Home PLURALISME Yang pernah menjadi santri mestinya tidak anarkis

Yang pernah menjadi santri mestinya tidak anarkis

0

Sharing di Ponpes1

Selain belajar agama, di pesantren para santri belajar menghormati, rendah hati dan bergotong royong. Salah satu bentuk penghormatan ditunjukkan para santri dengan mencium tangan pengasuhnya. Orang yang pernah menjadi santri mestinya tidak akan bertindak anarkis. Mereka akan mengembangkan semangat cinta damai.

Ketua Badan Pengelola Pondok Pesantren Aji Mahasiswa Al Muhsin Yogyakarta Anis Masduki menyampaikan hal itu kepada sekelompok orang muda Katolik (OMK) dari Kevikepan DIY, Keuskupan Agung Semarang yang mengunjungi pondok pesantren itu untuk belajar tradisi pesantren baru-baru ini.

Dalam kunjungan itu, 14 OMK itu diajak berbaur mengikuti kegiatan para santri. Para OMK puteri bergabung dengan para santri putri dan para OMK putera dengan para santri putera. Selain itu mereka juga mengamati bagaimana para santri yang belajar menghafal Al Quran.

Menurut Mohammad Taufik, salah seorang pengajar di pondok pesantren itu, Al Quran menjadi sumber ajaran Islam, “maka hendaknya para santri menghafal Al Quran, yang nantinya menjadi rujukan hidup.”

Sesudah berbaur, OMK yang didampingi Pastor Francis Purwanto SCJ itu mengadakan sarasehan dan berdiskusi dengan para santri guna saling mengenal tradisi agama dan tata cara perkawinan agama mereka masing-masing.

Menurut Anis Masduki, pondok pesantren itu menyambut baik setiap upaya silaturahmi dari berbagai agama. “Pesantren ini sudah terbiasa dengan perbedaan dan heterogenitas. Kita juga sudah terbiasa dengan perbedaan mazhab,” katanya.

Selanjutnya Anis berkisah mengenai pengalaman belajar di Mesir. Dalam salah satu literatur yang dia pelajari, dia pernah membaca kisah kerja sama antara umat Islam dan Kristen baik dalam membangun masjid maupun dalam membangun gereja.

“Itu contoh bagi kita bagaimana saling berhubungan dan bekerja sama dengan baik, bahkan pada isu yang mungkin sangat sensitif seperti membangun gereja dan membangun masjid,” katanya seraya menambahkan bahwa persahabatan merupakan manifestasi dari nilai-nilai sejarah yang melekat dengan kehidupan para santri.

Seorang santri bernama Nafsah berkisah mengenai pertemanan dengan seorang beragama Katolik. Ia mengatakan pertemanan itu berjalan dengan sangat baik bahkan di antara keduanya saling berbagi pengetahuan mengenai agamanya masing-masing.

Pastor Purwanto berterima kasih atas kesempatan untuk bisa saling berkenalan dan berdialog dalam live-in sehari tanggal 6 September 2014 itu. “Kehadiran kami ke sini semoga bisa menjadi awal dari sebuah perjumpaan manusiawi,” harap imam itu.

Meski kegiatan dialog itu hanya diikuti sedikit orang, Andreas Joko Wicoyo berharap agar kabar baiknya menyebar ke berbagai penjuru tempat dan menginspirasi banyak orang.(Lukas Awi Tristanto)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version