarakat dan terutama bagi istri dan kedua anaknya.

Bupati pun merasa kehilangan dengan mengatakan, “Kami semua sangat kehilangan seorang sahabat yang baik hati dan suka menolong.” Namun, mengutip khotbah Uskup Purwokerto Mgr Julianus Sunarka SJ, bupati menegaskan, peristiwa kematian tidak perlu ditakuti atau disesali, “karena peristiwa kematian sama seperti orang pulang ke rumah. Hanya orang yang tahu jalan bisa sampai ke rumahnya, maka penting bagi kita untuk berinstrospeksi diri, sejauh mana kita telah berbuat baik bagi sesama.”

Menurut bupati, Totong sudah melakukan semuanya. “Dalam pembicaraan santai, Pak Totong pernah menyampaikan kepada saya, bahwa dia ingin mati dalam keadaan tidur supaya tidak merepotkan orang lain dan ingin menjadi suami yang baik bagi isterinya dan bapak yang baik bagi anak-anaknya.”

Dalam homili Misa pemberangkatan jenazah, Pastor Parjono mengulang dan menegaskan sambutan bupati bahwa peristiwa kematian sama dengan pulang ke rumah, hanya orang yang tahu jalan yang bisa sampai ke rumahnya.

“Seorang ibu, yang pulang dari pasar, selalu membawa oleh-oleh untuk anaknya. Demikian pula yang dibuat oleh Totong. Dia pulang ke rumah Bapanya dengan membawa banyak oleh-oleh. Semasa hidupnya, beliau banyak melakukan kebaikan bagi keluarga, Gereja, dan masyarakat. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai orang yang keras tetapi baik hati dan selalu membawa sukacita. Beliau menghayati hidup imannya. Beliau menghayati karya penebusan Yesus Kristus. Totong diberikan oleh Bapa untuk sesamanya, seperti Yesus diberikan oleh Bapa bagi umat manusia,” kata imam itu.

Sesuai tradisi Tionghoa, dirayakan pula peringatan dua puluh satu hari. Dalam homili Misa peringatan itu, Kepala Paroki Katedral Purwokerto Pastor Boni Abas Pr mengatakan, “Kematian adalah awal untuk memasuki hidup baru. Bapa yang mencipta, Bapa yang memelihara, dan Bapa yang mengambil, manusia tidak bisa protes. Totong sudah berbahagia di surga, mengapa kita bersedih? Kita semua nanti akan menghadap Bapa. Persoalannya, apakah kita siap mempertanggungjawabkan perbuatan kita bila dipanggil Tuhan? Mari kita yang masih berziarah berbuat baik bagi sesama.”(Suster Charlie OP)

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version